Tampilkan postingan dengan label masuk sd. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label masuk sd. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 Juli 2018

Usia Enam Tahun : Mereka Tampak Berbeda!



“Ga ada yang mau ngajak maen,” sambil terisak duduk menyendiri.

“Tadi itu aku kan yang ngomong...aku yang bikin!” menyuarakan bahwa itu adalah idenya.

“Bukan, namanya bukan itu, tau!.....Iya, tapi kan....” terus berusaha untuk berargumentasi.

Acap kali perkataan-perkataan yang senada seperti itu terdengar dari beberapa anak yang berusia 5,5 tahun hingga menjelang 7 tahun. Disertai pula dengan pola permainan mereka yang tampak tidak tentu arah, cenderung rusuh dan heboh. Balok-balok kayu, ranting, batu-batu, papan kayu, ban bekas, pasir, bunga dan daun kering, yang tadinya seringkali mereka gunakan untuk membuat api unggun, perlengkapan halang rintang, kereta api, mobil, tampak kurang menarik perhatian mereka lagi. Peran sebagai petugas kebersihan, petugas pemadam kebakaran, pegawai bangunan, dan yang lainnya mulai jarang terdengar. Bukannya sama sekali tidak terlihat lagi, tetapi tampak berkurang intensitasnya. Mereka lebih senang berlarian kesana dan kemari, berkejar-kejaran menangkap salah seorang temannya sambil mengeluarkan suara-suara keras. Namun terkadang, anak-anak yang berada pada rentang usia 5,5 tahun hingga menjelang 7 tahun ini tampak duduk termenung memperhatikan teman-temannya bermain. Seringkali  beberapa anak yang berusia 5,5 tahun hingga menjelang 7 tahun ini tampak lebih emosional. Hal kecil dapat menjadi suatu masalah yang membuat mereka gusar, kesal, marah,  tersinggung (dalam Bahasa Sundanya, pundung), ataupun menangis.



Apa yang sedang tejadi dengan anak-anak ini? Jika kita memandangnya sebagai pola perkembangan willing, feeling, dan thinking yang dialami oleh anak-anak usia 0-7 tahun, maka mungkin kita akan menganggapnya sebagai bentuk dari mengalirnya will semata, dimana ada saatnya will ini perlu dimunculkan ke permukaan dan ada kalanya will ini perlu diarahkan ketika mengalir deras bagaikan aliran sungai yang tak terbendung. Namun seperti juga pada anak usia kisaran tiga tahun, pada anak usia kisaran enam tahun ini, sedang terjadi sesuatu yang ISTIMEWA. Mengetahui dan mengerti hal yang istimewa ini akan membantu kita memberikan respon yang mereka butuhkan.

PERKEMBANGAN FISIK, ETHERIC, ASTRAL, DAN EGO (FOUR-FOLD HUMAN BEING)
Proses kehadiran ego/”I” pada cycle tiga tahunan, dibarengi oleh rasa antipati dengan derajat yang berbeda-beda pada setiap individu. Antipati ini membantu seseorang untuk menemukan dunianya dan hadir di bumi ini sebagai seorang individu yang utuh. 

Sedangkan cycle enam tahunan menandakan waktu dimana etheric seseorang berproses memisahkan diri dari orang tuanya. Perasaan berpisah menyelimuti anak maupun orang tua. Kedua cycle ini menunjukkan pada kita bahwa pada usia 6, 12, dan 18 tahun terjadi proses kehadiran ego sekaligus pula keberpisahan etheric, sehingga ada waktu dimana anak merasa tidak ingin berpisah dengan orang tuanya dan ada waktu dimana anak ingin mengekspresikan kemandiriannya.  Pada anak yang berusia 5,5 tahun hingga menjelang 7 tahun, suatu hari mereka tidak mau ditinggalkan orang tuanya ketika datang ke sekolah, namun di hari lain mereka meminta orang tuanya untuk cepat pergi setelah mengantarkannya ke sekolah. Dalam tingkatan yang berbeda pada proses ini, seorang anak berusia dua belas tahun tiba-tiba ingin dipeluk oleh orang tuanya, namun pada saat ia diantarkan ke sekolah, ia tidak mau orang tuanya berada dekat dengannya.  Proses bekerjanya kedua cycle ini pun berdampak pada perkembangan fisik anak. Pada anak yang berada di rentang usia 5,5 tahun hingga menjelang 7 tahun, etheric body anak berusaha untuk melakukan penetrasi ke dalam tubuhnya. Berusaha melepaskan diri dari keterikatan faktor keturunan untuk menjadikan tubuhnya menjadi tubuh miliknya. Anak seolah menggunakan seluruh kekuatannya untuk keperluan pertumbuhan fisiknya. Lengan, tungkai dan kaki menjadi lebih panjang.  Pergelangan tangan, pinggang, dan leher akan makin tampak bentuknya. Pada sebagian anak rentang usia ini, akan sering merasakan lapar dan nyeri pada kaki, sendi-sendi, bahkan perutnya sebagai dampak dari proses pertumbuhan fisik tersebut. Terjadi pula proses pergantian gigi susu oleh gigi tetap. Proses ini merupakan proses yang mendebarkan dan tak jarang menimbulkan rasa tidak nyaman. Sekarang bisa kita bayangkan begitu banyaknya proses yang terjadi pada anak kisaran usia enam tahun ini.  Sesuatu yang istimewa! Maka jangan heran jika hal ini kemudian menyebabkan mereka merasa tidak nyaman baik secara fisik maupun psikologis, moody, ataupun menunjukkan ekspresi emosi lain yang begitu ekspresif. Kadang terlihat pula anak menjadi kikuk ketika bergerak, menyebabkan segelas air yang dibawanya tumpah atau tiba-tiba menyenggol kursi hingga terjatuh ketika berjalan. 


PERKEMBANGAN WILLING, FEELING, THINKING (THREE-FOLD HUMAN BEING)


Sejalan dengan perkembangan fisik, etheric, astral, dan ego-nya, ketika anak berusia sampai dengan 5,5 tahun, mereka bermain dengan menggunakan apa-apa yang ada di sekitarnya. Ide permainan datang dari luar, dari apa yang ada di sekitarnya. Ketika mereka berusia 5,5 tahun, mereka terlihat mulai berusaha untuk memunculkan ide dari dalam diri mereka sendiri. Proses berpikir mereka yang masih imajinatif mencoba menciptakan skenario permainan dan kemudian mencari benda-benda yang dapat digunakan dalam skenario tersebut. Seringkali mereka meluangkan waktu lebih lama untuk merancang permainan ketimbang bermainnya. Proses memunculkan ide dari dalam diri mereka sendiripun terkadang membuat mereka terlihat berdiam diri, merenung, memperhatikan sekelilingnya. Tak jarang pula mereka berkata “bosen ah!” Hal ini juga  yang tampaknya menjadi penyebab mengapa acap kali mereka terlihat berlari-larian tak menentu.  Pada proses perkembangan ini, tentunya tidak terlepas pula mereka mencoba hal-hal yang baru, sekaligus melakukan eksperimen atau mengetes apakah hal tersebut boleh dilakukan atau tidak.




Keberpisahan etheric anak dengan orang tuanya, sekaligus pula perkembangan egonya menyebabkan anak pada rentang usia 5,5 sampai dengan 7 tahun ini merasakan kesendiriannya. Ada anak yang berkata “ga ada yang mau maen sama aku.”  Hal ini didukung pula oleh peralihan fokus perkembangan anak dari willing menuju feeling menjelang anak berusia tujuh tahun. Anak menjadi lebih sensitif, mudah tersinggung, menjadi lebih perasa. Rasa sedih ataupun kecewa yang terjadi hari ini mungkin akan berlanjut keesokan harinya. Seorang anak yang dikata-katai oleh temannya, keesokan harinya datang masih dengan wajah murung dan tidak mau bermain dengan temannya tersebut.

Keinginan anak untuk melakukan berbagai eksperimen dalam permainan, juga muncul dalam bentuk rasa ingin tahu mereka akan banyak hal. “Ini terbuat dari apa? Kalau yang ini dari apa?” Tak jarang proses mencari tahu ini menjadi sebuah proses argumentasi sebagai ekspresi dari seorang individu yang ingin menyatakan keberadaannya. “Bukan gitu caranya!....Iya aku juga tau!”......Itu tadi aku yang buat!” Anak akan segera mengetahui kesalahan yang diucapkan atau dilakukan orang tua, guru, ataupun temannya dan kemudian menyatakan apa yang menurutnya benar. Suatu hari seorang anak berusia enam tahun terlihat sedang memegang dan menggoyang-goyangkan gigi susunya yang hampir tanggal. Lalu seorang temannya yang juga berusia enam tahun berkata, “kata mamaku, gigi yang goyang nanti juga copot sendiri! Kalau giginya dicabut nanti pas tumbuh giginya jelek kaya kakek!” Kemudian anak yang mengoyang-goyangkan gigi itu berkata, “harus dibeginikan, itu mah orang tua kamu aja, aku ga mau punya orang tua kayak orang tua kamu!” Pada rentang usia 5,5 sampai dengan 7 tahun mulai muncul pula pembicaraan mengenai Tuhan. Sesuai dengan kapasitas berpikirnya pada rentang usia tersebut, mereka membicarakan hal mengenai surga dan neraka. Sebuah obrolan bernada argumentatif, suatu hari terdengar. Seorang anak mengucapkan kata Tuhan. Anak yang lain mengucapkan kata Allah. Kemudian seorang anak berusia enam tahun berkata, “Allah dan Tuhan itu sama tau!” Tingkah polah anak yang seperti ini disertai pula oleh willing, feeling, dan thinking mereka untuk menjadi seorang bos, seorang pemimpin. Suatu hari seorang anak berusia enam tahun menggunakan mahkota dan menggunakan kain untuk dijadikan jubah. Ia berkata, “aku yang jadi raja binatangnya,” saat ia sedang bermain dalam sebuah skenario kerajaan binatang. Di sela-sela permainan, ia menyuruh temannya untuk mengambil ini dan itu, melakukan apa yang ia suruh, layaknya seorang bos.

Bagaimana kita meresponnya?

Tanamkan empati dan pengertian yang mendalam pada diri kita. Katakan dalam hati dengan kesadaran penuh, “Saya tahu kamu sedang melalui proses transformasi. Saya menyayangi kamu dan hal-hal baru yang terjadi pada dirimu. Saya akan membantumu!”


Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana kita membantunya? Keberpisahan etheric anak dari orang tuanya yang kemudian berusaha menjadi tubuh miliknya sendiri, menimbulkan rasa tidak nyaman baik secara fisik maupun psikologis untuk melakukan suatu hal. Terjadi pula perkembangan proses kehadiran ego/”I” yang mengubah pandangan anak akan hubungan dirinya dengan apa yang ada di sekitarnya. Menimbulkan perubahan dalam perasaan dan proses berpikirnya. Maka sekali lagi tanamkan dalam benak kita  “Saya tahu kamu sedang melalui proses transformasi. Saya menyayangi kamu dan hal-hal baru yang terjadi pada dirimu. Saya akan membantumu!” Kita membantu anak dengan memberikan saluran untuk mengalirkan perubahan-perubahan ini. Kerjakanlah berbagai pekerjaan yang bermakna yang layak ditiru anak. Pekerjaan-pekerjaan ini akan memberikan gambaran-gambaran  baru bagi anak untuk dapat memunculkan ide dari dalam dirinya sendiri. Imajinasi yang sempat hilang, seolah datang kembali. Ide-ide baru inipun dapat muncul ketika anak terlihat berdiam diri memperhatikan teman-temannya bermain atau memperhatikan alam sekitarnya. Seolah ia sedang menambah pustaka imajinasinya. Proses imitasi pekerjaan-pekerjaan yang bermakna ini juga dapat mengalihkan perasaannya yang sedang tidak menentu. Ketika tangan bekerja, perlahan pikiran dan perasaan terarah kepada pekerjaan yang sedang dilakukan. Mencuci piring atau pakaian, menyapu dan mengepel, menggunting rumput, mengupas atau memotong buah dan sayur, menyetrika atau melipat pakaian-pakaian yang telah disetrika, menyapu halaman atau membuang sampah, bahkan menggergaji atau menghampelas kayu merupakan pekerjaan-pekerjaan sederhana yang dapat dilakukan anak. Namun rasa tidak nyaman baik secara fisik maupun psikologis, dapat membuat anak enggan untuk ikut melakukan apa yang kita kerjakan. Padahal ketika usianya belum beranjak 5 atau 6 tahun, ia sangat gemar ikut melakukan apa saja yang kita kerjakan. Jika hal ini terjadi, maka “manfaatkan” proses perkembangan kehadiran ego/”I. Kita bisa mengatakan “Ibu/Ayah tidak bisa ngerjain ini sendiri. Butuh bantuan. Sepertinya kamu bisa/sepertinya kamu kuat. Tolong bantu ya.” Perkataan seperti ini akan membuat anak merasa dirinya dibutuhkan. Merasa dirinya punya kemampuan lebih untuk melakukan sesuatu. Dan ketika anak sudah selesai membantu, jangan lupa katakan “terimakasih sudah membantu.” Tentunya dengan intonasi dan ekspresi yang benar-benar tulus berterimakasih.



Saluran apa lagi yang bisa kita berikan untuk membantu anak di usia ini? Tanggung jawab yang lebih besar yang sudah kita ukur bahwa mereka bisa melakukannya. Ya, mereka sangat senang saat diberi tanggung jawab yang lebih besar daripada sebelumnya. Membawa mangkuk saji berisi sup dari dapur ke ruang makan, mengangkat benda-benda yang berat (sesuai dengan takaran kemampuan fisiknya) seperti meja kecil saat merapikan ruangan, membantu menjaga adik (setelah kita yakin bahwa lingkungan sekitarnya aman), dan bentuk tanggung jawab lainnya. Di sekolah, kami melakukan hal-hal semacam ini. Anak-anak yang berusia 3-4 tahun biasanya memiliki rentang fokus yang lebih pendek. Termasuk ketika mendengarkan dongeng. Mereka akan menampakkan gerak-gerik yang menunjukkan kegelisahan. Kami berkata kepada anak yang berusia 5-6 tahun, “Tolong jaga temanmu ini ya.” Saat anak yang lebih kecil ini terlihat gelisah, anak yang berusia 5-6 tahun tersebut kemudian meletakkan tangannya di atas pangkuan teman kecilnya itu, seperti yang biasa kami lakukan untuk menenangkan anak tersebut. Dan mereka melakukannya dengan ekspresi wajah yang menampakkan keseriusan, seperti benar-benar sedang mengemban tugas yang sangat penting! Hal ini juga merupakan manfaat dari sebuah mixed-age class.



Seiring dengan perkembangan kehadiran ego/”I”, dan berkaitan dengan pemberian tanggung jawab yang lebih besar tersebut, maka ketika kita mendengar perkataan yang bernada “aku bisa dan kamu tidak bisa,” maka daripada kita mengatakan “ga apa-apa, dia kan masih kecil,” sebaiknya kita berkata, “hhhmmm, kalau gitu, bisakah kamu membantunya?” Perkataan semacam ini akan menghembuskan angin win-win solution. Tidak ada yang merasa “lebih” dan tidak ada yang merasa “kurang.”



Begitulah kira-kira apa yang bisa diceritakan, dimana kesemuanya ini dapat dilakukan jika kita mengerti apa yang sedang dialami anak. Bagaimana kita bisa mengerti? Dengan mempelajari dan memperhatikan tahap demi tahap perkembangan anak. Tidak ada waktu untuk melakukannya? Jika itu yang dirasakan, mungkin anak adalah prioritas kesekian dalam hidup kita.


Semoga berkenan. 

Minggu, 04 Februari 2018

Dari sebuah taman bermain menuju bangku SD. Apa yang perlu disiapkan?


Jika mendengar ceritanya atau melihat sekilas kegiatan kami, apa yang kami lakukan di Jagad Alit Waldorf Play and Kinder, sangatlah simpel dan sederhana. Kadang mungkin tepikirkan, “Apa yang didapat anak-anak? Setiap hari sebagian besar waktunya di sekolah hanya bermain saja.” Kami melakukan kegiatan mulai jam 8 pagi hingga 11 siang. Diawali dengan bermain di luar selama satu jam. Setelah merapikan mainan dan cuci tangan, kami melakukan circle time (melakukan berbagai gerak yang disesuaikan dengan lagu yang kami nyanyikan atapun alur cerita pendek yang disampaikan oleh guru). Setelah itu kami masuk ke dalam ruangan dan bermain kembali selama hampir satu jam! Barulah kemudian kami menikmati snack bersama dan kegiatan setiap hari ditutup dengan dongeng. Tidak ada materi pelajaran yang diberikan secara eksplisit ataupun directly kepada anak-anak. Walaupun dalam kegiatan bermain, kami menyisipkan kegiatan berkebun, memotong dan menghaluskan kayu, menggambar, melukis, bermain benang ataupun beeswax modelling, namun kami tidak pernah memaksa anak untuk melakukanya. Tetapi setiap saat selalu ada anak yang ingin melakukan kegiatan-kegiatan itu ketika melihat kami menyiapkan atau melakukan kegiatan-kegiatan tersebut. Bermain bebs, ritme yang selalu sama setiap harinya dan kemauan yang muncul sendiri dari dalam diri anak, menjadi fondasi yang kuat bagi mereka untuk melangkah ke jenjang pendidikan sekolah dasar. 

PERKEMBANGAN FISIK



Kesiapan keempat indera dasar (menurut konsep pendidikan Waldorf) yaitu indera peraba, indera kehidupan, indera gerak, dan indera keseimbangan sangat dibutuhkan oleh anak agar mereka merasa nyaman dengan keberadaan tubuh mereka. Seringkali anak yang dideteksi memiliki Attention Deficit Dissorder (ADD) adalah anak yang belum siap dalam hal indera gerak dan keseimbangannya. Mereka tidak dapat duduk tenang dalam rentang waktu tertentu. Bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang, berusaha mencari titik nyaman dan berusaha untuk memposisikan tubuh pada titik keseimbangan. Jika anak sibuk mencari kenyamanan dan titik keseimbangannya, maka daya kehidupannya (life forces) akan terfokus untuk hal itu sehingga hanya sedikit daya kehidupan yang tersisa untuk berpikir/belajar. Anak ini kemudian kita duga sebagai anak yang tidak bisa fokus, tidak bisa konsentrasi, tidak suka terhadap suatu hal tertentu, tidak bisa diam, hyperaktif, dan lainnya yang senada dengan itu.  Bermain bebas adalah sebaik-baiknya yang dapat dilakukan anak untuk mempersiapkan keempat indera dasarnya. Duduk manis di depan TV/layar komputer/gadget adalah seburuk-buruknya aktivitas yang akan menghambat kesiapan keempat indera dasarnya. Oleh karena itu bermain bebas merupakan porsi terbesar yang dilakukan anak-anak di Jagad Alit. Berlari, melompat, memanjat pohon, bermain jungkat-jungkit, memanjat tangga gantung, berjalan di balok titian, bermain pasir, bermain lompat tali, membawa dahan pohon dan boks-boks kayu, mengangkat meja dan kursi-kursi untuk dijadikan suatu bentuk permainan, menggelindingkan ban bekas, dan masih banyak lagi, adalah semua yang mereka lakukan saat bermain untuk mengembangkan indera peraba, kehidupan, gerak dan keseimbangan. 


TENANG DAN FOKUS



Kegiatan belajar di jenjang sekolah dasar tentunya membutuhkan ketenangan dan fokus. Oleh karena itu di Jagad Alit, pada waktu-waktu tertentu, kami memberikan kesempatan kepada anak untuk dapat menikmati suasana yang menenangkan dan fokus pada apa yang sedang dilakukan. Mendengarkan dongeng adalah kesempatan terbaik untuk mendapatkan kedua hal ini. Diawali dengan nyanyian yang menenangkan ataupun guru yang memainkan alat musik tertentu (biasanya guru memainkan lyre), untuk mengajak anak masuk ke dalam momen yang tenang dan hening. Masuk ke dalam dunia keajaiban sebuah dongeng. Melukis adalah kegiatan lain yang mengedepankan ketenangan dan fokus, bukan pada bentuk yang menjadi objek lukisan anak-anak. Warna yang mengalir indah dari sapuan kuas mereka, sangat mendukung terciptanya suasana yang menenangkan. Sebelum menikmati snack, guru selalu mengucapkan ungkapan rasa syukur dalam bentuk bait-bait kalimat indah yang cukup panjang. Anak-anak diam menunggu hingga selesai, baru mereka mulai makan. Tentu saja “interupsi” selalu ada. Anak yang mengobrol, tertawa, bergerak tidak tenang, teralihkan perhatiannya saat momen hening. Inilah kesempatan bagi mereka untuk belajar. Untuk melatih diri agar dapat tenang dan fokus saat belajar di bangku sekolah dasar nanti. 


RENTANG PERHATIAN (ATTENTION SPAN)

Begitu memasuki jenjang sekolah dasar, mau tidak mau, anak-anak membutuhkan rentang perhatian yang lebih panjang dalam mengerjakan kegiatan tertentu. Mulai dari mendengarkan penjelasan guru, membaca, menulis, menggambar, memainkan alat musik, dll. Mengikuti circle time dan mendengarkan dongeng akan melatih mereka untuk dapat memiliki rentang perhatian yang cukup panjang secara bertahap. Ketika circle time, kami berkumpul dalam sebuah lingkaran. Guru bernyanyi, melakukan gerakan-gerakan, menyampaikan rangkaian kalimat demi kalimat dalam sebuah cerita ataupun puisi. Anak-anak mendengarkan sambil mengikuti gerakan guru. Hal ini dilakukan secara bertahap. Mulai dari 5-10 menit dan kemudian kami memberikan circle time yang lebih panjang lagi. Begitu pula dengan dongeng. Mulai dari dongeng yang pendek dan kemudian bulan-bulan berikutnya kami ganti dengan dongeng baru yang durasinya lebih panjang. Bukan hanya melalui circle time dan dongeng, tetapi juga ketika bermain dan membereskan mainan. Kami memberikan kesempatan yang cukup panjang kepada anak-anak untuk bermain. Untuk anak-anak usia tertentu, mereka membutuhkan waktu untuk merancang permainan, menentukan peran, bernegosiasi ini dan itu sebelum masuk ke dalam permainan yang sebenarnya. Ketika membereskan mainan, kami memberikan waktu kepada mereka hingga semua mainan kembali ke tempatnya semula. Merekapun melipat kain-kain, merapikan tali-tali dengan cara membuat bentuk melingkar dari ujung tali yang satu hingga ujung yang lain. 

MENCINTAI SUATU KEGIATAN/PEKERJAAN


Idealnya seorang anak pergi ke sekolah dengan suka cita. Bahkan ketika liburan, ada anak yang bertanya, “kapan sekolah lagi?” Idealnya seorang anak selalu menantikan saatnya bertemu teman-temannya, menantikan saatnya guru menceritakan materi pelajaran, menantikan saatnya menemukan hal-hal baru dari buku pelajarannya. Sampai dengan usia 7 tahun, anak belajar melalui proses imitasi. Bukan saja meniru perkataan ataupun perbuatan. Bukan hanya meniru apa yang didengar atau dilihat dari sekelilingnya, tetapi juga meniru perasaan. Ekspresi wajah, intonasi suara, dan hal lain yang tidak terlihat atau terdengar secara eksplisit, dapat dirasakan oleh anak. Oleh karena itu kami selalu berusaha melakukan segala sesuatu dengan rasa senang di hati. Menyapu, membereskan mainan, memasak dan menyiapkan snack, menjahit, merajut, berkebun, memotong kayu dan segudang pekerjaan bermakna lainnya selalu kami lakukan dengan rasa senang dan bahagia. Kadang tersenyum, kadang pula sambil bersenandung atau bernyanyi. Semua pekerjaan jadi tampak tidak berat dan bukan merupakan suatu beban. Bukan pula suatu kewajiban atau hanya sekedar melakukan sesuatu yang harus dilakukan. Anak melihat, mendengar, merasakan dan MENIRU. Meniru kami melakukan pekerjaan dengan rasa senang di hati. Benih dari kecintaan dalam melakukan suatu kegiatan, termasuk belajar. 


RASA INGIN TAHU

Merupakan cikal bakal dari kreativitas dan inovasi. Menghasilkan solusi yang baru. Ketika anak bertanya mengenai sesuatu hal, kami tidak selalu meresponnya dengan jawaban. Kami akan berkata, “Hhhmmmmhhh apa ya kira-kira?” Atau, “Wah, gimana ya caranya?” Atau, “Wow ko bisa seperti itu ya?” Daaannn...tak perlu menunggu lama, anak akan mengutarakan idenya, gagasannya, pendapatnya. Seringkali apa yang mereka ungkapkan adalah sesuatu hal yang tidak terlintas di benak kita. Sesuatu yang baru yang berawal dari imajinasi mereka. Cikal bakal kreativitas dan inovasi kelak. 

Begitulah kira-kira apa yang dapat kami berikan untuk membantu anak-anak menyiapkan dirinya memasuki jenjang pendidikan sekolah dasar. Lalu apakah kita masih perlu bertanya, “gimana nanti kalau anak saya masuk SD? Apakah di TK ini diajarkan membaca dan menulis atau tidak?”  Juga jangan membayangkan sebuah SD Waldorf adalah sebuah “bangku sekolah” karena apa yang diberikan tidak melulu terpatok pada anak harus duduk manis mendengarkan guru, menulis dan membaca. Pernah mendengar sebuah sekolah dimana buku-buku pelajaran dibuat sendiri oleh anak-anaknya? Pernah mendengar sebuah sekolah yang memberikan kegiatan merajut? Pernah mendengar sebuah sekolah yang mengajarkan operasi matematis dengan menggunakan dongeng? Dan hal-hal “aneh” lainnya? Mungkin pernah. Dan salah satunya adalah SD Waldorf. Apakah ada di Indonesia? Sedang kami bangun. Kami sudah bermimpi. Dan sekarang saatnya bangun dan mewujudkan mimpi itu. 
Tahun 2019. 
Sebuah impian akan terwujud.