Jika mendengar ceritanya atau melihat sekilas kegiatan kami, apa yang kami lakukan di Jagad Alit Waldorf Play and Kinder, sangatlah simpel dan sederhana. Kadang mungkin tepikirkan, “Apa yang didapat anak-anak? Setiap hari sebagian besar waktunya di sekolah hanya bermain saja.” Kami melakukan kegiatan mulai jam 8 pagi hingga 11 siang. Diawali dengan bermain di luar selama satu jam. Setelah merapikan mainan dan cuci tangan, kami melakukan circle time (melakukan berbagai gerak yang disesuaikan dengan lagu yang kami nyanyikan atapun alur cerita pendek yang disampaikan oleh guru). Setelah itu kami masuk ke dalam ruangan dan bermain kembali selama hampir satu jam! Barulah kemudian kami menikmati snack bersama dan kegiatan setiap hari ditutup dengan dongeng. Tidak ada materi pelajaran yang diberikan secara eksplisit ataupun directly kepada anak-anak. Walaupun dalam kegiatan bermain, kami menyisipkan kegiatan berkebun, memotong dan menghaluskan kayu, menggambar, melukis, bermain benang ataupun beeswax modelling, namun kami tidak pernah memaksa anak untuk melakukanya. Tetapi setiap saat selalu ada anak yang ingin melakukan kegiatan-kegiatan itu ketika melihat kami menyiapkan atau melakukan kegiatan-kegiatan tersebut. Bermain bebs, ritme yang selalu sama setiap harinya dan kemauan yang muncul sendiri dari dalam diri anak, menjadi fondasi yang kuat bagi mereka untuk melangkah ke jenjang pendidikan sekolah dasar.
PERKEMBANGAN FISIK
Kesiapan keempat indera dasar (menurut konsep pendidikan Waldorf) yaitu indera peraba, indera kehidupan, indera gerak, dan indera keseimbangan sangat dibutuhkan oleh anak agar mereka merasa nyaman dengan keberadaan tubuh mereka. Seringkali anak yang dideteksi memiliki Attention Deficit Dissorder (ADD) adalah anak yang belum siap dalam hal indera gerak dan keseimbangannya. Mereka tidak dapat duduk tenang dalam rentang waktu tertentu. Bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang, berusaha mencari titik nyaman dan berusaha untuk memposisikan tubuh pada titik keseimbangan. Jika anak sibuk mencari kenyamanan dan titik keseimbangannya, maka daya kehidupannya (life forces) akan terfokus untuk hal itu sehingga hanya sedikit daya kehidupan yang tersisa untuk berpikir/belajar. Anak ini kemudian kita duga sebagai anak yang tidak bisa fokus, tidak bisa konsentrasi, tidak suka terhadap suatu hal tertentu, tidak bisa diam, hyperaktif, dan lainnya yang senada dengan itu. Bermain bebas adalah sebaik-baiknya yang dapat dilakukan anak untuk mempersiapkan keempat indera dasarnya. Duduk manis di depan TV/layar komputer/gadget adalah seburuk-buruknya aktivitas yang akan menghambat kesiapan keempat indera dasarnya. Oleh karena itu bermain bebas merupakan porsi terbesar yang dilakukan anak-anak di Jagad Alit. Berlari, melompat, memanjat pohon, bermain jungkat-jungkit, memanjat tangga gantung, berjalan di balok titian, bermain pasir, bermain lompat tali, membawa dahan pohon dan boks-boks kayu, mengangkat meja dan kursi-kursi untuk dijadikan suatu bentuk permainan, menggelindingkan ban bekas, dan masih banyak lagi, adalah semua yang mereka lakukan saat bermain untuk mengembangkan indera peraba, kehidupan, gerak dan keseimbangan.
TENANG DAN FOKUS
Kegiatan belajar di jenjang sekolah dasar tentunya membutuhkan ketenangan dan fokus. Oleh karena itu di Jagad Alit, pada waktu-waktu tertentu, kami memberikan kesempatan kepada anak untuk dapat menikmati suasana yang menenangkan dan fokus pada apa yang sedang dilakukan. Mendengarkan dongeng adalah kesempatan terbaik untuk mendapatkan kedua hal ini. Diawali dengan nyanyian yang menenangkan ataupun guru yang memainkan alat musik tertentu (biasanya guru memainkan lyre), untuk mengajak anak masuk ke dalam momen yang tenang dan hening. Masuk ke dalam dunia keajaiban sebuah dongeng. Melukis adalah kegiatan lain yang mengedepankan ketenangan dan fokus, bukan pada bentuk yang menjadi objek lukisan anak-anak. Warna yang mengalir indah dari sapuan kuas mereka, sangat mendukung terciptanya suasana yang menenangkan. Sebelum menikmati snack, guru selalu mengucapkan ungkapan rasa syukur dalam bentuk bait-bait kalimat indah yang cukup panjang. Anak-anak diam menunggu hingga selesai, baru mereka mulai makan. Tentu saja “interupsi” selalu ada. Anak yang mengobrol, tertawa, bergerak tidak tenang, teralihkan perhatiannya saat momen hening. Inilah kesempatan bagi mereka untuk belajar. Untuk melatih diri agar dapat tenang dan fokus saat belajar di bangku sekolah dasar nanti.
RENTANG PERHATIAN (ATTENTION SPAN)
Begitu memasuki jenjang sekolah dasar, mau tidak mau, anak-anak membutuhkan rentang perhatian yang lebih panjang dalam mengerjakan kegiatan tertentu. Mulai dari mendengarkan penjelasan guru, membaca, menulis, menggambar, memainkan alat musik, dll. Mengikuti circle time dan mendengarkan dongeng akan melatih mereka untuk dapat memiliki rentang perhatian yang cukup panjang secara bertahap. Ketika circle time, kami berkumpul dalam sebuah lingkaran. Guru bernyanyi, melakukan gerakan-gerakan, menyampaikan rangkaian kalimat demi kalimat dalam sebuah cerita ataupun puisi. Anak-anak mendengarkan sambil mengikuti gerakan guru. Hal ini dilakukan secara bertahap. Mulai dari 5-10 menit dan kemudian kami memberikan circle time yang lebih panjang lagi. Begitu pula dengan dongeng. Mulai dari dongeng yang pendek dan kemudian bulan-bulan berikutnya kami ganti dengan dongeng baru yang durasinya lebih panjang. Bukan hanya melalui circle time dan dongeng, tetapi juga ketika bermain dan membereskan mainan. Kami memberikan kesempatan yang cukup panjang kepada anak-anak untuk bermain. Untuk anak-anak usia tertentu, mereka membutuhkan waktu untuk merancang permainan, menentukan peran, bernegosiasi ini dan itu sebelum masuk ke dalam permainan yang sebenarnya. Ketika membereskan mainan, kami memberikan waktu kepada mereka hingga semua mainan kembali ke tempatnya semula. Merekapun melipat kain-kain, merapikan tali-tali dengan cara membuat bentuk melingkar dari ujung tali yang satu hingga ujung yang lain.
MENCINTAI SUATU KEGIATAN/PEKERJAAN
Idealnya seorang anak pergi ke sekolah dengan suka cita. Bahkan ketika liburan, ada anak yang bertanya, “kapan sekolah lagi?” Idealnya seorang anak selalu menantikan saatnya bertemu teman-temannya, menantikan saatnya guru menceritakan materi pelajaran, menantikan saatnya menemukan hal-hal baru dari buku pelajarannya. Sampai dengan usia 7 tahun, anak belajar melalui proses imitasi. Bukan saja meniru perkataan ataupun perbuatan. Bukan hanya meniru apa yang didengar atau dilihat dari sekelilingnya, tetapi juga meniru perasaan. Ekspresi wajah, intonasi suara, dan hal lain yang tidak terlihat atau terdengar secara eksplisit, dapat dirasakan oleh anak. Oleh karena itu kami selalu berusaha melakukan segala sesuatu dengan rasa senang di hati. Menyapu, membereskan mainan, memasak dan menyiapkan snack, menjahit, merajut, berkebun, memotong kayu dan segudang pekerjaan bermakna lainnya selalu kami lakukan dengan rasa senang dan bahagia. Kadang tersenyum, kadang pula sambil bersenandung atau bernyanyi. Semua pekerjaan jadi tampak tidak berat dan bukan merupakan suatu beban. Bukan pula suatu kewajiban atau hanya sekedar melakukan sesuatu yang harus dilakukan. Anak melihat, mendengar, merasakan dan MENIRU. Meniru kami melakukan pekerjaan dengan rasa senang di hati. Benih dari kecintaan dalam melakukan suatu kegiatan, termasuk belajar.
RASA INGIN TAHU
Merupakan cikal bakal dari kreativitas dan inovasi. Menghasilkan solusi yang baru. Ketika anak bertanya mengenai sesuatu hal, kami tidak selalu meresponnya dengan jawaban. Kami akan berkata, “Hhhmmmmhhh apa ya kira-kira?” Atau, “Wah, gimana ya caranya?” Atau, “Wow ko bisa seperti itu ya?” Daaannn...tak perlu menunggu lama, anak akan mengutarakan idenya, gagasannya, pendapatnya. Seringkali apa yang mereka ungkapkan adalah sesuatu hal yang tidak terlintas di benak kita. Sesuatu yang baru yang berawal dari imajinasi mereka. Cikal bakal kreativitas dan inovasi kelak.
Begitulah kira-kira apa yang dapat kami berikan untuk membantu anak-anak menyiapkan dirinya memasuki jenjang pendidikan sekolah dasar. Lalu apakah kita masih perlu bertanya, “gimana nanti kalau anak saya masuk SD? Apakah di TK ini diajarkan membaca dan menulis atau tidak?” Juga jangan membayangkan sebuah SD Waldorf adalah sebuah “bangku sekolah” karena apa yang diberikan tidak melulu terpatok pada anak harus duduk manis mendengarkan guru, menulis dan membaca. Pernah mendengar sebuah sekolah dimana buku-buku pelajaran dibuat sendiri oleh anak-anaknya? Pernah mendengar sebuah sekolah yang memberikan kegiatan merajut? Pernah mendengar sebuah sekolah yang mengajarkan operasi matematis dengan menggunakan dongeng? Dan hal-hal “aneh” lainnya? Mungkin pernah. Dan salah satunya adalah SD Waldorf. Apakah ada di Indonesia? Sedang kami bangun. Kami sudah bermimpi. Dan sekarang saatnya bangun dan mewujudkan mimpi itu.
Tahun 2019.
Sebuah impian akan terwujud.