Fantasi dan imajinasi. Merupakan tahap awal proses berpikir anak. Ketika anak bermain, ia menggunakan berbagai objek yang ada di sekitarnya. Seringkali objek-objek ini digunakan bukan sebagai fungsi yang semestinya. Bantal-bantal kursi dijadikan perahu atau jembatan. Anak masuk ke dalam laundry bag, yang baginya adalah sebuah mobil. Guling-guling disusun berjejer menjadi rangkaian kereta api. Berbagai peralatan dapur dijadikan alat musik. Bunga, ranting, pasir, tanah menjadi bahan-bahan untuk memasak. Objek yang ditemui anak, bisa menjadi apa saja. Inilah fantasi.
Saat anak berusia sekitar 4-5 tahun, ia mulai merancang permainannya. Ia ingin berperan sebagai petugas pemadam kebakaran. Ia mencari objek-objek yang bisa dijadikan alat untuk bermain pemadam kebakaran. Potongan kayu menjadi selang airnya. Ia ingin berperan sebagai seorang puteri. Kain-kain dililitkan menjadi gaunnya. Ia ingin menjadi penjual makanan. Biji-biji pinus dan batu menjadi ikan goreng. Tanpa objek di hadapannya, ia membayangkan sebuah konsep, lalu mencari objek yang dapat mewujudkan konsep di kepalanya. Inilah imajinasi.
Apakah orang dewasa memiliki fantasi dan imajinasi? Tentu saja atau mungkin saja. Namun tak sehebat fantasi dan imajinasi anak. Mengapa? Karena kita sudah dipenuhi oleh pemikiran-pemikiran yang (menurut kita) logis, yang seringkali membuat kita tidak lentur dalam berpikir. Apakah hal ini akan mempengaruhi kita untuk memperoleh inspirasi dalam ranah feeling dan mempengaruhi kita dalam melakukan sesuatu berdasarkan intuisi? Itulah bahasan yang dibawakan oleh salah seorang orang tua murid, Bu Nanda, pada sesi ngobrol bersama orang tua hari Senin yang lalu.
Saya tidak akan membahasnya disini. Karena nalar belum mampu mengkolaborasikan antara imajinasi, inspirasi, dan intuisi. Namun ada yang mampir di kepala saya. Saat kita dipertemukan dengan seseorang. Kita tahu orang itu. Bahkan kemudian kita bisa mengenal orang itu. Kita terlibat dalam berbagai interaksi dengan orang tersebut. Tetapi apakah kita memahami orang itu? Apa yang dia pikirkan? Apa yang dia rasakan? Mengapa ia mengambil keputusan itu? Mengapa ia melakukan hal tersebut? Kita mencoba memahami orang tersebut, namun tak mudah. Kita mencoba menerima orang tersebut, tetapi cukup sulit. Proses apa yang terjadi saat kita mencoba memahami dan menerima seseorang dengan segala kondisi yang dimiliki orang tersebut? Mungkin banyak sekali prosesnya namun seperasaan saya salah satunya adalah proses imajinasi. Kita membayangkan diri kita ada pada posisi orang tersebut. Kita membayangkan apa yang ia alami. Kita membayangkan apa yang ia rasakan. Semua kita lakukan tanpa kehadiran objeknya yaitu orang yang bersangkutan dalam artian kita tak bisa "melihat" pikiran dan perasaan orang itu. Kita bisa melihat apa yang ia lakukan, namun yang terlihat hanyalah yang ada di permukaan. Imajinasi kita harus bekerja.
Empati menjadi satu kata yang sangat penting dalam kehidupan kita sekarang. Empati terhadap orang lain....empati terhadap bumi dan seisinya. Empati adalah kemampuan dengan berbagai definisi yang berbeda yang mencakup spektrum yang luas, mengalami emosi yang serupa dengan emosi orang lain, mengetahui apa yang orang lain rasakan dan pikirkan, mengaburkan garis antara diri dan orang lain. Bukankah imajinasi masuk ke dalam spektrum yang luas itu? Jika iya, maka apakah kita masih pantas mengesampingkan proses bertumbuhnya imajinasi pada diri seorang anak? Apakah kita masih lebih mendewakan proses intelektualisasi yang kaku bagi seorang anak?