“Ga ada yang mau ngajak maen,” sambil terisak duduk menyendiri.
“Tadi itu aku kan yang ngomong...aku yang bikin!” menyuarakan bahwa itu adalah idenya.
“Bukan, namanya bukan itu, tau!.....Iya, tapi kan....” terus berusaha untuk berargumentasi.
Acap kali perkataan-perkataan yang senada seperti itu terdengar dari beberapa anak yang berusia 5,5 tahun hingga menjelang 7 tahun. Disertai pula dengan pola permainan mereka yang tampak tidak tentu arah, cenderung rusuh dan heboh. Balok-balok kayu, ranting, batu-batu, papan kayu, ban bekas, pasir, bunga dan daun kering, yang tadinya seringkali mereka gunakan untuk membuat api unggun, perlengkapan halang rintang, kereta api, mobil, tampak kurang menarik perhatian mereka lagi. Peran sebagai petugas kebersihan, petugas pemadam kebakaran, pegawai bangunan, dan yang lainnya mulai jarang terdengar. Bukannya sama sekali tidak terlihat lagi, tetapi tampak berkurang intensitasnya. Mereka lebih senang berlarian kesana dan kemari, berkejar-kejaran menangkap salah seorang temannya sambil mengeluarkan suara-suara keras. Namun terkadang, anak-anak yang berada pada rentang usia 5,5 tahun hingga menjelang 7 tahun ini tampak duduk termenung memperhatikan teman-temannya bermain. Seringkali beberapa anak yang berusia 5,5 tahun hingga menjelang 7 tahun ini tampak lebih emosional. Hal kecil dapat menjadi suatu masalah yang membuat mereka gusar, kesal, marah, tersinggung (dalam Bahasa Sundanya, pundung), ataupun menangis.
Apa yang sedang tejadi dengan anak-anak ini? Jika kita memandangnya sebagai pola perkembangan willing, feeling, dan thinking yang dialami oleh anak-anak usia 0-7 tahun, maka mungkin kita akan menganggapnya sebagai bentuk dari mengalirnya will semata, dimana ada saatnya will ini perlu dimunculkan ke permukaan dan ada kalanya will ini perlu diarahkan ketika mengalir deras bagaikan aliran sungai yang tak terbendung. Namun seperti juga pada anak usia kisaran tiga tahun, pada anak usia kisaran enam tahun ini, sedang terjadi sesuatu yang ISTIMEWA. Mengetahui dan mengerti hal yang istimewa ini akan membantu kita memberikan respon yang mereka butuhkan.
PERKEMBANGAN FISIK, ETHERIC, ASTRAL, DAN EGO (FOUR-FOLD HUMAN BEING)
Proses kehadiran ego/”I” pada cycle tiga tahunan, dibarengi oleh rasa antipati dengan derajat yang berbeda-beda pada setiap individu. Antipati ini membantu seseorang untuk menemukan dunianya dan hadir di bumi ini sebagai seorang individu yang utuh.
Sedangkan cycle enam tahunan menandakan waktu dimana etheric seseorang
berproses memisahkan diri dari orang tuanya. Perasaan berpisah menyelimuti anak
maupun orang tua. Kedua cycle ini menunjukkan pada kita bahwa pada usia 6, 12,
dan 18 tahun terjadi proses kehadiran ego sekaligus pula keberpisahan etheric,
sehingga ada waktu dimana anak merasa tidak ingin berpisah dengan orang tuanya
dan ada waktu dimana anak ingin mengekspresikan kemandiriannya. Pada anak yang berusia 5,5 tahun hingga
menjelang 7 tahun, suatu hari mereka tidak mau ditinggalkan orang tuanya ketika
datang ke sekolah, namun di hari lain mereka meminta orang tuanya untuk cepat
pergi setelah mengantarkannya ke sekolah. Dalam tingkatan yang berbeda pada
proses ini, seorang anak berusia dua belas tahun tiba-tiba ingin dipeluk oleh
orang tuanya, namun pada saat ia diantarkan ke sekolah, ia tidak mau orang
tuanya berada dekat dengannya. Proses
bekerjanya kedua cycle ini pun berdampak pada perkembangan fisik anak. Pada
anak yang berada di rentang usia 5,5 tahun hingga menjelang 7 tahun, etheric
body anak berusaha untuk melakukan penetrasi ke dalam tubuhnya. Berusaha melepaskan
diri dari keterikatan faktor keturunan untuk menjadikan tubuhnya menjadi tubuh
miliknya. Anak seolah menggunakan seluruh kekuatannya untuk keperluan
pertumbuhan fisiknya. Lengan, tungkai dan kaki menjadi lebih panjang. Pergelangan tangan, pinggang, dan leher akan
makin tampak bentuknya. Pada sebagian anak rentang usia ini, akan sering merasakan
lapar dan nyeri pada kaki, sendi-sendi, bahkan perutnya sebagai dampak dari
proses pertumbuhan fisik tersebut. Terjadi pula proses pergantian gigi susu
oleh gigi tetap. Proses ini merupakan proses yang mendebarkan dan tak jarang
menimbulkan rasa tidak nyaman. Sekarang bisa kita bayangkan begitu banyaknya
proses yang terjadi pada anak kisaran usia enam tahun ini. Sesuatu yang istimewa! Maka jangan heran jika hal
ini kemudian menyebabkan mereka merasa tidak nyaman baik secara fisik maupun psikologis,
moody, ataupun menunjukkan ekspresi emosi lain yang begitu ekspresif. Kadang terlihat pula anak menjadi kikuk ketika bergerak, menyebabkan segelas air yang dibawanya tumpah atau tiba-tiba menyenggol kursi hingga terjatuh ketika berjalan.
PERKEMBANGAN WILLING, FEELING, THINKING (THREE-FOLD HUMAN BEING)
Sejalan dengan perkembangan fisik, etheric, astral, dan ego-nya, ketika anak berusia sampai dengan 5,5 tahun, mereka bermain dengan menggunakan apa-apa yang ada di sekitarnya. Ide permainan datang dari luar, dari apa yang ada di sekitarnya. Ketika mereka berusia 5,5 tahun, mereka terlihat mulai berusaha untuk memunculkan ide dari dalam diri mereka sendiri. Proses berpikir mereka yang masih imajinatif mencoba menciptakan skenario permainan dan kemudian mencari benda-benda yang dapat digunakan dalam skenario tersebut. Seringkali mereka meluangkan waktu lebih lama untuk merancang permainan ketimbang bermainnya. Proses memunculkan ide dari dalam diri mereka sendiripun terkadang membuat mereka terlihat berdiam diri, merenung, memperhatikan sekelilingnya. Tak jarang pula mereka berkata “bosen ah!” Hal ini juga yang tampaknya menjadi penyebab mengapa acap kali mereka terlihat berlari-larian tak menentu. Pada proses perkembangan ini, tentunya tidak terlepas pula mereka mencoba hal-hal yang baru, sekaligus melakukan eksperimen atau mengetes apakah hal tersebut boleh dilakukan atau tidak.
Keberpisahan etheric anak dengan orang tuanya, sekaligus pula perkembangan
egonya menyebabkan anak pada rentang usia 5,5 sampai dengan 7 tahun ini merasakan
kesendiriannya. Ada anak yang berkata “ga ada yang mau maen sama aku.” Hal ini didukung pula oleh peralihan fokus perkembangan
anak dari willing menuju feeling menjelang anak berusia tujuh tahun. Anak
menjadi lebih sensitif, mudah tersinggung, menjadi lebih perasa. Rasa sedih
ataupun kecewa yang terjadi hari ini mungkin akan berlanjut keesokan harinya. Seorang
anak yang dikata-katai oleh temannya, keesokan harinya datang masih dengan wajah
murung dan tidak mau bermain dengan temannya tersebut.
Keinginan anak untuk melakukan berbagai eksperimen dalam permainan, juga muncul
dalam bentuk rasa ingin tahu mereka akan banyak hal. “Ini terbuat dari apa?
Kalau yang ini dari apa?” Tak jarang proses mencari tahu ini menjadi sebuah
proses argumentasi sebagai ekspresi dari seorang individu yang ingin menyatakan
keberadaannya. “Bukan gitu caranya!....Iya aku juga tau!”......Itu tadi aku
yang buat!” Anak akan segera mengetahui kesalahan yang diucapkan atau dilakukan
orang tua, guru, ataupun temannya dan kemudian menyatakan apa yang menurutnya
benar. Suatu hari seorang anak berusia enam tahun terlihat sedang memegang dan
menggoyang-goyangkan gigi susunya yang hampir tanggal. Lalu seorang temannya
yang juga berusia enam tahun berkata, “kata mamaku, gigi yang goyang nanti juga
copot sendiri! Kalau giginya dicabut nanti pas tumbuh giginya jelek kaya kakek!”
Kemudian anak yang mengoyang-goyangkan gigi itu berkata, “harus dibeginikan,
itu mah orang tua kamu aja, aku ga mau punya orang tua kayak orang tua kamu!” Pada
rentang usia 5,5 sampai dengan 7 tahun mulai muncul pula pembicaraan mengenai Tuhan.
Sesuai dengan kapasitas berpikirnya pada rentang usia tersebut, mereka
membicarakan hal mengenai surga dan neraka. Sebuah obrolan bernada
argumentatif, suatu hari terdengar. Seorang anak mengucapkan kata Tuhan. Anak
yang lain mengucapkan kata Allah. Kemudian seorang anak berusia enam tahun
berkata, “Allah dan Tuhan itu sama tau!” Tingkah polah anak yang seperti ini
disertai pula oleh willing, feeling, dan thinking mereka untuk menjadi seorang
bos, seorang pemimpin. Suatu hari seorang anak berusia enam tahun menggunakan
mahkota dan menggunakan kain untuk dijadikan jubah. Ia berkata, “aku yang jadi
raja binatangnya,” saat ia sedang bermain dalam sebuah skenario kerajaan
binatang. Di sela-sela permainan, ia menyuruh temannya untuk mengambil ini dan
itu, melakukan apa yang ia suruh, layaknya seorang bos.
Bagaimana kita meresponnya?
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana kita membantunya? Keberpisahan etheric anak dari orang tuanya yang kemudian berusaha menjadi tubuh miliknya sendiri, menimbulkan rasa tidak nyaman baik secara fisik maupun psikologis untuk melakukan suatu hal. Terjadi pula perkembangan proses kehadiran ego/”I” yang mengubah pandangan anak akan hubungan dirinya dengan apa yang ada di sekitarnya. Menimbulkan perubahan dalam perasaan dan proses berpikirnya. Maka sekali lagi tanamkan dalam benak kita “Saya tahu kamu sedang melalui proses transformasi. Saya menyayangi kamu dan hal-hal baru yang terjadi pada dirimu. Saya akan membantumu!” Kita membantu anak dengan memberikan saluran untuk mengalirkan perubahan-perubahan ini. Kerjakanlah berbagai pekerjaan yang bermakna yang layak ditiru anak. Pekerjaan-pekerjaan ini akan memberikan gambaran-gambaran baru bagi anak untuk dapat memunculkan ide dari dalam dirinya sendiri. Imajinasi yang sempat hilang, seolah datang kembali. Ide-ide baru inipun dapat muncul ketika anak terlihat berdiam diri memperhatikan teman-temannya bermain atau memperhatikan alam sekitarnya. Seolah ia sedang menambah pustaka imajinasinya. Proses imitasi pekerjaan-pekerjaan yang bermakna ini juga dapat mengalihkan perasaannya yang sedang tidak menentu. Ketika tangan bekerja, perlahan pikiran dan perasaan terarah kepada pekerjaan yang sedang dilakukan. Mencuci piring atau pakaian, menyapu dan mengepel, menggunting rumput, mengupas atau memotong buah dan sayur, menyetrika atau melipat pakaian-pakaian yang telah disetrika, menyapu halaman atau membuang sampah, bahkan menggergaji atau menghampelas kayu merupakan pekerjaan-pekerjaan sederhana yang dapat dilakukan anak. Namun rasa tidak nyaman baik secara fisik maupun psikologis, dapat membuat anak enggan untuk ikut melakukan apa yang kita kerjakan. Padahal ketika usianya belum beranjak 5 atau 6 tahun, ia sangat gemar ikut melakukan apa saja yang kita kerjakan. Jika hal ini terjadi, maka “manfaatkan” proses perkembangan kehadiran ego/”I. Kita bisa mengatakan “Ibu/Ayah tidak bisa ngerjain ini sendiri. Butuh bantuan. Sepertinya kamu bisa/sepertinya kamu kuat. Tolong bantu ya.” Perkataan seperti ini akan membuat anak merasa dirinya dibutuhkan. Merasa dirinya punya kemampuan lebih untuk melakukan sesuatu. Dan ketika anak sudah selesai membantu, jangan lupa katakan “terimakasih sudah membantu.” Tentunya dengan intonasi dan ekspresi yang benar-benar tulus berterimakasih.
Saluran apa lagi yang bisa kita berikan untuk membantu anak di usia ini? Tanggung jawab yang lebih besar yang sudah kita ukur bahwa mereka bisa melakukannya. Ya, mereka sangat senang saat diberi tanggung jawab yang lebih besar daripada sebelumnya. Membawa mangkuk saji berisi sup dari dapur ke ruang makan, mengangkat benda-benda yang berat (sesuai dengan takaran kemampuan fisiknya) seperti meja kecil saat merapikan ruangan, membantu menjaga adik (setelah kita yakin bahwa lingkungan sekitarnya aman), dan bentuk tanggung jawab lainnya. Di sekolah, kami melakukan hal-hal semacam ini. Anak-anak yang berusia 3-4 tahun biasanya memiliki rentang fokus yang lebih pendek. Termasuk ketika mendengarkan dongeng. Mereka akan menampakkan gerak-gerik yang menunjukkan kegelisahan. Kami berkata kepada anak yang berusia 5-6 tahun, “Tolong jaga temanmu ini ya.” Saat anak yang lebih kecil ini terlihat gelisah, anak yang berusia 5-6 tahun tersebut kemudian meletakkan tangannya di atas pangkuan teman kecilnya itu, seperti yang biasa kami lakukan untuk menenangkan anak tersebut. Dan mereka melakukannya dengan ekspresi wajah yang menampakkan keseriusan, seperti benar-benar sedang mengemban tugas yang sangat penting! Hal ini juga merupakan manfaat dari sebuah mixed-age class.
Seiring dengan perkembangan kehadiran ego/”I”, dan berkaitan dengan pemberian tanggung jawab yang lebih besar tersebut, maka ketika kita mendengar perkataan yang bernada “aku bisa dan kamu tidak bisa,” maka daripada kita mengatakan “ga apa-apa, dia kan masih kecil,” sebaiknya kita berkata, “hhhmmm, kalau gitu, bisakah kamu membantunya?” Perkataan semacam ini akan menghembuskan angin win-win solution. Tidak ada yang merasa “lebih” dan tidak ada yang merasa “kurang.”
Begitulah kira-kira apa yang bisa diceritakan, dimana kesemuanya ini dapat dilakukan jika kita mengerti apa yang sedang dialami anak. Bagaimana kita bisa mengerti? Dengan mempelajari dan memperhatikan tahap demi tahap perkembangan anak. Tidak ada waktu untuk melakukannya? Jika itu yang dirasakan, mungkin anak adalah prioritas kesekian dalam hidup kita.
Semoga berkenan.
Bagaimana kita meresponnya?
Tanamkan empati dan pengertian yang mendalam pada diri kita. Katakan dalam hati dengan kesadaran penuh, “Saya tahu kamu sedang melalui proses transformasi. Saya menyayangi kamu dan hal-hal baru yang terjadi pada dirimu. Saya akan membantumu!”
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana kita membantunya? Keberpisahan etheric anak dari orang tuanya yang kemudian berusaha menjadi tubuh miliknya sendiri, menimbulkan rasa tidak nyaman baik secara fisik maupun psikologis untuk melakukan suatu hal. Terjadi pula perkembangan proses kehadiran ego/”I” yang mengubah pandangan anak akan hubungan dirinya dengan apa yang ada di sekitarnya. Menimbulkan perubahan dalam perasaan dan proses berpikirnya. Maka sekali lagi tanamkan dalam benak kita “Saya tahu kamu sedang melalui proses transformasi. Saya menyayangi kamu dan hal-hal baru yang terjadi pada dirimu. Saya akan membantumu!” Kita membantu anak dengan memberikan saluran untuk mengalirkan perubahan-perubahan ini. Kerjakanlah berbagai pekerjaan yang bermakna yang layak ditiru anak. Pekerjaan-pekerjaan ini akan memberikan gambaran-gambaran baru bagi anak untuk dapat memunculkan ide dari dalam dirinya sendiri. Imajinasi yang sempat hilang, seolah datang kembali. Ide-ide baru inipun dapat muncul ketika anak terlihat berdiam diri memperhatikan teman-temannya bermain atau memperhatikan alam sekitarnya. Seolah ia sedang menambah pustaka imajinasinya. Proses imitasi pekerjaan-pekerjaan yang bermakna ini juga dapat mengalihkan perasaannya yang sedang tidak menentu. Ketika tangan bekerja, perlahan pikiran dan perasaan terarah kepada pekerjaan yang sedang dilakukan. Mencuci piring atau pakaian, menyapu dan mengepel, menggunting rumput, mengupas atau memotong buah dan sayur, menyetrika atau melipat pakaian-pakaian yang telah disetrika, menyapu halaman atau membuang sampah, bahkan menggergaji atau menghampelas kayu merupakan pekerjaan-pekerjaan sederhana yang dapat dilakukan anak. Namun rasa tidak nyaman baik secara fisik maupun psikologis, dapat membuat anak enggan untuk ikut melakukan apa yang kita kerjakan. Padahal ketika usianya belum beranjak 5 atau 6 tahun, ia sangat gemar ikut melakukan apa saja yang kita kerjakan. Jika hal ini terjadi, maka “manfaatkan” proses perkembangan kehadiran ego/”I. Kita bisa mengatakan “Ibu/Ayah tidak bisa ngerjain ini sendiri. Butuh bantuan. Sepertinya kamu bisa/sepertinya kamu kuat. Tolong bantu ya.” Perkataan seperti ini akan membuat anak merasa dirinya dibutuhkan. Merasa dirinya punya kemampuan lebih untuk melakukan sesuatu. Dan ketika anak sudah selesai membantu, jangan lupa katakan “terimakasih sudah membantu.” Tentunya dengan intonasi dan ekspresi yang benar-benar tulus berterimakasih.
Saluran apa lagi yang bisa kita berikan untuk membantu anak di usia ini? Tanggung jawab yang lebih besar yang sudah kita ukur bahwa mereka bisa melakukannya. Ya, mereka sangat senang saat diberi tanggung jawab yang lebih besar daripada sebelumnya. Membawa mangkuk saji berisi sup dari dapur ke ruang makan, mengangkat benda-benda yang berat (sesuai dengan takaran kemampuan fisiknya) seperti meja kecil saat merapikan ruangan, membantu menjaga adik (setelah kita yakin bahwa lingkungan sekitarnya aman), dan bentuk tanggung jawab lainnya. Di sekolah, kami melakukan hal-hal semacam ini. Anak-anak yang berusia 3-4 tahun biasanya memiliki rentang fokus yang lebih pendek. Termasuk ketika mendengarkan dongeng. Mereka akan menampakkan gerak-gerik yang menunjukkan kegelisahan. Kami berkata kepada anak yang berusia 5-6 tahun, “Tolong jaga temanmu ini ya.” Saat anak yang lebih kecil ini terlihat gelisah, anak yang berusia 5-6 tahun tersebut kemudian meletakkan tangannya di atas pangkuan teman kecilnya itu, seperti yang biasa kami lakukan untuk menenangkan anak tersebut. Dan mereka melakukannya dengan ekspresi wajah yang menampakkan keseriusan, seperti benar-benar sedang mengemban tugas yang sangat penting! Hal ini juga merupakan manfaat dari sebuah mixed-age class.
Seiring dengan perkembangan kehadiran ego/”I”, dan berkaitan dengan pemberian tanggung jawab yang lebih besar tersebut, maka ketika kita mendengar perkataan yang bernada “aku bisa dan kamu tidak bisa,” maka daripada kita mengatakan “ga apa-apa, dia kan masih kecil,” sebaiknya kita berkata, “hhhmmm, kalau gitu, bisakah kamu membantunya?” Perkataan semacam ini akan menghembuskan angin win-win solution. Tidak ada yang merasa “lebih” dan tidak ada yang merasa “kurang.”
Begitulah kira-kira apa yang bisa diceritakan, dimana kesemuanya ini dapat dilakukan jika kita mengerti apa yang sedang dialami anak. Bagaimana kita bisa mengerti? Dengan mempelajari dan memperhatikan tahap demi tahap perkembangan anak. Tidak ada waktu untuk melakukannya? Jika itu yang dirasakan, mungkin anak adalah prioritas kesekian dalam hidup kita.
Semoga berkenan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar