Senin, 16 Mei 2016

Public Talk - Day 1

May 16 (16.00-18.30) 
ASPECTS OF THE WALDORF CURRICULUM
Waldorf school education is not a pedagogical system but an art - the art of awakening what is actually there within human being

Thank you to all of the participants of  Public Talk 
with Horst Hellmann and Sharing Session with Gobind Vashdev



Our education system should give an opportunity for children to answer these questions :

“Who am I and why do I exist?
What is my role in life and in the community?
How can I influence and make a difference in the world?”

It's a process. Start from the first 7 years of child's development. Strong will that children have at this stage is followed by the "I" or ego that comes into their body. Before the "I" comes, new born baby has no control over limbs. You can see what pure will is like. Then the child learns to get the will under control. What is bringing the will under control? That is the "I" who will control their body. At that moment, children begin to realize that "I can stand upright, I can walk, and so on....I CAN DO THIS!



It's so important that the child is allowed to do the process by her/himself. We as adult should give the child opportunities to get the will under control. When we help the children or try to stop/over prevent them (oohh..don't do that, that's dangerous), then the "I" of the child can not really enter the body fully. These children have difficulties to control their movements. They may become hyperactive.

Then the child can't become consciously saying "there is the world and here am I." When the child has no quality of this "I" , then how can he/she answer those three questions in his/her later life?

Rabu, 11 Mei 2016

Menumbuhkan motivasi internal tanpa imbalan ataupun hukuman

May 19 
08.00-09.00 SHARING SESSION WITH GOBIND VASHDEV
09.00-11.30 
DISCIPLINE, PUNISHMENT, AWARD, AND GUIDANCE FOR AGE 3-12
Three principles in education: fear, ambition and love. 
Each age in human development is different.

Dalam kehidupan sehari-hari, di lingkungan sekolah, kantor ataupun rumah, penghargaan yang diberikan sebagai imbalan terhadap suatu keberhasilan dan hukuman mulai dari terguran sampai dg hukuman yg lebih keras sebagai konsekuensi dari kesalahan adalah hal yg mungkin pernah kita alami.

Hal ini kemudian menjadi kebiasaan yang juga dilakukan kepada anak-anak kita sehingga dampak yang muncul bisa jadi anak-anak melakukan sesuatu utk mendapatkan imbalan bukan karena mereka menyukai atau memiliki passion terhadap apa yg mereka lakukan, termasuk juga belajar, ikut les ini dan itu, merapikan kamar, membantu org tua, dll. Di lain sisi, anak-anak kemudian enggan melakukan sesuatu karena takut membuat kesalahan atau kegagalan.

"Development towards freedom" sejatinya adalah tujuan dari setiap konsep pendidikan yang merupakan proses sejak masa kanak-kanak sehingga segala sesuatu yang dilakukan anak akan berasal dari dalam diri mereka sendiri tanpa suruhan apalagi paksaan ataupun iming2 imbalan.
Jika ingin mengetahui lebih jauh mengenai hal ini, silakan ikuti public talk tanggal 19 Mei nanti...

https://www.facebook.com/events/695069293965454/?active_tab=posts

Minggu, 08 Mei 2016

Belajar menulis dan membaca : usia berapa?

May 18 
15.00-16.00 SHARING SESSION WITH GOBIND VASHDEV
16.00-18.30
WRITING, READING, BRAIN DEVELOPMENT
Are the children ready to learn? 
Are we unconsciously pushing them? 
The danger of early learning!

Otak manusia terdiri dari 2 bagian yaitu otak kiri dan otak kanan. Kedua bagian otak ini dihubungkan oleh corpus callosum. Pembentukkan organ ini belum sempurna sampai anak berusia sekitar 7 tahun.
Ketika penghubung otak kanan dan kiri ini sudah terbentuk dengan sempurna, maka anak akan mampu untuk membaca dengan baik, membentuk imaginative pictures dari kata-kata dan kalimat yg dibacanya dan memiliki memori visual yang membuat mereka dapat mengeja dg lebih mudah.

Ketika kita tergoda utk mengajari anak membaca sebelum mereka berusia 7 tahun, maka bukannya tdk mungkin anak dapat membaca, tetapi mereka hanya melakukan apa yg namanya proses decoding, bukan reading comprehension. Anak belum mampu mengkaitkan makna kata perkata menjadi sebuah kalimat utuh.
Jika ingin tahu lebih dalam mengenai hal ini, silakan datang tanggal 18 Mei ya...

https://www.facebook.com/events/695069293965454/?active_tab=posts

Sabtu, 07 Mei 2016

Memilih cerita dan buku cerita sesuai usia anak

May 17 (09.00-11.30) 
STORYTELLING ENHANCES THE STRENGTH OF THE CHILD'S SOUL 
What kind of stories shall we tell to our kids at what age? 
Choose the right picture books.


Ajindra dan Pohon Apel

Di padang rumput yang hijau, berdiri kokoh pohon apel dengan daunnya yang rimbun dan buahnya yang ranum memerah. Ajindra, seekor domba kecil berbulu putih, sangat senang bermain di dekat pohon apel tersebut. Setiap hari, ketika senja tiba, Ajindra selalu datang berkunjung. Ia akan merebahkan tubuhnya di bawah rindangnya dedaunan pohon apel tersebut, setelah seharian mengelilingi padang rumput. Di kala hujan turun, dedaunan itupun akan melindunginya dari terpaan angin dan air yang mengguyur.

Ajindra selalu datang dengan sebuah cerita setiap harinya. Pohon apel itu adalah sahabatnya. Tempatnya bercerita. Tempatnya menumpahkan kesedihannya, sekaligus juga tempat ia membagi kebahagiaan. “Wahai pohon apel, hari ini aku merasa kesal dan sedih. Ketika aku sedang bermain berkejar-kejaran bersama teman-temanku di sebuah kebun, Bapak pemilik kebun mengusir kami dan menuduh kami telah merusak tanaman-tanaman di kebunnya.” Di lain hari, Ajindra bercerita tentang kegembiraannyanya, “Wahai pohon apel, hari ini aku senang sekali karena mendapatkan teman baru. Temanku itu berkata kepadaku bahwa ia ingin selalu bermain denganku. Katanya, aku ini seekor domba yang lucu dan menyenangkan.” Kalaupun tidak ada suatu peristiwa yang menarik untuk ia bagi, Ajindra tetap mendatangi sang pohon apel untuk sekedar menyapanya. “Hai pohon apel, bagaimana harimu? Seharian ini aku hanya bermain biasa saja bersama teman-temanku. Berlarian, berkejar-kejaran dan menikmati rumput hijau di padang ini.”

Apapun yang diceritakan oleh Ajindra selalu ditanggapi dengan senyuman sang pohon apel. Terkadang Ajindra merasakan lambaian dedaunan pohon tersebut membelai wajahnya lembut ketika Ajindra menceritakan kesedihannya. Terkadang pula satu atau dua buah apel tiba-tiba terjatuh ketika Ajindra menceritakan kekesalannya. Buah apel yang segar ini memberikan ketenangan ketika Ajindra mengigit dan mengunyahnya. Ya, hanya itu saja. Pohon apel tidak pernah berkata apapun untuk menanggapi cerita Ajindra. Lama-kelamaan Ajindra berpikir, “Tidak ada gunanya aku berbicara kepada pohon itu. Dia tidak akan mengerti apa yang aku katakan. Dia tidak pernah bisa menghiburku atau memberiku saran ketika aku menghadapi masalah.”

Beberapa hari kemudian Ajindra tidak lagi mengunjungi sang pohon apel. Namun pada suatu sore Ajindra merasa rindu pada sang pohon. Ia kemudian bergegas untuk pergi ke padang rumput tempat ia biasa menjumpai sang pohon. Tetapi apa yang dilihatnya kali ini membuatnya sangat terkejut. Dedaunan yang biasanya hijau rimbun, telah berubah menjadi kering kecoklatan. Buah apel yang biasanya tampak ranum memerah sekarang sudah tidak tampak lagi. Batangnya yang kokoh, sekarang terlihat lesu. Pohon apel tersebut tidak dapat tersenyum lagi. Barulah Ajindra menyadari bahwa selama ini meskipun sang pohon hanya bisa tersenyum ketika Ajindra berbagi cerita, namun senyum itulah yang sangat dibutuhkan Ajindra. Meskipun sang pohon hanya diam, namun belaian lembut dedaunan sang pohon dapat mengurangi kesedihannya. Segarnya buah apel dapat menenangkan kekesalannya. Ajindra baru menyadari bahwa sang pohon adalah sahabat setianya tempat ia berbagi segala kejadian yang ia alami. Ajindra, sang domba kecil kemudian berdoa dengan sepenuh hati agar sang pohon bisa kembali seperti sedia kala. Doa yang dipanjatkan sepenuh hati ini terjawab. Beberapa hari kemudian hujan turun mengguyur padang rumput. Pohon apel kembali bisa tersenyum dan menjadi sahabat Ajindra berbagi segala cerita.



Dongeng ttg Ajindra ini dibuat agar anak dapat merasakan bahwa orang tuanya selalu menjadi tempat dimana ia dapat menceritakan apa saja yang ia alami atau rasakan. Agar ia tidak menyimpan sendiri kegundahan ataupun kesedihannya. Pun agar ia membagi kebahagiaannya.

Cerita ini sederhana, menggunakan metafora dan pesan moral tidak disampaikan secara langsung. Ketika berceritapun  tidak menggunakan ekspresi yang berlebihan.

Membuat cerita sendiri ataupun mengambil cerita dari buku tentunya dapat menjadi media yg lebih efektif utk menyampaikan pesan. Tetapi cerita atau buku spt apa yg sesuai utk anak berdasarkan usianya?

Bagi para orang tua, pendidik, ataupun teman-teman yg berprofesi sebagai pendongeng, mudah-mudahan materi tgl 17 Mei nanti akan menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian!

Selasa, 03 Mei 2016

Waldorf Curriculum - Mengajarkan tanda baca

ASPECTS OF WALDORF CURRICULUM - MAY 16
Waldorf school education is not a pedagogical system 
but an art- the art of awakening what is actually there 
within the human being

Dalam sebuah buku berjudul "School As A Journey" yg ditulis oleh Torin M. Finser berdasarkan pengalamannya menjadi seorang guru di sekolah Waldorf, beginilah cara dia mengajarkan tanda baca kepada murid-muridnya di kelas 4 SD. Dia mengajarkannya melalui keindahan berbahasa....

I am the period
I like to sit quietly
I bring each sentence to a close.

Oh, I am lusty,
Lively, and brave,
A nimble, jolly fellow
In most sentences
I am well known
For comma is my name
Sometimes I become so excited,
That I talk on, and on, and on...

Oh ho! Hurrah!
I'm here! I'm here!
All move aside!
For the exclamation point!
Make room! Make room!
The exclamation point is making a sentence!

I'd like to know
What is your name?
Where do you live?
What do you know?
What are you doing?
Say, do you know me?
The question mark?

Bagi para orang tua, guru, ataupun para home schooler tentunya dapat menyadari bagaimana cara-cara pengajaran spt ini dapat lebih meresap tidak hanya ke dalam kepala anak tetapi juga ke dalam hatinya. Keindahan berbahasa spt inilah yg kemudian akan menjadi cikal bakal kecintaan anak untuk membaca!

Jika ingin tahu lebih banyak mengenai kurikulum Waldorf :
https://www.facebook.com/events/695069293965454/

Minggu, 01 Mei 2016

Hari Pendidikan Nasional

Apakah pendidikan yang kita terima sejak kecil hingga sekarang kita telah dewasa dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini?

“Who am I and why do I exist?
What is my role in life and in the community?
How can I influence and make a difference in the world?”

Pendidikan seharusnya merupakan sarana untuk dapat melihat, membaca, memahami, dan memaknai kehidupan. Mempersiapkan anak,sehingga ketika dewasa mempunyai KEBEBASAN untuk memilih perannya di dunia ini.

Bagi saya pribadi, pertanyaan pertama dari ketiga pertanyaan itupun belumlah terjawab....

Pernyataan inilah yg kemudian mengawali ketertarikan saya utk mempelajari pendidikan waldorf

“Our highest endeavor must be to develop free human beings who are able of themselves to impart purpose and direction to their lives. The need for imagination, a sense of truth, and a feeling of responsibility—these three forces are the very nerve of education.”

-Rudolf Steiner-

Masih banyak pertanyaan yang ada dalam benak saya. Semoga terjawab di hari pertama Public Talk with Horst Hellmann and Sharing Session with Gobind Vashdev pd tanggal 16 Mei nanti...(2 hari setelah saya berumur empat puluh sekian tahun...)