Rabu, 01 Maret 2017

Sebagai guru, kami tidak “mengajarkan” apa-apa!

Iya betul, kami tidak mengajarkan apa-apa! Nah lo! Guru macam apa itu? Setiap hari sekolah, kami hanya bernyanyi, mendongeng, dan memasak. Di hari-hari tertentu kami menyapu dedaunan kering yang berjatuhan, berkebun, membersihkan kolam ikan, menggergaji dan menghaluskan kayu, melukis, menggambar, finger knitting, membuat bentuk-bentuk sederhana dari beeswax, menyiapkan ini dan itu. Kami melakukan semuanya itu dan kami tidak pernah meminta atau menyuruh anak-anak untuk melakukan hal yang sama. Lalu apa yang dilakukan anak-anak? Mereka bermain...bermain...dan bermain... 

Apa sih yang ada dalam pikiran kami sebagai guru? Konsep pendidikan seperti apa yang kami miliki? Ah, kami tidak ingin membicarakan konsep-konsep rumit, cukup ini saja yang kami terus ingat di dalam kepala dan kami rasakan di dalam hati. 

“Receive the children in reverence; educate them in love; let them go forth in freedom.”
― Rudolf Steiner

“Our highest endeavor must be to develop free human beings who are able of themselves to impart purpose and direction to their lives. The need for imagination, a sense of truth, and a feeling of responsibility—these three forces are the very nerve of education.”
― Rudolf Steiner

“You will not be good teachers if you focus only on what you do and not upon who you are.”
― Rudolf Steiner

Berlandaskan hal tersebut, maka kami memandang segala sesuatunya dari perspektif anak. The Waldorf educational approach works from a child’s perspective. A Waldorf educator looks at what an individual child needs and responds to the child with a suitable approach. The teacher asks: “What do you need and how can I help you?”, “What can I do to make you flourish, to be happy, and to fulfill your potential and your dreams?”, “How can I help you become a well-round¬ed, healthy human being so that you respect yourself and your fellow human beings?” 

Kami tidak berangkat dari agenda-agenda kepentingan kami sebagai guru yang menginginkan anak bisa ini dan itu. Semua kami lakukan mengikuti tahapan perkembangan anak sesuai dengan ritme alaminya.  A Waldorf teacher is always striving to fulfil what a child truly needs – looking deeply into the child, wanting to really see and understand the child. And at the same time the teacher looks at the child’s developmental needs – where the child is at, what the child’s strengths and weaknesses are and how to help the child progress according to his or her own natural rhythm.

Yaaahhhh...semua itu bisa dibilang “teori” saja. Praktiknya gimana? Well, ini salah satu ceritanya. Salah satu aja looo...kl semua diceritain, nanti kepanjangan.... Berangkat dari semua pemikiran di atas, maka semua kegiatan yang kami lakukan adalah demi kepentingan anak. Apakah mereka membutuhkannya? Apa manfaatnya bagi mereka? Apakah sesuai dengan tahapan perkembangannya? Finger knitting, merajut dengan jari adalah salah satu kegiatan yang masih merupakan pro dan kontra di dalam pendidikan Waldorf, untuk dapat diberikan kepada anak-anak usia playgroup dan TK. Kenapa? Karena untuk kegiatan ini, seringkali kita “tergoda” untuk memberikan instruksi. Membangunkan thinking/proses berpikir anak yang belum saatnya dibangunkan. Namun kemudian kami kembali pada pertimbangan manfaat kegiatan ini untuk anak. Melatih motorik halus, koordinasi mata dan tangan, fokus dalam rentang waktu tertentu, kesabaran, kebahagiaan mereka dalam berproses dan melihat hasilnya. Dan bagi anak yang usianya menjelang usia sekolah dasar, maka kegiatan ini akan sangat membantu kesiapan mereka untuk dapat membaca dan menulis. Tetapi bagaimana caranya agar finger knitting ini tidak diberikan dalam bentuk instruksi?

Selama satu bulan, kami “memasukannya” dalam ritme keseharian kami. Ketika circle time, kami sisipkan lagu beserta gerakannya : “Kupintal kapas..kapas jadi benang. Kurajut benang...benang jadi tali. Kugulung tali...tali jadi bola. Bermain benang ku bermain...” Kami sisipkan juga kata-kata dan gerakannya : Tali yang panjang seperti ular... Tali yang pendek seperti ulat... Kupotong yang panjang... Kusambung yang pendek... Yang panjang jadi pendek... Yang pendek jadi panjang... Dan kamipun bermain ular naga panjangnya.

Selama satu bulan pula kami memberikan dongeng yang menceritakan tentang seorang penggembala tua yang selalu mengalami kesulitan ketika mengumpulkan domba-dombanya. Ringkasan ceritanya spt ini : Sang penggembala kemudian membuat sebuah pagar. Di bagian ini guru yang mendongeng menggunakan tali pendek untuk membentuk sebuah loop. Sang penggembala memperlihatkan kepada domba-dombanya bagaimana caranya melompati pagar ini satu per satu. Hap..domba yang pertama melompati pagar. Hap..domba yang kedua melompati pagar..demikian seterusnya sampai domba yang kelima. Di bagian ini guru yang mendongeng memperlihatkan bagaimana finger knitting itu dilakukan. Alangkah bahagianya sang penggembala melihat domba-dombanya berbaris satu per satu.



Dan setiap hari Selasa guru melakukan finger knitting sambil menyenandungkan lagu kupintal kapas...kapas jadi benang..dan seterusnya. Lalu apa yang terjadi? Dua minggu setelah ritme itu kami lakukan, anak-anak mulai bermain dengan benang. Mereka mulai mengurai gulungan benang, mengikatkannya dari satu kursi ke kursi lain, mengikatkannya ke kaki meja dan juga ke rak mainan. Beberapa hari kemudian ada anak yang meminta benangnya digunting dan anak tersebut mengikatkan benang ke ranting untuk dijadikan ketepel. Di hari yang lain, ada anak yang mengikatkan benang ke ranting untuk dijadikan pancingan.





Lalu apa lagi yang terjadi? Tiga minggu setelah ritme itu kami lakukan, seorang anak menghampiri guru yang sedang finger knitting dan berkata bahwa ia ingin membuat domba! haha... Terus terang agak bingung menanggapinya karena kami tidak ingin memberikan instruksi. Lalu guru berkata, pagarnya dibuat dulu. Dan anak tersebut membuat pagar seperti yang dilakukan guru saat mendongeng. Dia pergi ke sebuah sudut ruangan dan mencoba sendiri melakukan finger knitting. Tak lama kemudian ia berseru, “liat, aku bisa bikin domba!” Waaahhh.... Setelah itu anak lain menghampiri dan berkata ingin bikin domba juga. Lalu guru berkata lagi, bikin pagarnya dulu. Dan anak tersebut membuat pagarnya lalu memulai finger knitting. Sesekali ia berkata, “ini ko jadi begini?” Di saat itulah kami memberikan bantuan, sambil berkata, “dombanya lompat...hap...” Dan anak tersebut meneruskan kembali sendiri. Kemudian datang anak lain dan berkata, “pengen bikin gelang!”



Begitulah ceritanya. Dan aktivitas seperti finger knitting ini kami lakukan saat anak-anak sedang bermain. Ketika melihat guru sedang melukis atau menyiapkan beeswax atau sedang memotong wortel atau membungkus nasi dengan daun pisang sebagai snack dan kegiatan-kegiatan lain yang kami lakukan, anak-anak menghampiri kami dan ingin melakukan hal yang sama. Tentu saja tidak semua anak menghampiri. Ada juga yang asik bermain. Dan itu tidak menjadi masalah, karena bermain adalah “perkerjaan” anak-anak. 






Ketika mereka bermain, proses yang dilalui bisa dikatakan seperti seorang pelukis yang hanyut dalam proses melukisnya, seperti seorang pujangga yang sedang merangkai kata-kata indah menjadi sebuah pusi, seperti kita yang sedang sangat serius dengan pekerjaan di kantor.











Sekali lagi, kami tidak mengajarkan apa-apa! Anak-anak belajar sendiri dari apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan!