Kamis, 09 April 2020

Kosong

ditulis oleh : Bu Kenny






Dua minggu berlalu. Tak nampak tas-tas dan botol minum yang digantung. Halaman bermain tak terdengar riuhnya. Tak kelihatan sepatu-sepatu yang berderet. Ruangan lengang. Tak terlihat rumah-rumah imajinasi dari susunan kursi-kursi, kain-kain dan tali-tali. Tak ada anak-anak yang sedang merangkak jadi kucing. Tak tercium aroma masakan yang biasanya mengundang anak-anak untuk menghampiri.




"Lagi ngapain?" "Hari ini kita makan apa?" "Liaaat...liaaatt..!" "Mau ikut potong-potong." "Bunganya cantik sekali." Dua minggu berlalu tanpa terdengar kata-kata itu. Tak ada yang menghampiri menyodorkan makanan yang dibuat dari pasir, bunga, kerang, batu, sambil berkata, "Ini nasi goreng pedas." Papan alas gambar, kertas dan crayonnya tak terusik. Kuas untuk melukis sedang beristirahat dari tariannya. Tali finger knitting teronggok menunggu dongeng menangkap ikan yang biasanya mengiringi anak-anak menjalin tali, membuat simpul-simpul rantai ikan berderet. Beeswax terasa dingin. Lama tak merasakan kehangatan yang mengalir dari genggaman tangan-tangan kecil.


Dua minggu berlalu. Kosong namun tak hampa. Sepi namun tak sunyi. Apa bedanya kosong dan hampa? Apa bedanya sepi dan sunyi? Entahlah. Saya hanya merasa seperti itu. Cukup lama saya kemudian memikirkan hal ini. Saya seringkali berkata bahwa tak ada satu kejadian pun yang kebetulan. Dan memang demikianlah adanya. Seakan menjawab kegelisahan kepala saya, muncullah sebuah postingan di news feed media sosial saya. Bagian awal postingan tersebut berbunyi seperti ini, 

"Hidup itu bagaikan denyut jantung. Ia memiliki irama dan masing-masing irama memiliki fungsinya tersendiri. Untuk bisa berfungsi dengan baik, jantung harus mengosongkan dirinya terlebih dahulu agar darah bisa mengalir masuk ke dalam billik-biliknya untuk kemudian diteruskan ke tempat-tempat peruntukannya. Dan ia harus terus berdenyut. Jantung tidak menahan isinya. Ia terus mengalirkan.......Kita pun harus punya saat ketika diri dikosongkan......Tidak mudah untuk bisa “kosong” itu....."

Saya kemudian memberi komentar pada postingan tersebut, bertanya "Apakah bedanya kosong dan hampa? Apa pula beda sepi dan sunyi?" Dan jawaban yang diberikan bagaikan menyuarakan apa yang saya rasakan. 

“Kosong” berbeda dengan “hampa”. Desain mesjid adalah kosong, tidak ada furnitur, tidak ada bangku. Dalam kekosongan, justru kekuatan akan mengalir dan mengisinya. Dengannya kekosongan akan berubah menjadi sumber kekuatan. Di dalam diri kita juga ada mesjid, rumah tempat Allah bertajalli. Yaitu qalb. Maka qalb harus kosong dari selain-Nya. Hampa biasanya lebih berkonotasi negatif. Kekosongan yang tanpa asa. Seperti hati yang hampa. Dan ruang hampa udara.

Demikianpun “sepi” tak berarti “sunyi”. Kita bisa saja di tengah sepi tapi tak perlu merasa sunyi. Karena sunyi lebih bermakna kesedihan. Seperti puisi Amir Hamzah, “Sunyi itu duka.”

Saya benar-benar tertegun membaca postingan awal dan jawaban itu. Saya melihat halaman bermain dan ruangan yang kosong. Namun saya tak merasa hampa. Tak terdengar suara anak-anak, gelak tawa, seruan, ataupun alunan nyanyian dan untaian dongeng. Sepi. Namun saya tak merasa sunyi. 

Entahlah....tak dapat saya jelaskan bagaimana saya kemudian merasakan kekosongan ini bagaikan memberikan wadah untuk menampung dan mengolah apa yang saya tangkap dari sekeliling saya. Dari hasil olahan itu muncul secercah asa. Baru dua minggu....baru dua minggu kita, para guru, orang tua, dan anak berinteraksi dengan cara dan ritme yang baru ( https://jagadalitschool.blogspot.com/2020/04/permainan-nalar-rasa-dan-karsa.html ). Mungkin masih cukup banyak yang akan kita temukan. Namun dalam dua minggu inipun cukup banyak harta karun yang saya temukan. Proses dua minggu ini adalah proses penggalian. Perjalanan dan penggalian ke dalam diri. Yang saya temukan barulah permukaannya. 

Permainan nalar, rasa dan karsa. Itulah yang saya temukan di permukaan. Permainan nalar, rasa dan karsa di dalam diri saya sendiri. Lalu berlanjut keluar. Bagaimana nalar, rasa dan karsa saya bermain dengan rekan guru yang lain, dengan para orang tua, dan dengan anak-anak. Seperti halnya permainan yang dilakukan oleh anak-anak, permainan ini memunculkan berbagai dinamika. Dinamika yang menjadi proses untuk menyelaraskan ide dan aturan permainan, mengatur rasa antipati dan simpati, dan kemudian menjalankan permainan tersebut dengan konsisten namun cukup fleksibel. Prinsip dasar permainan yang telah disepakati bersama hendaklah dijadikan pegangan. Ketika anak-anak bermain petak umpet misalnya. Jika anak yang menjadi kucing (menghadap tembok/pohon/apa saja dan menutup matanya) mengintip saat ia berhitung dan teman-temannya bersembunyi, maka akan ada temannya yang berseru, "Liciiikkk....curaaanggg...ngintip!" Sedangkan hal-hal yang sifatnya tidak prinsip, bisa dibuat fleksibel. Anak bisa bersembunyi di mana saja. Tak ada prinsip mendasar yang disepakati bersama mengenai di mana anak boleh bersembunyi. Mereka bisa bersembunyi di mana saja dengan cara yang berbeda-beda. 




Apa lagi yang saya temukan? Masih banyak sebetulnya. Dan kebanyakan dari yang saya temukan adalah bersumber dari ritme yang saya lakukan dalam dua minggu ini. Doing...willing. Saya mencoba menerapkan mindfulness dan latihan nafas dari materi sharing yang diberikan Bu Mela. Saya lakukan saat menjalankan sholat dan saya menemukan sesuatu. Saya membuat crayon drawing sederhana sebagai ritme hari Selasa. Selain memang segitunya kemampuan menggambar saya...hehe...namun saya menemukan sesuatu. Perbedaan respon anak ketika melihat gambar yang sederhana dan melihat gambar yang "keren." Hal ini juga terjadi ketika kita sebagai orang dewasa disajikan sesuatu yang sederhana dibandingkan dengan ketika kita disajikan sesuatu yang sudah lengkap dengan solusinya.






Saya membuat surat untuk anak-anak sebagai ritme hari Kamis. Saya tulis sedemikan rupa, tampak tidak menarik, tanpa disertai kata kangen atau rindu.  Dan saya menemukan sesuatu dari cara saya menulis surat seperti itu. Saya membuat artikel seperti ini sebagai ritme hari Jumat dan banyak sekali yang saya temukan sebagi olahan nalar, rasa, dan karsa. Ritme itu sama-sama kami jalankan sebagai guru. Tentunya setiap orang punya caranya masing-masing. Hasil permainan nalar, rasa, dan karsa di dalam dirinya. 



Satu hal lagi yang saya dapatkan. Artikel ini. Kosong dan hampa. Sepi dan sunyi. Bisa jadi hanya permainan kata. Namun ternyata penuh makna. Tiba-tiba saja kedua pasangan kata itu muncul di benak saya saat saya melihat halaman bermain dan ruangan Jagad Alit. Tiba-tiba saja muncul. Sepertinya dari memori masa lalu. Mungkin saya pernah membaca buku atau puisi, yang dulu tidak saya mengerti artinya. Mungkin saya pernah mendengar dongeng yang tidak saya pahami secara detail. Namun saat ini, berpuluh tahun kemudian, muncul di benak saya. Lalu saya mencari. Dan saya temukan maknanya yang mendalam di dalam jiwa. Di titik ini saya ingin berkata, "Betapa bersyukurnya anak-anak dapat mendengarkan dongeng setiap pulang sekolah. Dongeng yang berisi kata-kata indah, berima, puitis, yang mungkin tak mereka pahami artinya saat ini. Tapi nanti....nanti...kata-kata itu akan tertoreh dalam jiwa mereka. Menjadi bagian dari petunjuk-petunjuk untuk menjalani hidup mereka dengan penuh makna." 

Kosong, memberi saya kesempatan untuk melakukan perjalanan ke dalam diri. Perjalanan ke dalam diri acap kali terasa sepi. Namun tak sunyi. Pun tak hampa.

1 komentar:

  1. tulisannya bagus Teh Ken...hatur nuhun.
    Terutama untuk kutipan dari ig-nya. Mengena sekali.

    BalasHapus