Manusia pada hakikatnya adalah makhluk pembelajar dan makhluk sosial. Setiap hari dalam kehidupan kita merupakan proses belajar. Mempelajari hal-hal yang baru ataupun mendalami hal-hal yang sudah kita ketahui untuk lebih memahaminya. Akhir-akhir ini cukup sering orang mengadakan sesi web seminar atau diskusi yang bertema nafas, makan, regulasi emosi, pendidikan anak ataupun tema-tema lain yang berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari yang sebenarnya sudah kita ketahui, namun kita belajar lagi untuk lebih memahaminya. Sebut saja tema tentang makan. Secara teknis tentu saja kita sudah mengetahui bagaimana caranya makan. Tetapi kita merasa perlu mendalaminya untuk memahami bagaimana cara makan dan makanan apa yang akan menyehatkan tubuh kita. Topik mengenai mindful eating dan berbagai macam bentuk diet merupakan dua topik tentang makan yang tampaknya sekarang sedang diminati banyak orang.
Pada proses belajar ini, kita mendengarkan materi yang dipaparkan. Menariknya, pemberian contoh-contoh terutama contoh kejadian yang benar-benar pernah dialami sendiri oleh pembicara menjadi semacam afirmasi terhadap sebuah teori. Apalagi jika disertai dengan sesi berbagi pengalaman dari para peserta. Saya teringat ketika mengikuti sebuah sesi berbagi dimana pembicara menceritakan pengalamannya melakukan suatu teknik pernafasan dengan menghirup dan menghembuskan nafas melalui hidung, dimana posisi lidah ditarik dan menempel pada langit-langit mulut. Hingga sekarang cara bernafas seperti ini selalu saya lakukan. Mengapa saya bersedia melakukannya? Pertama, dari penjelasan yang didukung oleh media visual berupa gambar dan video, dan didukung pula oleh pengalaman pembicara, saya berpikir bahwa cara bernafas seperti ini masuk akal untuk dikatakan cara bernafas yang lebih sehat. Kedua, setelah saya berpikir bahwa hal tersebut masuk akal, saya merasa yakin dan ingin mencobanya. Ingin meniru apa yang dilakukan pembicara. Ketiga, setelah saya mencobanya, saya merasa nyaman dan yakin untuk terus melakukan cara bernafas seperti ini.
Proses belajar orang dewasa melalui tahapan mencerna di kepala, baru kemudian merasa yakin atau bersimpati, baru kemudian melakukannya. Setelah melakukan, muncul rasa nyaman, dan kemudian kembali lagi dicerna di kepala bahwa apa yang kita lakukan merupakan hal benar atau tidak. Peranan prefrontal cortex pada otak, yang sebagian fungsinya adalah untuk berpikir, merencanakan, dan membuat keputusan, memegang peranan penting dalam proses ini. Selain itu ada bagian lain dalam otak kita yang juga cukup memegang peranan penting, yaitu mirror neurons. Penelitian mengenai mirror neurons masih terus berlangsung, namun dikatakan bahwa mirror neurons membentuk dasar mekanisme inti untuk belajar dan pertumbuhan dari mana fungsi lain bercabang. Salah satu fungsi ini adalah tiruan (imitasi), kemampuan untuk mereplikasi perilaku yang diamati.
Pada anak, terutama pada tujuh tahun pertama kehidupannya, proses belajar dilakukan dengan cara meniru. Mulai dari seorang bayi dapat melakukan diferensiasi gerakan sampai ia dapat berjalan dengan ritmis. Mulai dari tangisan, lalu bubbling, sampai akhirnya ia dapat menggunakan kata-kata. Pernahkah kita memberi tahu secara verbal bagaimana caranya mengangkat kaki, berapa jarak kaki harus direntangkan saat berjalan, bagaimana tangan harus diayunkan, saat seorang anak belajar berjalan? Pernahkah kita memberi tahu secara verbal seberapa besar mulut harus dibuka atau bagaimana lidah harus digerakkan saat anak mulai belajar berbicara? Kita memberitahu dengan cara memberikan contoh baik secara sadar maupun tidak sadar. Mirror neurons anak yang kemudian mengambil peran meniru (imitasi).
Berbeda dengan proses belajar orang dewasa, proses belajar anak di usia tujuh tahun ke bawah melalui tahapan melakukan, merasakan, baru kemudian terjadi proses berpikir sesuai dengan kemampuan berpikir pada usianya. Mengapa demikian? Secara naluri dan fitrah anak adalah bergerak untuk membuat anggota tubuhnya berfungsi, sehingga kebutuhan anak adalah untuk menggerakan anggota tubuhnya terlebih dahulu sebelum memfungsikan otaknya. Gerakan-gerakan anak terjadi secara tidak sadar. Mirror neurons anak bekerja meniru gerakan tanpa proses cernaan di kepala yang sebagian dilakukan oleh prefrontal cortex. Tidak heran jika anak meniru suatu gerakan ataupun perbuatan yang menurut kita tidak layak untuk ditiru. Bagi anak, semua yang ia lihat adalah hal yang baik karena prefrontal cortex-nya belum berfungsi.
Manusia adalah makhluk pembelajar dan makhluk sosial. Mirror neurons akan bekerja lebih intens ketika lebih banyak orang-orang di sekeliling kita melakukan tindakan atau perbuatan yang berpola sama. Kebiasaan 'latah' meniru apa yang orang lain lakukan. Sistem mirror neuron menyediakan salinan tindakan yang diamati, dan menafsirkannya sehingga dapat dipergunakan dan dapat diproses untuk penyimpanan memori. Mungkin kita pernah mengalami ikut-ikutan membeli suatu barang yang sedang trend. Pada orang dewasa, hal ini dapat dikendalikan jika kita lebih sadar untuk mengaktifkan prefrontal cortex. Namun pada anak, hal ini tidak berlaku. Pernahkah kita lihat suasana bermain yang demikian riuh tak terkendali ketika ada beberapa orang anak yang berlari-larian, berkejar-kejaran, dan berteriak-teriak? Sebaliknya, pernahkah kita lihat suasana bermain yang pasif dimana beberapa anak diam saja saling mengamati?
Meskipun penelitian mengenai mirror neuron masih terus dilakukan, namun setidaknya kita dapat memikirkan bagaimana perbuatan dan tindakan kita dapat ditiru oleh anak-anak. Itulah sebabnya mengapa kita layak untuk terus berusaha menjadi orang yang sepatutnya ditiru oleh anak-anak.
"Because of mirror neurons,
you’re children pay more attention to what you do
rather than what you say. "
Tidak ada komentar:
Posting Komentar