CERITA GURU

Selasa, 21 Januari 2020

Banyak Pertanyaan Anak. Dua Jawaban, Takjub dan Takzim




“Tuhan itu siapa? Tuhan itu ada di mana?”


“Kenapa Nenek meninggal?”


“Bayi datangnya dari mana?”


“Ko rumputnya dipotongin?”


“Kenapa harus makan sayur?”


Pertanyaan-pertanyaan unik, ajaib, tak terduga. Bikin kita bengong selama beberapa detik, menghela napas diam-diam (khawatir keliatan kaget dan bingungnya), sampai akhirnya kita jawab panjang lebar atau bilang bentar ya, mau apa dulu atau kemana dulu, padahal mau ngumpet buka handphone googling. Buat yang lebih tenang dalam merespon, mungkin akan ngajak anak sama-sama buka buku yg kebeneran ada di rumah lalu ngejelasin apa yg ada di buku. Atau mungkin akan bilang “Ayah/Ibu belom tau jawabannya, nanti Ayah/Ibu pikirin dulu ya.” Lalu sampe kebawa mimpi atau pasang status di facebook atau ig story yg isinya pertanyaan anak tsb. Berharap ada reply yg isinya jawaban atau setidaknya sharing pengalaman yang sama dan kemudian sama-sama bingung.


Bikin kaget banget ketika ada sebuah artikel yang membahas mengenai pertanyaan-pertanyaan unik anak, diantaranya adalah, “Kenapa kita harus takut kepada Tuhan?” Jawaban yang disarankan dalam artikel itu adalah “Karena Tuhan yang menciptakan/ membuat kita. Ia bisa membuat kita melihat, mendengar, bernapas, bergerak, dan lainnya. Tapi Tuhan juga bisa membuat kita buta, tuli, meninggal, makanya kita juga harus takut kepada Tuhan.” Tak habis pikir  membayangkan dampak jawaban seperti ini terhadap jiwa seorang anak.


Seringkali pertanyaan-pertanyaan ajaib muncul sebagai pertanyaan lanjutan, “Itu apa?” atau “Lagi ngapain?” dan yang sejenisnya. Pada anak-anak tertentu dan pada usia tertentu, biasanya mulai usia 3 tahun, jawaban kita akan mengundang pertanyaan berikutnya, “Kenapa...bla...bla...bla..” Atau “Ko...bla..bla...bla” Dan jawaban-jawaban kita berikutnya akan diserbu dengan berseri-seri pertanyaan selanjutnya. Anak usia 5-7 tahun bagaikan seorang filsuf kecil, akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yg sifatnya makin dalam. Engga jarang kemudian akhirnya kita bikin rangkuman utk menutup pertanyaan itu, “Ya emang udah dari sananya gitu.” Atau “Ya pokoknya gitu lah.” Atau kita sudahi dengan mengalihkan perhatian anak.


Jadi orang tua, jadi guru atau apapun sebutannya sebagai orang yang mendampingi anak emang banyak tantangannya. Tantangan membuat kita belajar. Bukankah hidup adalah proses belajar untuk menjadi lebih baik? Mangkanya kita engga dikasih hidup yang mulus-mulus aja. Apa yang perlu dipelajari sebagai orang yg mendampingi anak? Ya tentunya kita perlu belajar mengenai anak itu sendiri. Tapi bukan hanya itu, kita perlu memahami diri kita sendiri. Dan bukan hanya dua itu, tapi kita juga perlu mempelajari lingkungan semesta tempat anak tinggal dan berinteraksi dengan alam semesta dan seisinya. Bersyukurlah kita sebagai orang tua, guru, dan orang-orang yang mendampingi anak karena artinya kita diberi kesempatan untuk mempelajari kehidupan! Diberi kesempatan untuk mencari makna kehidpan yang hakiki.


Nah, sekarang giliran kita yg bertanya kenapa anak engga brenti-brentinya nanyain ini dan itu dan kenapa jawaban-jawaban kita seringkali seolah engga memuaskan bagi mereka sehingga muncul pertanyaan beruntun macam ular naga panjangnya bukan kepalang. Itu karena anak memandang dunia ini dengan pandangan yang berbeda dengan kita. Mereka hadir di dunia ini masih dalam itungan jari, sedangkan kita udah puluhan tahun. Mereka masih dalam dreamy unconscious mind. Baru beberapa tahun mereka “dikirim” dari alam yang penuh keajaiban. Alam berpikir mereka adalah imajinasi yang tiada batasnya. Alam berpikir mereka tak seperti kita yang sudah penuh dengan konsep, logika dan teori. Mereka selalu bisa menemukan kemungkinan-kemungkinan lain dari setiap hal. Coba lihat ketika anak bermain. Segala sesuatu bisa jadi apa saja. Kursi misalnya. Bagi kita, kursi ya tempat duduk. Tapi bagi anak, kursi bisa jadi rumah, mobil, disusun jadi rangkaian kereta api, menara, bahkan jadi kompor! Bagi org dewasa sulit untuk dapat memasuki dunia imajinasi anak, karena kita udah full of theory dan cara berpikir yg logis. Oleh karena itu seringkali jawaban kita bukanlah jawaban yg dibutuhkan anak. “To offer them logical explanations (however true to a scientific mind) is to give them a stone when they ask for bread.”


Properties for storytelling by Tokecang Natural Toys
Simpanlah dalam kepala kita bahwa sampai usia 7 tahun, alam berpikir anak adalah imajinasi tak berbatas. Anak masih sangat terkait dengan alam spiritual. Mereka membutuhkan jawaban yang memberi gambaran utuh tentang suatu hal, dimana jawaban ini disampaikan dalam bentuk deskripsi yang imajinatif. Itulah mengapa dongeng merupakan salah satu cara yang lebih sesuai untuk “menjelaskan” sesuatu pada anak atas pertanyaan-pertanyaannya yang rumit, dibandingkan penjelasan panjang lebar yang berisi konsep, teori, ataupun hubungan sebab akibat.


Di sisi yang lain, mereka baru saja hadir di dunia ini, ingin hadir, ingin mengetahui segala yang ada, ingin melakukan banyak hal, ingin menjalin keterhubungan dengan segala yang ada di dunianya yang baru. Ketika anak bertanya, “Kenapa?” yang mereka inginkan bukanlah penjelasan sebab akibat, melainkan keterkaitan/hubungan/relasi antara apa yang ada dalam diri mereka dengan apa yang ada di luar diri mereka. Hal ini dapat mereka peroleh melalui jawaban yang kita sampaikan dengan suara kita yang lembut, hangat, penuh perhatian, dan segala kualitas suara, komunikasi, interaksi yang manusiawi. Bukan penyampaian yang “kering” seperti ketika menyampaikan sebuah teori yang bersifat intelektual. “They are seeking to bring around them the living tones of the human voice......A child is first nourished by his mother-milk, and then by his mother-tongue.” Keterkaitan/ hubungan/ relasi antara apa yang ada dalam diri anak dengan apa yang ada di luar diri mereka juga dapat mereka peroleh melalui jawaban yang berisi afirmasi yang menunjukkan rasa takjub. Ketika anak bertanya, “Itu apa?” Dan kita menjawab, “Buah naga.” Lalu anak bertanya lagi, “Buah naga itu apa?” Yang mereka butuhkan sebenarnya bukanlah definisi dari buah naga, melainkan afirmasi yang menunjukkan rasa takjub. “Ini dia yang namanya buah naga.” Suara, intonasi, ekspresi wajah, sinar mata kita yang akan menyampaikan ketakjuban itu.


Lain halnya dengan anak yang telah melewati tujuh tahun pertama kehidupannya. Mereka telah meninggalkan dreamy unconscious mind. Imajinasi mereka tak lagi sehebat sebelumnya. Mereka telah berada pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi untuk dapat mengkaitkan jawaban dengan pertanyaan yang mereka ajukan. Namun bukan artinya mereka membutuhkan jawaban teoritis ataupun scientific. Bagi anak usia 7 hingga 12 ataupun 14 tahun, bukanlah penjelasan matahari sebagai pusat tata surya yang memiliki diameter ratusan kali lipat dari bumi dan memiliki suhu hingga ribuan derajat celcius, yang akan “memuaskan” mereka. Bukanlah penjelasan bahwa bintang adalah bola gas besar yang mempunyai komponen utama hidrogen dan helium. Bagi mereka, apa yang akan memuaskan jiwa mereka adalah matahari yang terbit setiap pagi dengan sinar keemasan yang menghangatkan, memunculkan rasa takjub dan syukur. Bagi mereka, apa yang akan memuaskan jiwanya adalah kilau bintang yang menghiasi langit malam, begitu indah, seolah menggambarkan jiwa mereka yang bercahaya. Apa yang menyentuh hati dan perasaan mereka, itulah yang dibutuhkan anak-anak usia 7-14 tahun.


Nah jadi, jika kita memberikan pengertian yang sifatnya ilmiah sebelum anak berusia 12 tahun, maka kita akan merusak imajinasi dan unsur rasa yang sejatinya ada dalam diri mereka. Dan karena daya dan kemampuan berpikir anak yang belum siap untuk menerima dasar-dasar pemikiran ilmiah, maka penjelasan yang scientific atau bersifat intelektual akan menjadi dogma yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan, bukanlah sebagai sebuah pengetahuan yang dapat tumbuh berkembang. Anak akan tumbuh menjadi manusia dewasa yang cara berpikirnya tidak fleksibel, sulit untuk menerima pandangan-pandangan yang berbeda dengan apa yang diyakininya.


Bagian ini mungkin akan menjadi bagian yang paling mengejutkan. Buku-buku yang berisi penjelasan disertai gambar-gambar yang dengan kuat dan detail memvisualisasikan bagaimana cara kerja sesuatu, bagaimana membuat sesuatu, bagaimana sesuatu itu muncul, dan buku-buku sejenis, memberikan kemudahan bagi anak untuk mengetahui bagaimana suatu proses berjalan. Namun juga ternyata memberi pengertian yang sangat dangkal dan terlalu disederhanakan. Ketika anak bertanya gua itu apa, apa yang ada di dalam gua, gimana kalau rumahnya seperti gua, dan kita memberikan sebuah buku yang menjelaskan segala hal tentang gua beserta gambar gua dengan stalaktit, stalakmit dan orang yang jaman dulu tinggal di gua, maka anak akan segera berpikir bahwa ia telah memahami segala hal tentang gua. Anak mengumpulkan segala informasi bersifat teoretis yang membuatnya “lupa” untuk mengamati sesuatu yang akan menghadirkan pemahaman yang berasal dari dalam dirinya sendiri. 


Sangatlah penting bagi anak untuk dapat membentuk gambaran di dalam kepalanya sendiri dari apa yang mereka lihat, dengar dan alami secara langsung. Hal ini akan menumbuh suburkan kreativitas anak dibandingkan jika mereka mendapatkan pengetahuan dari gambar atau foto yang membuat anak dengan mudahnya membuat suatu kesimpulan yang sebenarnya terlalu sederhana dan dangkal. Gambar atau foto yang mengilustrasikan cara kerja sesuatu memberikan kemudahan bagi anak untuk mengetahui bagaimana suatu proses berjalan, namun sangat sedikit unsur rasa dari kondisi nyata yang dapat disampaikan oleh gambar-gambar tersebut. Informasi dari buku dengan ilustrasi seindah apapun, akan sangat berbeda dengan pemahaman yang mengandung unsur rasa yang didapat dari apa yang kita ceritakan kepada anak mengenai suasana gelap dan dinginnya di dalam gua, bagaimana menakjubkannya “taring-taring” yang menggantung di langit-langit gua dan menancap kokoh pada dasar gua, bagaimana suara air yang mengalir di dalam gua dan kehidupan penuh tantangan yang dialami orang-orang jaman dulu di dalam gua. Ketika kita bercerita, anak membentuk gambaran di dalam kepalanya, muncul rasa tertentu di dalam hatinya, dan ketika mereka beranjak dewasa, timbul kehendak untuk mengetahui lebih jauh mengenai kehidupan di dalam gua.

Amatlah penting menjaga kehendak anak untuk bertanya tumbuh subur hingga mereka beranjak dewasa. Ketika mereka memasuki usia 14 tahun dan siap untuk menerima pemahaman secara intelektual, mereka harus memiliki keinginan yang kuat untuk menyelidiki setiap pertanyaan dalam hidup hingga ke dasarnya, bukan hanya terpuaskan oleh teori tanpa pengetahuan. Pada beberapa situasi, sangatlah bijaksana jika kita menjawab pertanyaan anak dengan, “hmmmhhh...apa ya?” Hal ini memberi ruang bagi anak untuk berpikir dalam dunia imajinasinya sekaligus memberi nafas bagi anak untuk menjaga pertanyaan-pertanyaan dalam diri mereka tetap hidup. Tak jarang anak kemudian dapat menghadirkan jawabannya sendiri dalam ruang imajinasinya. Suatu hari seorang anak bertanya, “Ko pohonnya ga boleh dipanjat banyakan?” Ketika kita menjawab dengan penuh perhatian dan nada takjub, “hmmmh...kenapa ya?” Anak kemudian berkata, “Soalnya pohonnya kecapean, ngegendong banyak anak.” Jawaban seperti ini juga memberikan gambaran pada anak bahwa tak semua pertanyaan harus terjawab saat ini. Banyak pertanyaan yang harus tetap menempati dan hidup di hati mereka dimana pertanyaan-pertanyaan ini hanya akan dijawab oleh kehidupan itu sendiri.


“You are so young, so much before all beginning, and I would like to beg you, dear Sir, as well as I can, to have patience with everything unresolved in your heart and to try to love the questions themselves as if they were locked rooms or books written in a very foreign language. Don't search for the answers, which could not be given to you now, because you would not be able to live them. And the point is, to live everything. Live the questions now. Perhaps then, someday far in the future, you will gradually, without even noticing it, live your way into the answer. Perhaps you do carry within you the possibility of creating and forming, as an especially blessed and pure way of living; train yourself for that but take whatever comes, with great trust, and as long as it comes out of your will, out of some need of your innermost self, then take it upon yourself, and don't hate anything.” -Rainer Maria Rilke, Letters to a Young Poet-






Sumber : 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar