Kamis, 30 April 2020

Setitik Pemikiran tentang Imajinasi

ditulis oleh : Bu Kenny

Fantasi dan imajinasi. Merupakan tahap awal proses berpikir anak. Ketika anak bermain, ia menggunakan berbagai objek yang ada di sekitarnya. Seringkali objek-objek ini digunakan bukan sebagai fungsi yang semestinya. Bantal-bantal kursi dijadikan perahu atau jembatan. Anak masuk ke dalam laundry bag, yang baginya adalah sebuah mobil. Guling-guling disusun berjejer menjadi rangkaian kereta api. Berbagai peralatan dapur dijadikan alat musik. Bunga, ranting, pasir, tanah menjadi bahan-bahan untuk memasak. Objek yang ditemui anak, bisa menjadi apa saja. Inilah fantasi. 



Saat anak berusia sekitar 4-5 tahun, ia mulai merancang permainannya. Ia ingin berperan sebagai petugas pemadam kebakaran. Ia mencari objek-objek yang bisa dijadikan alat untuk bermain pemadam kebakaran. Potongan kayu menjadi selang airnya. Ia ingin berperan sebagai seorang puteri. Kain-kain dililitkan menjadi gaunnya. Ia ingin menjadi penjual makanan. Biji-biji pinus dan batu menjadi ikan goreng. Tanpa objek di hadapannya, ia membayangkan sebuah konsep, lalu mencari objek yang dapat mewujudkan konsep di kepalanya. Inilah imajinasi. 




Apakah orang dewasa memiliki fantasi dan imajinasi? Tentu saja atau mungkin saja. Namun tak sehebat fantasi dan imajinasi anak. Mengapa? Karena kita sudah dipenuhi oleh pemikiran-pemikiran yang (menurut kita) logis, yang seringkali membuat kita tidak lentur dalam berpikir. Apakah hal ini akan mempengaruhi kita untuk memperoleh inspirasi dalam ranah feeling dan mempengaruhi kita dalam melakukan sesuatu berdasarkan intuisi? Itulah bahasan yang dibawakan oleh salah seorang orang tua murid, Bu Nanda, pada sesi ngobrol bersama orang tua hari Senin yang lalu. 

Saya tidak akan membahasnya disini. Karena nalar belum mampu mengkolaborasikan antara imajinasi, inspirasi, dan intuisi. Namun ada yang mampir di kepala saya. Saat kita dipertemukan dengan seseorang. Kita tahu orang itu. Bahkan kemudian kita bisa mengenal orang itu. Kita terlibat dalam berbagai interaksi dengan orang tersebut. Tetapi apakah kita memahami orang itu? Apa yang dia pikirkan? Apa yang dia rasakan? Mengapa ia mengambil keputusan itu? Mengapa ia melakukan hal tersebut? Kita mencoba memahami orang tersebut, namun  tak mudah. Kita mencoba menerima orang tersebut, tetapi cukup sulit. Proses apa yang terjadi saat kita mencoba memahami dan menerima seseorang dengan segala kondisi yang dimiliki orang tersebut? Mungkin banyak sekali prosesnya namun seperasaan saya salah satunya adalah proses imajinasi. Kita membayangkan diri kita ada pada posisi orang tersebut. Kita membayangkan apa yang ia alami. Kita membayangkan apa yang ia rasakan. Semua kita lakukan tanpa kehadiran objeknya yaitu orang yang bersangkutan dalam artian kita tak bisa "melihat" pikiran dan perasaan orang itu. Kita bisa melihat apa yang ia lakukan, namun yang terlihat hanyalah yang ada di permukaan. Imajinasi kita harus bekerja. 




Empati menjadi satu kata yang sangat penting dalam kehidupan kita sekarang. Empati terhadap orang lain....empati terhadap bumi dan seisinya. Empati adalah kemampuan dengan berbagai definisi yang berbeda yang mencakup spektrum yang luas, mengalami emosi yang serupa dengan emosi orang lain, mengetahui apa yang orang lain rasakan dan pikirkan, mengaburkan garis antara diri dan orang lain. Bukankah imajinasi masuk ke dalam spektrum yang luas itu? Jika iya, maka apakah kita masih pantas mengesampingkan proses bertumbuhnya imajinasi pada diri seorang anak? Apakah kita masih lebih mendewakan proses intelektualisasi yang kaku bagi seorang anak? 

Jumat, 24 April 2020

Di Tengah Perubahan

ditulis oleh : Bu Irma


"Mba sedih ya ga bisa mudik" ujar adik

"Toko jam segini udah tutup aja" ujar ibu

"Bapak kangen ke Masjid tapi pada ditutup" ujar bapak

"Ketemuan sama orang-orang semakin sering ya sekarang, tapi virtual hehe" ujarku

Banyak hal berubah. Banyak hal yang tak lagi sama terjadi di semua sektor kehidupan baik ekonomi, pendidikan, keagamaan dan yang lainnya. Mudah sekali menyebutkan perbedaan kondisi saat ini dengan sebelumnya dan itu yang lebih banyak terdengar di telinga ku juga yang sering keluar dari mulut ku.

Ramadhan tetap datang tak mengenal kondisi. Membuat ku merenung dan mencoba merasakan kehadirannya. Tersadar bahwa cahaya Rahman dan Rahim Nya tak pernah berubah, tak pernah luput, tak pernah sirna. Tetap sama! Hanya kami yang perlu lebih berlapang dan menengadah untuk menerima kasih-Nya.
Berusaha lebih baik memanfaatkan kesempatan yang diberikan-Nya sebagai bentuk syukur baik lewat lisan maupun tindakan. Syukur harus lebih banyak di serukan daripada membandingkan apa yang tak seperti biasanya lagi.

Selasa adalah waktu kami berkarya. Tertuang sedikit kata tentang apa yang dirasa.




Seringkali kita hanya berpusat pada apa yang tampak namun melupakan apa yang membuat hal-hal tersebut menjadi tampak. Berlian, emas, permata tak akan terlihat  kilaunya jika tak ada yang menyinarinya. Penglihatan menjadi gelap tanpa ada yang meneranginya. Cahayalah yang memberi arti.


Semoga dengan cahaya-Nya juga kehidupan ini menjadi lebih berarti.

Bumi dan Pandemi

ditulis oleh : Bu Mela


Tanggal 22 April kemarin adalah Hari Bumi. Aku masih ingat, tahun lalu saat hari Bumi, Jagad Alit outing ke Babakan Siliwangi. Sebelum jalan-jalan, kami melakukan operasi semut. Aku cukup banyak menemukan sampah bekas kemasan makanan yang masih utuh. Belum terurai, tapi terlihat udah lama banget dia berada di situ. Bekas mi instan, minuman sachet, sedotan plastik dll. Saat itulah titik balik aku menyadari bahwa... kasian banget ya bumi ini. Langsung sedih, banget. Sepulang dari sana, aku yang tadinya masih belum peduli sama pisahin sampah sesuai kategori, langsung cari tau tentang cara pilah sampah. Alhamdulillah sampai saat ini masih berjalan, walau ya memang belum 100% sempurna pilah sampahnya.


Manusia terkadang memang suka seenaknya sama bumi ini. Buang sampah sembarangan, banyak pakai kemasan-kemasan sulit terurai. Ah dan banyak lagi! Ga heran ya, bumi sekarang minta istirahat dulu. Seluruh dunia. Bukan cuma di Indonesia aja. Kita harusnya menyadari bahwa pandemi yang sedang dialami bumi ini, sedikit banyaknya adalah karena ulah manusia juga. Kita harus berlapang dada kalau saat ini bumi minta istirahat. Berapa lamanya, kita ga ada yang tau.


Aku baru dua bulan menjalani pola makan vegan, banyak alasan kenapa aku mau melakukan ini. Salah satunya, untuk bumi. Agar kelak kalau nanti aku punya cucu cicit mereka masih bisa lihat hewan-hewan dan bumi yang semakin indah dan hijau. Itu saja belum cukup, aku masih harus banyak melakukan hal-hal untuk bumi ini.


Ramadhan kali ini pun akan sangat berbeda. Walau berbeda, Ramadhan tidak akan pernah kehilangan makna. Punya cahaya dan ceritanya sendiri. Dengan banyak di rumah aja, semoga kita bisa lebih dekat dengan Sang Pencipta.


Selamat berpuasa ya. Semoga Ramadhan dgn bumi & pandemi ini tetap penuh keberkahan dariNya 🙏🏼

Kamis, 23 April 2020

Ilmu Pengetahuan, Seni dan Spiritualitas

ditulis oleh : Bu Kenny




"Apa yang kau cari akan mencarimu." Itu yang saya dengar dari seorang sahabat saya Pujiastuti Sindhu. 

Ilmu pengetahuan yang dijabarkan sebagai keluasan wawasan. Seni yang dijabarkan sebagai harmoni dan keindahan. Spiritualitas yang dijabarkan sebagai kedalaman esensi. Itu yang saya dapat dari sahabat saya, Nanda Indriana. Yang kemudian dalam kepala saya terbersit pula kebijakan dalam bernalar sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. 




Ritme wfh kami para guru di hari Selasa adalah Selasa berbagi. Membuat arts atau craft yang kemudian kami kirim melalui email kepada para orang tua untuk diprint dan diperlihatkan pada anaknya. Sudah lama saya ingin membuat wet on wet water color painting. Tapi tak cukup keberanian. Merasa tak cukup mumpuni untuk menghasilkan keindahannya. 


Saya teringat saat mengikuti Early Childhood Teacher Training di Bangkok. Para peserta diminta membuat veil painting. Melukis dengan teknik pewarnaan transparan yang berlapis-lapis. Kemudian kami diminta untuk memandangi hasilnya. Kami diminta untuk mencari sebuah bentuk dari lapisan warna-warna tersebut. Kala itu saya tak mengerti kedalaman makna dari cara melukis seperti itu. 









Di malam Selasa  saya teguhkan niat. Mengumpulkan keberanian untuk membuat veil painting. Dan gagal...hahaha. Namun....inilah hasilnya. Saya menyapukan kuas. Warna merah dan kuning. Mengalir di atas kertas yang sebelumnya direndam air. Merah dan kuning saling menghampiri. Berbaur berpadu. Sedikit warna biru turut serta. Berbaur berpadu. Saya memandangi hasilnya. Mencoba mencari sesuatu. "Apa yang kau cari akan mencarimu."




Tiba-tiba bagaikan hadir ke dalam diri saya. Sebuah bentuk. Bentuk yang hidup. Lekat saya tatap. Ia bagai menyampaikan sesuatu pada saya. Sesuatu yang merangkai banyak pemikiran di kepala saya. Sesuatu yang merangkai banyak pemikiran menjadi sebuah kedalaman esensi. Maka hadirlah untaian kata. Sebuah karya yang bagi saya merupakan harmoni dari ilmu pengetahuan, seni dan spiritualitas. 



Kamu tercipta dari sekian banyak warna
Yang mengalir dan melebur
Kamu mungkin merasa tak ada
Tapi aku bisa melihatmu
Dari sekian banyak warna 
Yang mengalir dan melebur
Kamu adalah cahaya






Jumat, 17 April 2020

Hikmah Karantina

ditulis oleh : Bu Mela


Masih dalam masa karantina. Sudah mulai bosan belum ya di rumah aja? Aku sendiri masih menikmatinya. Dengan ritme baru yang ada tentunya punya keseruan dan cerita tersendiri. Kadang juga aku menikmati waktu tanpa hal produktif. Menurutku untuk ga produktif sesekali, ga apa-apa juga. Enak lho! Hehehe....

Dalam masa seperti ini sebenarnya banyak hal yang bisa kita pelajari, banyak juga hikmah yang bisa diambil. Salah duanya adalah lebih dekat dengan keluarga & semakin merasakan arti kehadiran seseorang di dalam hidup kita. Ya ga sih? Juga... Dengan adanya pandemi ini, orang-orang banyak yg reuni virtual, padahal tadinya mungkin jarang sekali kontakan. Banyak juga yang jadi jago masak, padahal tadinya jarang ke dapur. Jadi jago baking, padahal tadinya ga bisa sama sekali bikin kue. Jadi sering main sama anaknya, padahal tadinya buat ngobrol aja  jaraaang banget 😁




Seru ya. Alhamdulillah. Ada aja memang caraNya untuk kita belajar lebih banyak tentang hidup. Mengutip dari salah satu study group bersama Ibu Manda “Esensi dari belajar adalah perubahan”. Berati kalau ga berubah? Apa ya...?

Semoga setelah pandemi ini banyak hal yang kita pelajari ya :)

Menangkap Makna

ditulis oleh : Bu Irma



Sore itu cerah sekali. Cahayanya tampak kuning kemerahan. Mengisi setiap sudut pandang menjadi terang. Terlihat tunas-tunas telang tumbuh riang dimana saja, bunganya tak kalah senang ikut tumbuh berkembang. Daun bawang cepat sekali tumbuh meninggi, tak hanya tinggi namun cukup lebat dan tampak enak tuk di aduk menjadi telor dadar. Tanaman mangga, lerak, pepaya, arbei dan jeruk semakin jangkung. Warna kuning dan merah di tanaman Alamanda dan Dadap yang mencolok itu tertangkap mata sedang tumbuh subur dan merekah. Daun pohon pisang terlihat memberi kode siap dipanen untuk dijadikan sampul pepes. Mint kesukaan ku tampak baik-baik saja dan daunnya semakin banyak. Tanaman rambutan yang terakhir kali ku lihat 15cm, kini tak tampak. Kemana dia? Ternyata aku merasakan social distancing bukan dengan manusia saja, namun dengan tanaman juga. Ya itu semua tanaman kami di sekolah. Aku melihat kondisi itu dari layar gadget ku. Dalam waktu sebulan ternyata banyak sekali ku lewatkan tumbuh kembang tanaman yang biasanya ku tengok hampir setiap hari. Dalam sehari ada saja perbedaan dari tanaman yang dapat kami temui. Ada biji yang mulai bertunas, ada daun muda yang mulai merekah, ada buah yang sudah memerah, bahkan yang hampir mati karena hama pun dapat kami temukan. Pilu, karena tak tahu pasti bagaimana mereka tumbuh, namun tetap bahagia saat tau mereka yang baik-baik saja dan semakin baik. 


Merasakan semua itu, hati dan pikiran berlari kencang pada murid-murid ku. Selama ini tak bertemu, sudah seperti apa kamu anak-anakku? Setiap harinya biasanya aku mendapat "laporan-laporan" penting dari mereka. Dari celotehannya, dari permainannya, dari interaksinya dan hal lainnya. Pilu, tak ikut serta membersamai perjalanannya. Namum, bahagia karena aku tau mereka selalu berada bersama dengan sosok-sosok terbaik untuknya. 

Jarak ternyata membuat banyak insan semangkin sadar akan berartinya masa saat sedang berdekatan. Sadar, hadir, penuh, utuh itu menjadi hal yang perlu ditanam dalam diri agar mampu menciptakan hal-hal terbaik di setiap momennya. 

Merindukan momen kebersamaan tercurah pada karya dan surat cinta minggu ini. Ku putuskan membuat family portrait. Saat menggambarnya aku bayangkan satu persatu sosoknya. Formasi lengkap! dimana kalau di kenyataan foto dalam formasi lengkap itu agak sulit terjadi hehe. 



Banyak momen bersama yang melintas dihati. Ini salah satu momen terbaik yang dapat tertuang



Parenting minggu ke 3 ini berjalan seperti biasanya. Ku temukan satu kutipan yang berbunyi:

“Something very beautiful happens to people when their world has fallen apart: a humility, a nobility, a higher intelligence emerges at just the point when our knees hit the floor. Perhaps, in a way, that’s where humanity is now: about to discover we’re not as smart as we thought we were, will be forced by life to surrender our attacks and defences which avail us of nothing, and finally break through into the collective beauty of who we really are.”
-Marianne Williamson-

Menarik! Kutipan ini bilang kalau suatu keindahan itu dapat terjadi di fase terendahnya kehidupan. Situasi sulit, terpuruk dan mungkin tak nyaman. Namun kondisi tersebut dapat menyadarkan akan ketidakmampuan dan keterbatasan yang menjadi obat kerasnya diri. Sehingga kemudian sanggup menangkap hikmah dengan lebih jernih yang membawa kepada kondisi yang lebih baik. 

Kutipan itu rasanya mewakili kondisi pandemi saat ini. Situasi sulit, tak nyaman dan penuh keterbatasan sedang terjadi dimana-mana. Pernyataan dan pertanyaan muncul beriringan, "Sekarang aku jadi ga bisa lakuin ini, ini, ini dan ini lagi, terus apa yang bisa aku lakukan?" kalau kata orang sunda mah intinya "urang kudu kumaha atuuuuuh?" 
Rasanya ini jadi waktu yang tepat untuk merenung, menyadari segala ketidakmampuan diri dan melepaskan segala "kesombongan" yang selama ini menjadi tiang untuk menggantungkan diri.

Semoga kami mampu melewati masa ini dengan segala kerendahan hati, dengan segala modal yang masih dititipkan-Nya saat ini, dengan segala kenikmatan-Nya yang masih tercurah hingga detik ini. Teriring doa dan segala upaya semoga akhir yang baik dan indah dapat kami rasakan bersama. Aamiin. 


Kamis, 16 April 2020

Selimut rindu

ditulis oleh : Bu Kenny

Tiga minggu berlalu. Kami para guru menjalani ritme work from home. Senin membahas artikel dan ngobrol dengan para orang tua melalui zoom. Selasa membuat art work atau craft dan mengirimkan fotonya melalui email untuk diprint oleh para orang tua dan diperlihatkan pada anaknya. Rabu istirahat. Kamis ngobrol antar guru termasuk melakukan child study dan interview calon guru melalui zoom. Kami juga menulis surat untuk anak-anak dan mengirimkan foto surat untuk diprint dan dibacakan oleh orang tua pada anaknya. Jumat membuat tulisan seperti ini. 



Artikel yang dibahas selalu  membuka wawasan baru. Obrolan selalu seru. Foto arts, craft dan surat selalu mendapat tanggapan hangat dari para orang tua dan anak-anak. Para orang tua menceritakan anaknya yang minta dibacakan suratnya berulang kali. Beberapa anak mengekspresikan apa yang muncul di benak mereka akan sekolah dalam bentuk gambar. Permainan di rumah pun diwarnai dengan permainan dengan setting sekolah-sekolahan. Hal-hal seperti itulah yang kami dengar dari cerita para orang tua. Keterhubungan kami dengan anak-anak dan para orang tua terus terjaga. Kita semua bagai sedang menata selimut rindu. Membentangkannya dengan hati-hati, merapikan ujung-ujungnya yang bersudut, menariknya hingga ke ujung leher agar memberi kehangatan ke seluruh tubuh. 



Sementara itu undangan pertemuan virtual dari sana dan sini untuk keperluan ini dan itu semakin kerap. Undangan mengisi atau menyaksikan obrolan live-pun berdatangan. Tak berbatas jarak. Kita dapat bertemu dengan orang-orang yang dulu sulit kita temui karena tinggal di kota atau negara yang berbeda. Tak ada kendala lalu lintas yang macet atau jarak yang jauh untuk menemui orang-orang di kota yang sama. Dan....tak berbatas waktu! Pertemuan virtual dapat dilakukan kapan saja sepanjang kita mau. Pagi, siang, sore atau malam hari. Hujan deras tak jadi penghalang. Belum mandi pun tak jadi masalah. Sambil masak, sambil mencuci pakaian atau menyeterika, menjadi mungkin untuk tetap dapat pergi secara virtual menghadiri sebuah meeting. Bahkan ada pula yang mengadakan pertemuan virtual sambil sarapan, makan siang, atau makan malam di hadapan layar dengan video on seakan sedang makan bersama-sama di satu meja. Pertemuan dan kebersamaan yang dulu seringkali terkendala, sekarang malah jadi pertemuan yang bisa dilakukan kapan saja kita mau. Namun kemudian mulai muncul agenda pertemuan virtual yang waktunya berbarengan. Itu mungkin sekarang yang menjadi kendala. Tetapi pertemuan virtual yang berbarengan waktunya bisa saja kita lakukan jika kita mau. Dulu kita tidak bisa datang ke tempat yang berbeda dalam waktu yang bersamaan, namun sekarang kita bisa hadir di tempat virtual yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. 

Aneh ya.... Entah apa yang aneh. Tapi saya merasakan keanehan itu. Dan diantara keanehan itu, saya merasakan keanehan yang lain. Aneh bahwa ternyata pertemuan virtual itu melelahkan. Bukan karena frekuensinya yang sering, tapi setelah saya selesai di satu pertemuan virtual, badan terasa letih sekali. Cukup lama saya berpikir (seperti biasa....kelamaan mikir...hehe). Mungkin ini penyebabnya. Etheric, astral dan I kita bekerja keras. Keras sekali. Kenapa? Karena physical body kita tidak hadir saat kita melakukan keterhubungan virtual. Empat indera dasar kita, yaitu movement, balance, life dan touch tidak berperan sebesar atau seaktif ketika kita melakukan interaksi langsung dengan orang lain. Kita duduk di hadapan layar, berbicara kepada layar, mendengar suara orang melalui earphone atau speaker komputer, bahkan kini ada istilah virtual hug. Semuanya membantu....sangat membantu di saat seperti ini. Tetapi di lain sisi, banyak sekali yang hilang dengan bentuk keterhubungan seperti ini. Ketidakhadiran kita secara fisik ternyata malah membuat kita letih! Membuat kita harus bersusah payah. Saya teringat pembicaraan dulu saat study group, bahwa physical body adalah kendaraan bagi etheric. Ketika kendaraan ini tidak hadir, dan tidak pula aktif berinteraksi melalui movement, balance dan touch, maka apa yang terjadi dengan etheric? Apa yang kemudian terjadi dengan astral dan I? 




Aneh...dan menarik. Menarik untuk ditelisik lebih lanjut. Saat ini marilah kita membentangkan selimut rindu dengan hati-hati, merapikan ujung-ujungnya yang bersudut, menariknya hingga ke ujung leher agar memberi kehangatan ke seluruh tubuh. Hingga nanti suatu pagi kita terbangun dan melipat selimut itu dengan hati-hati, merapikan lipatan ujung-ujungnya yang bersudut, menyimpannya di sisi tempat tidur kita. 


Jumat, 10 April 2020

Mencoba Untuk SADAR

ditulis oleh : Bu Mela

Minggu kedua WFH. Awal minggu ini aku berkesempatan mendapat giliran untuk membahas sebuah artikel, setelah berpikir cukup lama selama 5 menit (haha), akhirnya aku memilih untuk membahas tentang mindful. Topik yang menurutku tidak hanya penting untuk saat ini, tapi hari-hari biasa tanpa adanya pandemi.

Aku bukanlah orang yang ahli dalam bidang mindful ataupun meditasi. Pernah ikut beberapa kali acara meditasi bersama sang ahli, membaca buku tentang mindful dan berusaha menerapkannya sendiri setiap hari. Aku hanya ingin berbagi kepada orang lain tentang apa yang aku dapat dan manfaatnya. Beberapa manfaat mindfulness, dapat dilihat pada salah satu artikel yang kemarin aku bahas bersama para orang tua https://www.mindful.org/9-ways-mindfulness-reduces-stress/  Serta mengolah rasa, seperti dalam artikel https://www.mindful.org/keeping-a-cool-head-and-warm-heart-in-challenging-times/ . Kedua hal tersebut terdapat dalam six basic exercise yang kudapat saat Early Childchood Teacher Training di Bangkok. Mindfulness juga beberapa kali menjadi topik yang dibahas dalam teacher training. Karena sadar penuh hadir utuh sangat dibutuhkan saat kita sedang berada dengan anak-anak. Tidak hanya fisiknya saja yang hadir, tapi ‘isinya’ juga hadir, tidak melayang kemana-mana.



Minggu ini juga aku menggambar bagaimana suasana halaman bermain di Jagad Alit. Tiba-tiba terbayang rumput hijau terbentang dan anak-anak bermain di sana, guru-guru melakukan kegiatan bermakna bersama mereka. Lalu aku tuangkan ke dalam kertas dalam buku jurnalku. Ah... Sudah lama tidak jumpa mereka, pasti begitu berjumpa, semuanya sudah tampak tumbuh besar :D

Kapan yaaaa bisa jumpa?

:)

MIND·FUL - /ˈmīn(d)fəl/

ditulis oleh : Bu Irma

Mindfulness is the practice of being aware of your body, mind, and feelings in the present moment, thought to create a feeling of calm (dictionary.cambridge.org)

Mindfulness secara singkat adalah hadir utuh. Dalam konteks Islam disebut khusyuk.

Kita hidup di zaman yang serba cepat. Makan ingin cepat yang berujung makan makanan instan atau cepat saji. Merasakan keseimbangan asin, asam, manis atau nilai gizi dari sebuah makanan jadi nomor sekian. Bepergian inginnya cepat sampai, padahal macet dimana-mana. Jam seolah lebih menarik dibanding pemandangan yang terjadi di sekitar. Silaturahmi hanya sekedar basa-basi atau sesuai kepentingan saja karena agenda berikutnya menanti. Sampai rumah, hanya sisa tenaga yang tersaji. Belum lagi teknologi yang serba cepat membuat gelombang informasi bagai tsunami! Tak terkontrol dan seringkali melelahkan hati juga pikiran. Rasanya mindful saat berkegiatan menjadi sangat jarang dilakukan. Menjadi relevan ketika kegiatan atau terapi Mindfulness menjamur dimana-mana. 

Ini minggu ke-2 kami guru-guru Jagad Alit melakukan WFH(Work From Home). Di hari senin seperti biasa kami membahas sebuah artikel. Mindfulness, ya itu tema yang di bahas minggu ini. 

Berikut artikel yang kami bahas:



Yang pernah mencoba meditasi mungkin tau apa itu waktu hening. Dalam beberapa menit kami melakukan itu bersama. Setelahnya banyak sekali hal-hal yang muncul untuk di renungkan. Bagaimana ya menjadi seorang guru yang bertanggung jawab? menjadi anak yang berbakti? menjadi kakak yang baik untuk adiknya? menjadi kawan yang menyenangkan? menjadi individu yang bersahaja? dan yang utama menjadi hamba Allah yang diridhai? Seketika semuanya terjawab yaitu dibutuhkan keadaan diri yang hadir penuh utuh saat menjalani peran-peran tersebut. 

Dalam kondisi pandemi Covid19 ini banyak sekali Allah kasih kesempatan untuk kami manusia dapat berintrospeksi. Kesempatan untuk menyadari diri dan bagaimana seharusnya. Terucap syukur,syukur,syukur karena masih diberi waktu hingga detik ini untuk menyadari makna setiap kehidupan yang dilalui. 

Artwork selasa minggu ini aku membuat suatu karakter dari tali dengan teknik macrame yang terinsprirasi dari beberapa aktivitas anak-anak di sekolah. Melompat, bergelantungan dan memanjat. Ku beri nama Mister Kero. Mister Kero ini suka sekali makan buah-buahan dengan harapan anak-anak di rumah selalu mengkonsumsi buah agar selalu sehat dan bahagia. 



Adapun surat cinta minggu ini yang sudah sampai pada sang pembaca sebagai berikut:


Satu kutipan yang sangat mengena untuk menutup minggu ini:

Berbahagialah
orang yang dapat menjadi tuan bagi dirinya
menjadi pemandu untuk nafsunya
dan menjadi kapten untuk bahtera hidupnya
-Ali bin Abi Thalib-





Kamis, 09 April 2020

Kosong

ditulis oleh : Bu Kenny






Dua minggu berlalu. Tak nampak tas-tas dan botol minum yang digantung. Halaman bermain tak terdengar riuhnya. Tak kelihatan sepatu-sepatu yang berderet. Ruangan lengang. Tak terlihat rumah-rumah imajinasi dari susunan kursi-kursi, kain-kain dan tali-tali. Tak ada anak-anak yang sedang merangkak jadi kucing. Tak tercium aroma masakan yang biasanya mengundang anak-anak untuk menghampiri.




"Lagi ngapain?" "Hari ini kita makan apa?" "Liaaat...liaaatt..!" "Mau ikut potong-potong." "Bunganya cantik sekali." Dua minggu berlalu tanpa terdengar kata-kata itu. Tak ada yang menghampiri menyodorkan makanan yang dibuat dari pasir, bunga, kerang, batu, sambil berkata, "Ini nasi goreng pedas." Papan alas gambar, kertas dan crayonnya tak terusik. Kuas untuk melukis sedang beristirahat dari tariannya. Tali finger knitting teronggok menunggu dongeng menangkap ikan yang biasanya mengiringi anak-anak menjalin tali, membuat simpul-simpul rantai ikan berderet. Beeswax terasa dingin. Lama tak merasakan kehangatan yang mengalir dari genggaman tangan-tangan kecil.


Dua minggu berlalu. Kosong namun tak hampa. Sepi namun tak sunyi. Apa bedanya kosong dan hampa? Apa bedanya sepi dan sunyi? Entahlah. Saya hanya merasa seperti itu. Cukup lama saya kemudian memikirkan hal ini. Saya seringkali berkata bahwa tak ada satu kejadian pun yang kebetulan. Dan memang demikianlah adanya. Seakan menjawab kegelisahan kepala saya, muncullah sebuah postingan di news feed media sosial saya. Bagian awal postingan tersebut berbunyi seperti ini, 

"Hidup itu bagaikan denyut jantung. Ia memiliki irama dan masing-masing irama memiliki fungsinya tersendiri. Untuk bisa berfungsi dengan baik, jantung harus mengosongkan dirinya terlebih dahulu agar darah bisa mengalir masuk ke dalam billik-biliknya untuk kemudian diteruskan ke tempat-tempat peruntukannya. Dan ia harus terus berdenyut. Jantung tidak menahan isinya. Ia terus mengalirkan.......Kita pun harus punya saat ketika diri dikosongkan......Tidak mudah untuk bisa “kosong” itu....."

Saya kemudian memberi komentar pada postingan tersebut, bertanya "Apakah bedanya kosong dan hampa? Apa pula beda sepi dan sunyi?" Dan jawaban yang diberikan bagaikan menyuarakan apa yang saya rasakan. 

“Kosong” berbeda dengan “hampa”. Desain mesjid adalah kosong, tidak ada furnitur, tidak ada bangku. Dalam kekosongan, justru kekuatan akan mengalir dan mengisinya. Dengannya kekosongan akan berubah menjadi sumber kekuatan. Di dalam diri kita juga ada mesjid, rumah tempat Allah bertajalli. Yaitu qalb. Maka qalb harus kosong dari selain-Nya. Hampa biasanya lebih berkonotasi negatif. Kekosongan yang tanpa asa. Seperti hati yang hampa. Dan ruang hampa udara.

Demikianpun “sepi” tak berarti “sunyi”. Kita bisa saja di tengah sepi tapi tak perlu merasa sunyi. Karena sunyi lebih bermakna kesedihan. Seperti puisi Amir Hamzah, “Sunyi itu duka.”

Saya benar-benar tertegun membaca postingan awal dan jawaban itu. Saya melihat halaman bermain dan ruangan yang kosong. Namun saya tak merasa hampa. Tak terdengar suara anak-anak, gelak tawa, seruan, ataupun alunan nyanyian dan untaian dongeng. Sepi. Namun saya tak merasa sunyi. 

Entahlah....tak dapat saya jelaskan bagaimana saya kemudian merasakan kekosongan ini bagaikan memberikan wadah untuk menampung dan mengolah apa yang saya tangkap dari sekeliling saya. Dari hasil olahan itu muncul secercah asa. Baru dua minggu....baru dua minggu kita, para guru, orang tua, dan anak berinteraksi dengan cara dan ritme yang baru ( https://jagadalitschool.blogspot.com/2020/04/permainan-nalar-rasa-dan-karsa.html ). Mungkin masih cukup banyak yang akan kita temukan. Namun dalam dua minggu inipun cukup banyak harta karun yang saya temukan. Proses dua minggu ini adalah proses penggalian. Perjalanan dan penggalian ke dalam diri. Yang saya temukan barulah permukaannya. 

Permainan nalar, rasa dan karsa. Itulah yang saya temukan di permukaan. Permainan nalar, rasa dan karsa di dalam diri saya sendiri. Lalu berlanjut keluar. Bagaimana nalar, rasa dan karsa saya bermain dengan rekan guru yang lain, dengan para orang tua, dan dengan anak-anak. Seperti halnya permainan yang dilakukan oleh anak-anak, permainan ini memunculkan berbagai dinamika. Dinamika yang menjadi proses untuk menyelaraskan ide dan aturan permainan, mengatur rasa antipati dan simpati, dan kemudian menjalankan permainan tersebut dengan konsisten namun cukup fleksibel. Prinsip dasar permainan yang telah disepakati bersama hendaklah dijadikan pegangan. Ketika anak-anak bermain petak umpet misalnya. Jika anak yang menjadi kucing (menghadap tembok/pohon/apa saja dan menutup matanya) mengintip saat ia berhitung dan teman-temannya bersembunyi, maka akan ada temannya yang berseru, "Liciiikkk....curaaanggg...ngintip!" Sedangkan hal-hal yang sifatnya tidak prinsip, bisa dibuat fleksibel. Anak bisa bersembunyi di mana saja. Tak ada prinsip mendasar yang disepakati bersama mengenai di mana anak boleh bersembunyi. Mereka bisa bersembunyi di mana saja dengan cara yang berbeda-beda. 




Apa lagi yang saya temukan? Masih banyak sebetulnya. Dan kebanyakan dari yang saya temukan adalah bersumber dari ritme yang saya lakukan dalam dua minggu ini. Doing...willing. Saya mencoba menerapkan mindfulness dan latihan nafas dari materi sharing yang diberikan Bu Mela. Saya lakukan saat menjalankan sholat dan saya menemukan sesuatu. Saya membuat crayon drawing sederhana sebagai ritme hari Selasa. Selain memang segitunya kemampuan menggambar saya...hehe...namun saya menemukan sesuatu. Perbedaan respon anak ketika melihat gambar yang sederhana dan melihat gambar yang "keren." Hal ini juga terjadi ketika kita sebagai orang dewasa disajikan sesuatu yang sederhana dibandingkan dengan ketika kita disajikan sesuatu yang sudah lengkap dengan solusinya.






Saya membuat surat untuk anak-anak sebagai ritme hari Kamis. Saya tulis sedemikan rupa, tampak tidak menarik, tanpa disertai kata kangen atau rindu.  Dan saya menemukan sesuatu dari cara saya menulis surat seperti itu. Saya membuat artikel seperti ini sebagai ritme hari Jumat dan banyak sekali yang saya temukan sebagi olahan nalar, rasa, dan karsa. Ritme itu sama-sama kami jalankan sebagai guru. Tentunya setiap orang punya caranya masing-masing. Hasil permainan nalar, rasa, dan karsa di dalam dirinya. 



Satu hal lagi yang saya dapatkan. Artikel ini. Kosong dan hampa. Sepi dan sunyi. Bisa jadi hanya permainan kata. Namun ternyata penuh makna. Tiba-tiba saja kedua pasangan kata itu muncul di benak saya saat saya melihat halaman bermain dan ruangan Jagad Alit. Tiba-tiba saja muncul. Sepertinya dari memori masa lalu. Mungkin saya pernah membaca buku atau puisi, yang dulu tidak saya mengerti artinya. Mungkin saya pernah mendengar dongeng yang tidak saya pahami secara detail. Namun saat ini, berpuluh tahun kemudian, muncul di benak saya. Lalu saya mencari. Dan saya temukan maknanya yang mendalam di dalam jiwa. Di titik ini saya ingin berkata, "Betapa bersyukurnya anak-anak dapat mendengarkan dongeng setiap pulang sekolah. Dongeng yang berisi kata-kata indah, berima, puitis, yang mungkin tak mereka pahami artinya saat ini. Tapi nanti....nanti...kata-kata itu akan tertoreh dalam jiwa mereka. Menjadi bagian dari petunjuk-petunjuk untuk menjalani hidup mereka dengan penuh makna." 

Kosong, memberi saya kesempatan untuk melakukan perjalanan ke dalam diri. Perjalanan ke dalam diri acap kali terasa sepi. Namun tak sunyi. Pun tak hampa.

Jumat, 03 April 2020

"Seminggu tak bertemu. Apa kabar kamu?"

ditulis oleh : Bu Irma

Begitu kurang lebih inti topik dalam kurun waktu seminggu ini. Iya seminggu, baru seminggu kami guru-guru Jagad Alit memulai WFH (Work Form Home) walaupun kami sebernya sudah hampir 2 minggu tak saling bertemu. Rasanya berbeda ya, sangat berbeda karena banyak sekali perubahan pola kerjanya yang tentunya merubah ritme, kebiasaan dan banyak hal lainnya. Mungkin pandemi ini sedang mengajarkan, memberi kesempatan dan juga menyadarkan bahwa manusia itu sejatinya bersahabat dengan perubahan, perubahan itu tidak buruk, perubahan itu pasti terjadi. Kita dulu kecil lalu tumbuh, berubah menjadi dewasa. Sebanyak itu pula kita mengalami perubahan. Kita (mungkin) pernah sangat sibuk di luar, (mungkin) saat ini berubah jadi sangat sibuk di rumah. Perubahan itu (harusnya) biasa. Mengambil hikmah lalu menentukan langkah adalah hal terbaik yang mungkin bisa dilakukan.


Kami akhirnya merancang ritme baru, menyatukan pemikiran dan ide2, mengolah ego, memperbesar toleransi hingga jadilah ritme yang selaras untuk kami. Senin kemarin adalah waktu untuk parenting bersama orang tua, melalui virtual meeting tentunya. Kapan lagi kalau ga "moment" ini kami bisa bincang2 banyak sama orang tua. Terlepas dari info yang berisi materi, kami pun mendapat info mengenai keadaan satu sama lain. Hal itu  tentunya penting bagi kami dan mengobati rindu kami baik pada para orang tua maupun anak-anaknya.


Selasa adalah waktu kami membuat artwork. Biasanya dalam seminggu hal-hal yang kami lakukan sudah tertata. Mulai dari menu masakan, aktivitas indoor dan outdoornya termasuk artworknya. Sekarang puter kepala se-puter-puternya buat nentuin mau bikin apa atau ngapain. Banyak banget ide-ide yang muncul di kepala sampe lebih lama mikir dari pada eksekusi. Dari parenting senin itu memang kekuatan orang dewasa ada dipikirannya dan kekuatan pikiran itu yang dapat membawa suatu keajaiban atau menjadi boomerang untuk diri sendiri. Akhirnya aku memutuskan membuat craft dari benang. Membuat sesuatu dan memberikan makna pada sesuatu itu. Ternyata membuat hal sederhana jadi lebih berharga rasanya. Finger crochet bulat kuning yang diberi nama Alamanda jadi! Artwork yang kami buat diperuntukkan kepada anak-anak. Semoga kalian suka, semoga kalian senang. Itu aja. Cukup.


Di hari kamis kami penjadi pujangga 😂. Membuat surat buat anak-anak. Sudah lama ingin jadi sobat pena, terwujudlah dalam "moment" ini. Sebuah kesempatan untuk kami memberi kabar pada anak-anak dan berbagi kisah. Hal ini biasanya kami sampaikan langsung setiap harinya. Respon anak-anak selalu jadi penghibur dan berkesan. Tingkahnya, ucapannya, pola pikirya seringkali "out of the box", lebih dari yang kami bayangkan. Beberapa balasan surat tersirat sampai pada kami. Haru! Rindu! Itu!


Sampai di ritme jumat. Waktu kami merefleksikan semuanya. Pandemi ini memang meresahkan namum sebagaimana kami selalu ingin membagikan gambaran pada anak-anak kalau "dunia itu baik", "dunia itu indah" tidak pernah kita coba lakukan untuk diri sendiri, maka hal itu akan terpancar dan ditangkap pula oleh anak-anak. Allah sudah merencanakan segala hal yang terbaik untuk kita semua. Menerima ketetap-Nya dengan penuh syukur dan sabar, tak lupa ikhtiar dan tawakal. Berharap setiap waktu yang dilalui bisa bernilai kebaikan dan esok bisa menjadi lebih baik.



Terucap Syukur

Irma Amalina

Ritme Baru

ditulis oleh : Bu Mela

Selama bergabung dengan Jagad Alit sejak Agustus 2016, aku baru pertama kali menjalani kerja dari rumah atau kerennya disebut Work From Home. Beda banget rasanya. Butuh penyesuaian dari awal lagi, ritme berubah lagi. Tapi aku menikmatinya dan sedang menyesuaikan diri dengan ritme yang terbentuk secara otomatis. Rasa rindu sama anak-anak sudah ada sejak libur tengah semester minggu lalu.

Ini baru minggu pertama kami WFH. Senin kemarin kami ngobrol via ZOOM bersama para ortu murid. Heboh ya. Seru. Yaa kayak lagi kumpul sarseh, namanya juga ibu-ibu... Cukup mewakilkan dan mengobati rasa rinduku pada anak-anak.

Selasa, meaningful activity. Aku pilih untuk memasak. Hal yang selalu aku lakukan selama di rumah aja, ya masak. Tiada hari tanpa beraktifitas di dapur. Bikin sarapan, cemilan, makan utama. Mengingat dulu pernah masak kacang hijau di sekolah, jadi Selasa kemarin bikin kacang hijau. Tapi kali ini versi beda, pakai ubi cilembu. Siapa tau para ortu terinspirasi bikin juga di rumah untuk cemilan sehat anak-anaknya 😀

Kamis, bikin surat untuk anak-anak. Sebelumnya juga ga pernah bikin surat untuk anak-anak. Jadi teringat jaman aku SD, suka main surat-suratan sama temen sekelas, padahal tiap hari juga ketemu dan suratnya dikasih langsung ke orangnya 😅
Dengan menulis surat untuk anak-anak, mereka tau bagaimana kabar gurunya saat ini dan gurunya ngapain aja selama di rumah.

Teringat celotehan suara mereka, cerita, tingkah laku yang menggemaskan, jari jemari kecilnya yang membantuku melakukan kegiatan bermakna.

Masih banyak hari-hari berikutnya, semoga kita semua selalu dalam genggamanNya ya. Juga dikelilingi oleh hal baik di sekitar kita
Sehat-sehat semua. Perbanyak makan sayur dan buah ya. Sampai jumpa diwaktu yang sudah ditentukan Allah, entah kapan. Semoga segera ya!

Salam,
Ibu Mela 🤍

Kamis, 02 April 2020

Permainan Nalar, Rasa, dan Karsa

ditulis oleh : Bu Kenny

Suatu perubahan, sesuatu yang baru, seringkali membuat kita berpikir ulang apakah perubahan ini baik adanya? Terkadang muncul rasa tak nyaman. Tak jarang kemudian terasa berat menjalankannya. Nalar, rasa, dan karsa sedang bermain. Bagaikan anak-anak yang sedang bermain di sebuah taman. Taman jiwa. Jika taman  itu aman dan indah, terawat penuh cinta, maka permainan akan bergulir dengan segala dinamika yang menyehatkan bagi anak-anak yang bermain di sana. Jika taman jiwa itu aman dan indah, terawat penuh cinta, maka permainan akan bergulir dengan segala dinamika yang menyehatkan bagi ketiga penghuni taman jiwa, yaitu sang nalar, rasa dan karsa. 




Senin tanggal 30 Maret 2020, kami para guru menjalankan ritme baru yang telah kami sepakati. Tentu saja nalar dan rasa saling tarik ulur ketika seolah-olah kami harus memindahkan kegiatan sekolah ke rumah. Bagaimana kami tetap bisa mendampingi anak-anak? Bagaimana kami tetap bisa menyapa, berbagi cerita dan tertawa bersama orang tua? Bagaimana kami tetap bisa berkarya sebagai guru tanpa memberatkan satu sama lain? 

Saat itu yang paling mendominasi nalar saya adalah saat ini anak-anak ada di tangan dan lingkungan yang sebaik-baiknya bisa mereka dapatkan yaitu orang tua dan rumah. Namun di saat seperti ini adalah tantangan tersendiri untuk bisa menjaga yang sebaik-baiknya itu tetap terpelihara. Rasa khawatir akan situasi sekarang, terkadang clueless, bingung apa yang harus dilakukan bersama anak sepanjang hari, mobilitas terbatas yang bisa menimbulkan kejenuhan, mungkin itulah yang dirasakan sebagian orang tua. Saya merasakan keterhubungan yang begitu besar dengan para orang tua dan anak-anak. Saat itu yang paling mendominasi ranah perasaan saya adalah bagaimana mengirimkan cinta kepada mereka. 

Ada beberapa prinsip yang tetap saya pegang di saat seperti ini. Saya tidak ingin bertemu anak-anak di layar kaca melalui segala macam teknologi yang tersedia. Kenapa? Ya karena intuisi saya berkata seperti itu. Dan kemudian setelahnya barulah saya menemukan sebuah artikel yang mengukuhkan intuisi saya :

"Kindergarten teachers should regularly advise the parents and make suggestions as to what they can do with their little ones. Kindergarten children should not see the kindergarten teacher speaking in front of the screen."

Dalam sebuah email saya dengan penulis artikel, beliau mengatakan :

"....because they cannot understand the level of reality. And therefor it is confusing, for us simple,
we know it is just an image, little ones cannot distinguish that.
For children in school is that different, they can understand the instructions of their teacher, if we explain that it is just a image what they see on the screen."

Prinsip lain yang tetap saya pegang adalah self directed unstructured free play. Maka saya berpikir bahwa saya ga akan memberikan tugas-tugas pada anak maupun orang tua. Apalagi kemudian orang tua diminta untuk meng-upload proses dan hasil tugas itu di media sosial sebagai "laporan" kepada pihak sekolah. Kalaupun sekarang saya melihat beberapa orang tua melakukannya, saya yakin bahwa kegiatan yang dilakukan tersebut (anak membantu memasak, membantu mencuci, membantu merapikan rumah, melakukan circle time, mendongeng, bermain, dll) adalah bagian dari ritme keseharian di rumah. Sesuatu hal yang natural yang berasal dari kehendak (will) anak melalui proses imitasi. Saya melihatnya sebagai usaha orang tua untuk menebarkan kebaikan melalui media sosial. Dan saya diliputi harapan besar bahwa ketika orang tua mendokumentasikannya baik melalui foto ataupun video, hal itu dilakukan tanpa membangunkan "kesadaran" anak. Saya punya pandangan tersendiri mengenai anak-anak yang secara sadar didokumentasikan ketika sedang melakukan sesuatu, apalagi kemudian jika anak melihat  hasil dokumentasi itu diupload melalui media sosial. 


Gambaran ritme harian di rumah


Hal lain yang saya pegang adalah sebisa mungkin berusaha untuk tidak memberatkan orang tua ataupun rekan guru yang lain. Saya ingin apa yang kita lakukan bersama adalah juga untuk menutrisi jiwa kita. Memperkaya akal, menenteramkan perasaan, dan memperkokoh kehendak untuk berbuat kebaikan. Malah terdengar berat ya? Hehe... Ikhlas adalah koentji!

Dari permainan nalar, rasa, dan kasa dalam situasi sekarang ini akhirnya kami para guru bersepakat akan ritme yang baru. Ritme Covid-19...haha.... Bukan.... Berilah ia nama Ritme bingkisan cinta.

SENIN : Guru melalui zoom membahas artikel atau buku atau sumber lain. Artikel/buku yg dibahas bisa apa aja yg bermanfaat lalu dibahas keterkaitannya dg waldorf. Setelah itu kita mengundang orang tua untuk bergabung melalui zoom. Ngobrol santai dilanjut berbagi dan berdiskusi ttg artikel yang telah dibahas sebelumnya oleh guru. 

SELASA : Sharing art work or other meaningful activities. Setiap guru membuat art work/gardening/ meaningful activities lainnya (tidak harus sampai selesai, berproses saja terus). Art work difoto, diberi caption (misal hasil drawing/painting/gardening/masak/dll dg caption : namanya telang. Kegemarannya memanjat pohon mangga. Tak jemu ia memandang awan dan merasakan hangatnya mentari. Suatu hari ia bermain air. Dengan hati riang ia memberi keindahan warnanya pada sang air. Peluk hangat dr Bu Kenny). Foto dan captionnya  akan diemail ke org tua dan minta org tua utk diprint, kasih liat ke anaknya, dan dibacakan captionnya. 

RABU : Seperti juga ritme sekolah yang seperti biasa, maka Rabu adalah hari libur

KAMIS : Guru melalui zoom membahas mengenai Jagad Alit. Evaluasi dan langkah-langkah yang perlu dilakukan. Selain itu guru membuat surat yang ditujukan kepada semua anak. Isi surat bisa pendek saja, menanyakan kabar orang tua dan anak-anak dan menceritakan bagaimana kabar guru. Surat difoto, lalu diemail ke org tua, minta org tua untuk diprint lalu dilipat dan kalau mau dimasukan ke dalam amplop. Org tua "mengirim"  surat itu ke anaknya (bisa pretend play pa pos) dan bacakan ke anaknya.

JUMAT : Guru membuat tulisan/artikel dari apa yg dilakukan hari Senin, Selasa, dan Kamis. Bisa dari sudut pandang thinking, dan atau feeling, dan atau willing. Tulisan ini akan dipost di medsos dan web JA


Bagaimana ritme ini berjalan? Bagaimana rasanya? Saya akan menuliskannya minggu depan ya...




Kita dayung perahu ini bersama

ditulis oleh : Bu Kenny

Suatu kejadian yang tak pernah kita bayangkan. Sebagai manusia biasa yang banyak kekurangan dan kelemahan, kejadian seperti ini bukanlah sesuatu yang kita harapkan. Namun Yang Maha Kuasa sungguh mengetahui batas kekuatan kita. Dialah Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi makhluk-Nya. 

Hari Minggu pagi tanggal 15 Maret 2020, saya menerima pesan WhatsApp dari beberapa orang tua yang menanyakan apakah Jagad Alit akan berkegiatan di hari Senin, terkait dengan surat edaran dari pemerintah bahwa semua kegiatan sekolah ditiadakan dan diganti dengan pembelajaran di rumah. Sebagai suatu keluarga besar dengan nama Jagad Alit yang membawa individualitas di dalam suatu komunitas yang jauh lebih besar, kami berembuk meminta masukan dari para orang tua. Hingga akhirnya dari tarik ulur rembukan itu kami mengkolaborasikannya. Ketenangan dan ketentraman bagi anak-anaklah yang kami utamakan. Tentunya hal ini juga bergantung pada ketenangan dan ketentraman hati para orang tua. Oleh karena itu agar orang tua bisa mempersiapkan apa-apa yg perlu disiapkan dan agar anak-anak tidak terkejut dengan perubahan yang tergesa-gesa, serta guna menghargai daya upaya semua pihak untuk memberikan lingkungan yang aman, maka hari Senin dan Selasa anak-anak akan berkegiatan di Jagad Alit seperti biasa. Adapun libur tengah semester akan kami majukan yaitu mulai hari Kamis tanggal 19 Maret. Namun jika ada anak yang kurang fit, kami menyarankan untuk istirahat di rumah, terlebih karena imunitas tubuh menjadi hal yang sangat penting saat ini. Alhamdulillah, dengan kehadiran lima orang anak, dua hari transisi itu berjalan dengan tenteram. 

"A healthy social life is found only when, in the mirror of each soul, the whole community finds its reflection, and when, in the whole community, the virtue of each one is living." -Rudolf Steiner-

Pesan WhatsApp kembali berdatangan di hari menjelang anak-anak semestinya masuk kembali pada hari Senin tanggal 30 Maret. Sekali lagi kami diberi kesempatan untuk bersama-sama memikirkan apa yang terbaik bagi anak-anak. Respon yang kami terima dari para orang tua sangat sangat menguatkan dan melegakan kami untuk mengambil langkah di saat seperti ini. Tak hanya sekedar mengikuti lembaga yang memegang otoritas tertinggi namun kami mengambil langkah berdasar apa yang kita semua pertimbangkan. Sangat melegakan ketika kita on the same page...on the same boat. 

Berdasarkan hal itu maka anak-anak akan stay at home sampai akhir April (berarti masuk tgl 4 mei) kecuali jika ada perkembangan situasi lainnya. Rentang waktu ini kami tentukan dengan harapan jika ada perubahan, maka kami dapat menyampaikan kabar gembira, instead of kabar perpanjangan "libur" sekolah. Kami guru-guru akan work from home dengan pengaturan ritme yang telah disepakati. 



Semoga kita semua ada dalam raga yang sehat, hati yang tentram, dan nalar yang jernih. Semoga cahaya dalam kalbu kita menerangi dan menghangatkan diri kita dan orang-orang di sekeliling kita. 

We must eradicate from the soul
All fear and terror of what comes towards man out of the future.

We must acquire serenity
In all feelings and sensations about the future.

We must look forward with absolute equanimity
To everything that may come.

And we must think only that whatever comes
Is given to us by a world-directive full of wisdom.

It is part of what we must learn in this age,
namely, to live out of pure trust,
Without any security in existence.

Trust in the ever present help
Of the spiritual world.

Truly, nothing else will do
If our courage is not to fail us.

And let us seek the awakening from within ourselves
Every morning and every evening.

-Rudolf Steiner-