Tampilkan postingan dengan label tulisan parenting. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tulisan parenting. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Januari 2020

Banyak Pertanyaan Anak. Dua Jawaban, Takjub dan Takzim




“Tuhan itu siapa? Tuhan itu ada di mana?”


“Kenapa Nenek meninggal?”


“Bayi datangnya dari mana?”


“Ko rumputnya dipotongin?”


“Kenapa harus makan sayur?”


Pertanyaan-pertanyaan unik, ajaib, tak terduga. Bikin kita bengong selama beberapa detik, menghela napas diam-diam (khawatir keliatan kaget dan bingungnya), sampai akhirnya kita jawab panjang lebar atau bilang bentar ya, mau apa dulu atau kemana dulu, padahal mau ngumpet buka handphone googling. Buat yang lebih tenang dalam merespon, mungkin akan ngajak anak sama-sama buka buku yg kebeneran ada di rumah lalu ngejelasin apa yg ada di buku. Atau mungkin akan bilang “Ayah/Ibu belom tau jawabannya, nanti Ayah/Ibu pikirin dulu ya.” Lalu sampe kebawa mimpi atau pasang status di facebook atau ig story yg isinya pertanyaan anak tsb. Berharap ada reply yg isinya jawaban atau setidaknya sharing pengalaman yang sama dan kemudian sama-sama bingung.


Bikin kaget banget ketika ada sebuah artikel yang membahas mengenai pertanyaan-pertanyaan unik anak, diantaranya adalah, “Kenapa kita harus takut kepada Tuhan?” Jawaban yang disarankan dalam artikel itu adalah “Karena Tuhan yang menciptakan/ membuat kita. Ia bisa membuat kita melihat, mendengar, bernapas, bergerak, dan lainnya. Tapi Tuhan juga bisa membuat kita buta, tuli, meninggal, makanya kita juga harus takut kepada Tuhan.” Tak habis pikir  membayangkan dampak jawaban seperti ini terhadap jiwa seorang anak.


Seringkali pertanyaan-pertanyaan ajaib muncul sebagai pertanyaan lanjutan, “Itu apa?” atau “Lagi ngapain?” dan yang sejenisnya. Pada anak-anak tertentu dan pada usia tertentu, biasanya mulai usia 3 tahun, jawaban kita akan mengundang pertanyaan berikutnya, “Kenapa...bla...bla...bla..” Atau “Ko...bla..bla...bla” Dan jawaban-jawaban kita berikutnya akan diserbu dengan berseri-seri pertanyaan selanjutnya. Anak usia 5-7 tahun bagaikan seorang filsuf kecil, akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yg sifatnya makin dalam. Engga jarang kemudian akhirnya kita bikin rangkuman utk menutup pertanyaan itu, “Ya emang udah dari sananya gitu.” Atau “Ya pokoknya gitu lah.” Atau kita sudahi dengan mengalihkan perhatian anak.


Jadi orang tua, jadi guru atau apapun sebutannya sebagai orang yang mendampingi anak emang banyak tantangannya. Tantangan membuat kita belajar. Bukankah hidup adalah proses belajar untuk menjadi lebih baik? Mangkanya kita engga dikasih hidup yang mulus-mulus aja. Apa yang perlu dipelajari sebagai orang yg mendampingi anak? Ya tentunya kita perlu belajar mengenai anak itu sendiri. Tapi bukan hanya itu, kita perlu memahami diri kita sendiri. Dan bukan hanya dua itu, tapi kita juga perlu mempelajari lingkungan semesta tempat anak tinggal dan berinteraksi dengan alam semesta dan seisinya. Bersyukurlah kita sebagai orang tua, guru, dan orang-orang yang mendampingi anak karena artinya kita diberi kesempatan untuk mempelajari kehidupan! Diberi kesempatan untuk mencari makna kehidpan yang hakiki.


Nah, sekarang giliran kita yg bertanya kenapa anak engga brenti-brentinya nanyain ini dan itu dan kenapa jawaban-jawaban kita seringkali seolah engga memuaskan bagi mereka sehingga muncul pertanyaan beruntun macam ular naga panjangnya bukan kepalang. Itu karena anak memandang dunia ini dengan pandangan yang berbeda dengan kita. Mereka hadir di dunia ini masih dalam itungan jari, sedangkan kita udah puluhan tahun. Mereka masih dalam dreamy unconscious mind. Baru beberapa tahun mereka “dikirim” dari alam yang penuh keajaiban. Alam berpikir mereka adalah imajinasi yang tiada batasnya. Alam berpikir mereka tak seperti kita yang sudah penuh dengan konsep, logika dan teori. Mereka selalu bisa menemukan kemungkinan-kemungkinan lain dari setiap hal. Coba lihat ketika anak bermain. Segala sesuatu bisa jadi apa saja. Kursi misalnya. Bagi kita, kursi ya tempat duduk. Tapi bagi anak, kursi bisa jadi rumah, mobil, disusun jadi rangkaian kereta api, menara, bahkan jadi kompor! Bagi org dewasa sulit untuk dapat memasuki dunia imajinasi anak, karena kita udah full of theory dan cara berpikir yg logis. Oleh karena itu seringkali jawaban kita bukanlah jawaban yg dibutuhkan anak. “To offer them logical explanations (however true to a scientific mind) is to give them a stone when they ask for bread.”


Properties for storytelling by Tokecang Natural Toys
Simpanlah dalam kepala kita bahwa sampai usia 7 tahun, alam berpikir anak adalah imajinasi tak berbatas. Anak masih sangat terkait dengan alam spiritual. Mereka membutuhkan jawaban yang memberi gambaran utuh tentang suatu hal, dimana jawaban ini disampaikan dalam bentuk deskripsi yang imajinatif. Itulah mengapa dongeng merupakan salah satu cara yang lebih sesuai untuk “menjelaskan” sesuatu pada anak atas pertanyaan-pertanyaannya yang rumit, dibandingkan penjelasan panjang lebar yang berisi konsep, teori, ataupun hubungan sebab akibat.


Di sisi yang lain, mereka baru saja hadir di dunia ini, ingin hadir, ingin mengetahui segala yang ada, ingin melakukan banyak hal, ingin menjalin keterhubungan dengan segala yang ada di dunianya yang baru. Ketika anak bertanya, “Kenapa?” yang mereka inginkan bukanlah penjelasan sebab akibat, melainkan keterkaitan/hubungan/relasi antara apa yang ada dalam diri mereka dengan apa yang ada di luar diri mereka. Hal ini dapat mereka peroleh melalui jawaban yang kita sampaikan dengan suara kita yang lembut, hangat, penuh perhatian, dan segala kualitas suara, komunikasi, interaksi yang manusiawi. Bukan penyampaian yang “kering” seperti ketika menyampaikan sebuah teori yang bersifat intelektual. “They are seeking to bring around them the living tones of the human voice......A child is first nourished by his mother-milk, and then by his mother-tongue.” Keterkaitan/ hubungan/ relasi antara apa yang ada dalam diri anak dengan apa yang ada di luar diri mereka juga dapat mereka peroleh melalui jawaban yang berisi afirmasi yang menunjukkan rasa takjub. Ketika anak bertanya, “Itu apa?” Dan kita menjawab, “Buah naga.” Lalu anak bertanya lagi, “Buah naga itu apa?” Yang mereka butuhkan sebenarnya bukanlah definisi dari buah naga, melainkan afirmasi yang menunjukkan rasa takjub. “Ini dia yang namanya buah naga.” Suara, intonasi, ekspresi wajah, sinar mata kita yang akan menyampaikan ketakjuban itu.


Lain halnya dengan anak yang telah melewati tujuh tahun pertama kehidupannya. Mereka telah meninggalkan dreamy unconscious mind. Imajinasi mereka tak lagi sehebat sebelumnya. Mereka telah berada pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi untuk dapat mengkaitkan jawaban dengan pertanyaan yang mereka ajukan. Namun bukan artinya mereka membutuhkan jawaban teoritis ataupun scientific. Bagi anak usia 7 hingga 12 ataupun 14 tahun, bukanlah penjelasan matahari sebagai pusat tata surya yang memiliki diameter ratusan kali lipat dari bumi dan memiliki suhu hingga ribuan derajat celcius, yang akan “memuaskan” mereka. Bukanlah penjelasan bahwa bintang adalah bola gas besar yang mempunyai komponen utama hidrogen dan helium. Bagi mereka, apa yang akan memuaskan jiwa mereka adalah matahari yang terbit setiap pagi dengan sinar keemasan yang menghangatkan, memunculkan rasa takjub dan syukur. Bagi mereka, apa yang akan memuaskan jiwanya adalah kilau bintang yang menghiasi langit malam, begitu indah, seolah menggambarkan jiwa mereka yang bercahaya. Apa yang menyentuh hati dan perasaan mereka, itulah yang dibutuhkan anak-anak usia 7-14 tahun.


Nah jadi, jika kita memberikan pengertian yang sifatnya ilmiah sebelum anak berusia 12 tahun, maka kita akan merusak imajinasi dan unsur rasa yang sejatinya ada dalam diri mereka. Dan karena daya dan kemampuan berpikir anak yang belum siap untuk menerima dasar-dasar pemikiran ilmiah, maka penjelasan yang scientific atau bersifat intelektual akan menjadi dogma yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan, bukanlah sebagai sebuah pengetahuan yang dapat tumbuh berkembang. Anak akan tumbuh menjadi manusia dewasa yang cara berpikirnya tidak fleksibel, sulit untuk menerima pandangan-pandangan yang berbeda dengan apa yang diyakininya.


Bagian ini mungkin akan menjadi bagian yang paling mengejutkan. Buku-buku yang berisi penjelasan disertai gambar-gambar yang dengan kuat dan detail memvisualisasikan bagaimana cara kerja sesuatu, bagaimana membuat sesuatu, bagaimana sesuatu itu muncul, dan buku-buku sejenis, memberikan kemudahan bagi anak untuk mengetahui bagaimana suatu proses berjalan. Namun juga ternyata memberi pengertian yang sangat dangkal dan terlalu disederhanakan. Ketika anak bertanya gua itu apa, apa yang ada di dalam gua, gimana kalau rumahnya seperti gua, dan kita memberikan sebuah buku yang menjelaskan segala hal tentang gua beserta gambar gua dengan stalaktit, stalakmit dan orang yang jaman dulu tinggal di gua, maka anak akan segera berpikir bahwa ia telah memahami segala hal tentang gua. Anak mengumpulkan segala informasi bersifat teoretis yang membuatnya “lupa” untuk mengamati sesuatu yang akan menghadirkan pemahaman yang berasal dari dalam dirinya sendiri. 


Sangatlah penting bagi anak untuk dapat membentuk gambaran di dalam kepalanya sendiri dari apa yang mereka lihat, dengar dan alami secara langsung. Hal ini akan menumbuh suburkan kreativitas anak dibandingkan jika mereka mendapatkan pengetahuan dari gambar atau foto yang membuat anak dengan mudahnya membuat suatu kesimpulan yang sebenarnya terlalu sederhana dan dangkal. Gambar atau foto yang mengilustrasikan cara kerja sesuatu memberikan kemudahan bagi anak untuk mengetahui bagaimana suatu proses berjalan, namun sangat sedikit unsur rasa dari kondisi nyata yang dapat disampaikan oleh gambar-gambar tersebut. Informasi dari buku dengan ilustrasi seindah apapun, akan sangat berbeda dengan pemahaman yang mengandung unsur rasa yang didapat dari apa yang kita ceritakan kepada anak mengenai suasana gelap dan dinginnya di dalam gua, bagaimana menakjubkannya “taring-taring” yang menggantung di langit-langit gua dan menancap kokoh pada dasar gua, bagaimana suara air yang mengalir di dalam gua dan kehidupan penuh tantangan yang dialami orang-orang jaman dulu di dalam gua. Ketika kita bercerita, anak membentuk gambaran di dalam kepalanya, muncul rasa tertentu di dalam hatinya, dan ketika mereka beranjak dewasa, timbul kehendak untuk mengetahui lebih jauh mengenai kehidupan di dalam gua.

Amatlah penting menjaga kehendak anak untuk bertanya tumbuh subur hingga mereka beranjak dewasa. Ketika mereka memasuki usia 14 tahun dan siap untuk menerima pemahaman secara intelektual, mereka harus memiliki keinginan yang kuat untuk menyelidiki setiap pertanyaan dalam hidup hingga ke dasarnya, bukan hanya terpuaskan oleh teori tanpa pengetahuan. Pada beberapa situasi, sangatlah bijaksana jika kita menjawab pertanyaan anak dengan, “hmmmhhh...apa ya?” Hal ini memberi ruang bagi anak untuk berpikir dalam dunia imajinasinya sekaligus memberi nafas bagi anak untuk menjaga pertanyaan-pertanyaan dalam diri mereka tetap hidup. Tak jarang anak kemudian dapat menghadirkan jawabannya sendiri dalam ruang imajinasinya. Suatu hari seorang anak bertanya, “Ko pohonnya ga boleh dipanjat banyakan?” Ketika kita menjawab dengan penuh perhatian dan nada takjub, “hmmmh...kenapa ya?” Anak kemudian berkata, “Soalnya pohonnya kecapean, ngegendong banyak anak.” Jawaban seperti ini juga memberikan gambaran pada anak bahwa tak semua pertanyaan harus terjawab saat ini. Banyak pertanyaan yang harus tetap menempati dan hidup di hati mereka dimana pertanyaan-pertanyaan ini hanya akan dijawab oleh kehidupan itu sendiri.


“You are so young, so much before all beginning, and I would like to beg you, dear Sir, as well as I can, to have patience with everything unresolved in your heart and to try to love the questions themselves as if they were locked rooms or books written in a very foreign language. Don't search for the answers, which could not be given to you now, because you would not be able to live them. And the point is, to live everything. Live the questions now. Perhaps then, someday far in the future, you will gradually, without even noticing it, live your way into the answer. Perhaps you do carry within you the possibility of creating and forming, as an especially blessed and pure way of living; train yourself for that but take whatever comes, with great trust, and as long as it comes out of your will, out of some need of your innermost self, then take it upon yourself, and don't hate anything.” -Rainer Maria Rilke, Letters to a Young Poet-






Sumber : 




Minggu, 22 Juli 2018

Usia Enam Tahun : Mereka Tampak Berbeda!



“Ga ada yang mau ngajak maen,” sambil terisak duduk menyendiri.

“Tadi itu aku kan yang ngomong...aku yang bikin!” menyuarakan bahwa itu adalah idenya.

“Bukan, namanya bukan itu, tau!.....Iya, tapi kan....” terus berusaha untuk berargumentasi.

Acap kali perkataan-perkataan yang senada seperti itu terdengar dari beberapa anak yang berusia 5,5 tahun hingga menjelang 7 tahun. Disertai pula dengan pola permainan mereka yang tampak tidak tentu arah, cenderung rusuh dan heboh. Balok-balok kayu, ranting, batu-batu, papan kayu, ban bekas, pasir, bunga dan daun kering, yang tadinya seringkali mereka gunakan untuk membuat api unggun, perlengkapan halang rintang, kereta api, mobil, tampak kurang menarik perhatian mereka lagi. Peran sebagai petugas kebersihan, petugas pemadam kebakaran, pegawai bangunan, dan yang lainnya mulai jarang terdengar. Bukannya sama sekali tidak terlihat lagi, tetapi tampak berkurang intensitasnya. Mereka lebih senang berlarian kesana dan kemari, berkejar-kejaran menangkap salah seorang temannya sambil mengeluarkan suara-suara keras. Namun terkadang, anak-anak yang berada pada rentang usia 5,5 tahun hingga menjelang 7 tahun ini tampak duduk termenung memperhatikan teman-temannya bermain. Seringkali  beberapa anak yang berusia 5,5 tahun hingga menjelang 7 tahun ini tampak lebih emosional. Hal kecil dapat menjadi suatu masalah yang membuat mereka gusar, kesal, marah,  tersinggung (dalam Bahasa Sundanya, pundung), ataupun menangis.



Apa yang sedang tejadi dengan anak-anak ini? Jika kita memandangnya sebagai pola perkembangan willing, feeling, dan thinking yang dialami oleh anak-anak usia 0-7 tahun, maka mungkin kita akan menganggapnya sebagai bentuk dari mengalirnya will semata, dimana ada saatnya will ini perlu dimunculkan ke permukaan dan ada kalanya will ini perlu diarahkan ketika mengalir deras bagaikan aliran sungai yang tak terbendung. Namun seperti juga pada anak usia kisaran tiga tahun, pada anak usia kisaran enam tahun ini, sedang terjadi sesuatu yang ISTIMEWA. Mengetahui dan mengerti hal yang istimewa ini akan membantu kita memberikan respon yang mereka butuhkan.

PERKEMBANGAN FISIK, ETHERIC, ASTRAL, DAN EGO (FOUR-FOLD HUMAN BEING)
Proses kehadiran ego/”I” pada cycle tiga tahunan, dibarengi oleh rasa antipati dengan derajat yang berbeda-beda pada setiap individu. Antipati ini membantu seseorang untuk menemukan dunianya dan hadir di bumi ini sebagai seorang individu yang utuh. 

Sedangkan cycle enam tahunan menandakan waktu dimana etheric seseorang berproses memisahkan diri dari orang tuanya. Perasaan berpisah menyelimuti anak maupun orang tua. Kedua cycle ini menunjukkan pada kita bahwa pada usia 6, 12, dan 18 tahun terjadi proses kehadiran ego sekaligus pula keberpisahan etheric, sehingga ada waktu dimana anak merasa tidak ingin berpisah dengan orang tuanya dan ada waktu dimana anak ingin mengekspresikan kemandiriannya.  Pada anak yang berusia 5,5 tahun hingga menjelang 7 tahun, suatu hari mereka tidak mau ditinggalkan orang tuanya ketika datang ke sekolah, namun di hari lain mereka meminta orang tuanya untuk cepat pergi setelah mengantarkannya ke sekolah. Dalam tingkatan yang berbeda pada proses ini, seorang anak berusia dua belas tahun tiba-tiba ingin dipeluk oleh orang tuanya, namun pada saat ia diantarkan ke sekolah, ia tidak mau orang tuanya berada dekat dengannya.  Proses bekerjanya kedua cycle ini pun berdampak pada perkembangan fisik anak. Pada anak yang berada di rentang usia 5,5 tahun hingga menjelang 7 tahun, etheric body anak berusaha untuk melakukan penetrasi ke dalam tubuhnya. Berusaha melepaskan diri dari keterikatan faktor keturunan untuk menjadikan tubuhnya menjadi tubuh miliknya. Anak seolah menggunakan seluruh kekuatannya untuk keperluan pertumbuhan fisiknya. Lengan, tungkai dan kaki menjadi lebih panjang.  Pergelangan tangan, pinggang, dan leher akan makin tampak bentuknya. Pada sebagian anak rentang usia ini, akan sering merasakan lapar dan nyeri pada kaki, sendi-sendi, bahkan perutnya sebagai dampak dari proses pertumbuhan fisik tersebut. Terjadi pula proses pergantian gigi susu oleh gigi tetap. Proses ini merupakan proses yang mendebarkan dan tak jarang menimbulkan rasa tidak nyaman. Sekarang bisa kita bayangkan begitu banyaknya proses yang terjadi pada anak kisaran usia enam tahun ini.  Sesuatu yang istimewa! Maka jangan heran jika hal ini kemudian menyebabkan mereka merasa tidak nyaman baik secara fisik maupun psikologis, moody, ataupun menunjukkan ekspresi emosi lain yang begitu ekspresif. Kadang terlihat pula anak menjadi kikuk ketika bergerak, menyebabkan segelas air yang dibawanya tumpah atau tiba-tiba menyenggol kursi hingga terjatuh ketika berjalan. 


PERKEMBANGAN WILLING, FEELING, THINKING (THREE-FOLD HUMAN BEING)


Sejalan dengan perkembangan fisik, etheric, astral, dan ego-nya, ketika anak berusia sampai dengan 5,5 tahun, mereka bermain dengan menggunakan apa-apa yang ada di sekitarnya. Ide permainan datang dari luar, dari apa yang ada di sekitarnya. Ketika mereka berusia 5,5 tahun, mereka terlihat mulai berusaha untuk memunculkan ide dari dalam diri mereka sendiri. Proses berpikir mereka yang masih imajinatif mencoba menciptakan skenario permainan dan kemudian mencari benda-benda yang dapat digunakan dalam skenario tersebut. Seringkali mereka meluangkan waktu lebih lama untuk merancang permainan ketimbang bermainnya. Proses memunculkan ide dari dalam diri mereka sendiripun terkadang membuat mereka terlihat berdiam diri, merenung, memperhatikan sekelilingnya. Tak jarang pula mereka berkata “bosen ah!” Hal ini juga  yang tampaknya menjadi penyebab mengapa acap kali mereka terlihat berlari-larian tak menentu.  Pada proses perkembangan ini, tentunya tidak terlepas pula mereka mencoba hal-hal yang baru, sekaligus melakukan eksperimen atau mengetes apakah hal tersebut boleh dilakukan atau tidak.




Keberpisahan etheric anak dengan orang tuanya, sekaligus pula perkembangan egonya menyebabkan anak pada rentang usia 5,5 sampai dengan 7 tahun ini merasakan kesendiriannya. Ada anak yang berkata “ga ada yang mau maen sama aku.”  Hal ini didukung pula oleh peralihan fokus perkembangan anak dari willing menuju feeling menjelang anak berusia tujuh tahun. Anak menjadi lebih sensitif, mudah tersinggung, menjadi lebih perasa. Rasa sedih ataupun kecewa yang terjadi hari ini mungkin akan berlanjut keesokan harinya. Seorang anak yang dikata-katai oleh temannya, keesokan harinya datang masih dengan wajah murung dan tidak mau bermain dengan temannya tersebut.

Keinginan anak untuk melakukan berbagai eksperimen dalam permainan, juga muncul dalam bentuk rasa ingin tahu mereka akan banyak hal. “Ini terbuat dari apa? Kalau yang ini dari apa?” Tak jarang proses mencari tahu ini menjadi sebuah proses argumentasi sebagai ekspresi dari seorang individu yang ingin menyatakan keberadaannya. “Bukan gitu caranya!....Iya aku juga tau!”......Itu tadi aku yang buat!” Anak akan segera mengetahui kesalahan yang diucapkan atau dilakukan orang tua, guru, ataupun temannya dan kemudian menyatakan apa yang menurutnya benar. Suatu hari seorang anak berusia enam tahun terlihat sedang memegang dan menggoyang-goyangkan gigi susunya yang hampir tanggal. Lalu seorang temannya yang juga berusia enam tahun berkata, “kata mamaku, gigi yang goyang nanti juga copot sendiri! Kalau giginya dicabut nanti pas tumbuh giginya jelek kaya kakek!” Kemudian anak yang mengoyang-goyangkan gigi itu berkata, “harus dibeginikan, itu mah orang tua kamu aja, aku ga mau punya orang tua kayak orang tua kamu!” Pada rentang usia 5,5 sampai dengan 7 tahun mulai muncul pula pembicaraan mengenai Tuhan. Sesuai dengan kapasitas berpikirnya pada rentang usia tersebut, mereka membicarakan hal mengenai surga dan neraka. Sebuah obrolan bernada argumentatif, suatu hari terdengar. Seorang anak mengucapkan kata Tuhan. Anak yang lain mengucapkan kata Allah. Kemudian seorang anak berusia enam tahun berkata, “Allah dan Tuhan itu sama tau!” Tingkah polah anak yang seperti ini disertai pula oleh willing, feeling, dan thinking mereka untuk menjadi seorang bos, seorang pemimpin. Suatu hari seorang anak berusia enam tahun menggunakan mahkota dan menggunakan kain untuk dijadikan jubah. Ia berkata, “aku yang jadi raja binatangnya,” saat ia sedang bermain dalam sebuah skenario kerajaan binatang. Di sela-sela permainan, ia menyuruh temannya untuk mengambil ini dan itu, melakukan apa yang ia suruh, layaknya seorang bos.

Bagaimana kita meresponnya?

Tanamkan empati dan pengertian yang mendalam pada diri kita. Katakan dalam hati dengan kesadaran penuh, “Saya tahu kamu sedang melalui proses transformasi. Saya menyayangi kamu dan hal-hal baru yang terjadi pada dirimu. Saya akan membantumu!”


Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana kita membantunya? Keberpisahan etheric anak dari orang tuanya yang kemudian berusaha menjadi tubuh miliknya sendiri, menimbulkan rasa tidak nyaman baik secara fisik maupun psikologis untuk melakukan suatu hal. Terjadi pula perkembangan proses kehadiran ego/”I” yang mengubah pandangan anak akan hubungan dirinya dengan apa yang ada di sekitarnya. Menimbulkan perubahan dalam perasaan dan proses berpikirnya. Maka sekali lagi tanamkan dalam benak kita  “Saya tahu kamu sedang melalui proses transformasi. Saya menyayangi kamu dan hal-hal baru yang terjadi pada dirimu. Saya akan membantumu!” Kita membantu anak dengan memberikan saluran untuk mengalirkan perubahan-perubahan ini. Kerjakanlah berbagai pekerjaan yang bermakna yang layak ditiru anak. Pekerjaan-pekerjaan ini akan memberikan gambaran-gambaran  baru bagi anak untuk dapat memunculkan ide dari dalam dirinya sendiri. Imajinasi yang sempat hilang, seolah datang kembali. Ide-ide baru inipun dapat muncul ketika anak terlihat berdiam diri memperhatikan teman-temannya bermain atau memperhatikan alam sekitarnya. Seolah ia sedang menambah pustaka imajinasinya. Proses imitasi pekerjaan-pekerjaan yang bermakna ini juga dapat mengalihkan perasaannya yang sedang tidak menentu. Ketika tangan bekerja, perlahan pikiran dan perasaan terarah kepada pekerjaan yang sedang dilakukan. Mencuci piring atau pakaian, menyapu dan mengepel, menggunting rumput, mengupas atau memotong buah dan sayur, menyetrika atau melipat pakaian-pakaian yang telah disetrika, menyapu halaman atau membuang sampah, bahkan menggergaji atau menghampelas kayu merupakan pekerjaan-pekerjaan sederhana yang dapat dilakukan anak. Namun rasa tidak nyaman baik secara fisik maupun psikologis, dapat membuat anak enggan untuk ikut melakukan apa yang kita kerjakan. Padahal ketika usianya belum beranjak 5 atau 6 tahun, ia sangat gemar ikut melakukan apa saja yang kita kerjakan. Jika hal ini terjadi, maka “manfaatkan” proses perkembangan kehadiran ego/”I. Kita bisa mengatakan “Ibu/Ayah tidak bisa ngerjain ini sendiri. Butuh bantuan. Sepertinya kamu bisa/sepertinya kamu kuat. Tolong bantu ya.” Perkataan seperti ini akan membuat anak merasa dirinya dibutuhkan. Merasa dirinya punya kemampuan lebih untuk melakukan sesuatu. Dan ketika anak sudah selesai membantu, jangan lupa katakan “terimakasih sudah membantu.” Tentunya dengan intonasi dan ekspresi yang benar-benar tulus berterimakasih.



Saluran apa lagi yang bisa kita berikan untuk membantu anak di usia ini? Tanggung jawab yang lebih besar yang sudah kita ukur bahwa mereka bisa melakukannya. Ya, mereka sangat senang saat diberi tanggung jawab yang lebih besar daripada sebelumnya. Membawa mangkuk saji berisi sup dari dapur ke ruang makan, mengangkat benda-benda yang berat (sesuai dengan takaran kemampuan fisiknya) seperti meja kecil saat merapikan ruangan, membantu menjaga adik (setelah kita yakin bahwa lingkungan sekitarnya aman), dan bentuk tanggung jawab lainnya. Di sekolah, kami melakukan hal-hal semacam ini. Anak-anak yang berusia 3-4 tahun biasanya memiliki rentang fokus yang lebih pendek. Termasuk ketika mendengarkan dongeng. Mereka akan menampakkan gerak-gerik yang menunjukkan kegelisahan. Kami berkata kepada anak yang berusia 5-6 tahun, “Tolong jaga temanmu ini ya.” Saat anak yang lebih kecil ini terlihat gelisah, anak yang berusia 5-6 tahun tersebut kemudian meletakkan tangannya di atas pangkuan teman kecilnya itu, seperti yang biasa kami lakukan untuk menenangkan anak tersebut. Dan mereka melakukannya dengan ekspresi wajah yang menampakkan keseriusan, seperti benar-benar sedang mengemban tugas yang sangat penting! Hal ini juga merupakan manfaat dari sebuah mixed-age class.



Seiring dengan perkembangan kehadiran ego/”I”, dan berkaitan dengan pemberian tanggung jawab yang lebih besar tersebut, maka ketika kita mendengar perkataan yang bernada “aku bisa dan kamu tidak bisa,” maka daripada kita mengatakan “ga apa-apa, dia kan masih kecil,” sebaiknya kita berkata, “hhhmmm, kalau gitu, bisakah kamu membantunya?” Perkataan semacam ini akan menghembuskan angin win-win solution. Tidak ada yang merasa “lebih” dan tidak ada yang merasa “kurang.”



Begitulah kira-kira apa yang bisa diceritakan, dimana kesemuanya ini dapat dilakukan jika kita mengerti apa yang sedang dialami anak. Bagaimana kita bisa mengerti? Dengan mempelajari dan memperhatikan tahap demi tahap perkembangan anak. Tidak ada waktu untuk melakukannya? Jika itu yang dirasakan, mungkin anak adalah prioritas kesekian dalam hidup kita.


Semoga berkenan. 

Kamis, 26 April 2018

Bertumbuhnya karsa, rasa, dan akal




Pohon yang berbunga merah ini mungkin sudah puluhan tahun bertumbuh di halaman kami. Begitu setianya menemani anak-anak bermain. Berjatuhan bunganya, dikumpulkan anak-anak dan mereka menyebutnya “cabe,” saat mereka membuat masakan sup pedas yang dicampur adonan pasir dan air. Mereka menyebutnya “stroberi,” saat anak-anak meminta kami untuk merasakan masakan sup pedas dan melihat kami kepedesan, lalu mereka memberi kami minuman stroberi.

Suatu hari sang cabe dan stroberi bermunculan begitu meriah dan indahnya. Sepanjang perjalanan kami menemani anak-anak, konsep celebration ataupun festival masih terus berproses untuk bisa kami berikan kepada anak-anak. Celebration yg punya makna, bukan sekedar perayaan. Ketika bunga-bunga merah itu bermunculan begitu kentaranya, kami merasakan hadirnya bisikan sang alam.  Begitu merdu, begitu indah. Kami kemudian mengumpulkan bunga-bunga itu dan membuat lingkaran-lingkaran di atas rumput. Sesaat setelah anak-anak datang, terdengar suara mereka, “waahh apa ini?” Suara-suara kecil yang penuh rasa kagum dan takjub. 







Anak-anak kemudian lompat dari satu lingkaran ke lingkaran yang lainnya. Anak-anak kemudian ikut membuat bentuk-bentuk yang mereka inginkan dari bunga-bunga itu. Seorang anak membuat bentuk kucing!





Lalu kamipun ingin lebih menikmati keindahan sang bunga merah. Kami buat menjadi mahkota. Anak-anak semakin tenggelam dalam rasa keindahan yang tersaji.

Lalu salah seorang dari mereka berkata, “Aku mau tanem ini.” Ia menanam bunga itu! Anak-anak lain segera mengikuti, “Aku mau tanem ini.” Beramai-ramailah mereka menanam apa yang ada di sekitar mereka. Biji pinus, biji salak, bahkan rumput liar yg sdh tercabutpun mereka tanam. 



Begitulah mereka menumbuhkan karsa, rasa, dan akal. Willing, feeling, and thinking. Alam adalah harta karun bagi mereka. Kami hanya memberikan sedikit petunjuk dimana harta karun itu berada. Anak-anak menggali dan membuka kotak harta karun tersebut. Merayakannya....

Kamis, 15 Maret 2018

Kreatif Mendampingi Anak tanpa Screen Time



Screen time = waktu yg digunakan bersama dg layar monitor yg sedang menyala Termasuk layar monitor sebagai background, yaitu saat monitor tetap menyala meskipun tidak ada yang menonton. TV, hp, ipad, acara tv, youtube, game (plant vs zombie, angry bird,dll), film (dora, sesame street, barney, baby einstein, pj masks, sponge bob, upin ipin, toy story, frozen, dll), media sosial (fb, ig, dll), skype, facetime, video call. Semua adalah hal-hal yg berkaitan dg screen time.

Asosiasi dokter anak di Amerika mengatakan no screen time for children under 2
Alasan org tua memberikan screen time :
- Always entertain  children. Kegitan apa lagi ya? Khawatir anaknya bosan.
- Memberikan educational program
- Melatih bicara
- Baby sitting
- Pacifier

PENDIDIKAN WALDORF

Saya akan mencoba menceritakan dulu pengaruh screen time thd anak melalui konsep pendidikan waldorf. Kenapa? Karena pendidikan waldorf bisa dikatakan sebuah konsep pendidikan yang menggunakan pendekatan holistik/menyeluruh.

Kenapa bisa dikatakan holistik? Karena pendidikan diberikan bukan hanya melalui kepala (aspek intelegensia) tetapi jg melalui tangan dan hati.

Kenapa bisa dikatakan holistik? Karena tangan, hati dan kepala dapat “digerakkan” melalui stimulus-stimulus yg dialami anak pada 12 inderanya. 12 bukan hanya 5.



0-7th. TANGAN – melalui indera touch, life, movement, balance – mengenal diri sendiri

7-14th. HATI – melalui indera sight, taste, smell, warmth – mengenal lingkungannya

14-21th. KEPALA – melalui indera hearing, word, thought, ego – mengenal orang lain

Kenapa bisa dikatakan holistik? Karena proses pembelajaran melalui tangan, melalui indera touch, life, movement, balance akan menumbuhkan WILL. Proses pembelajaran melalui hati, melalui sight, taste, smell, warmth akan menumbuhkan FEELING. Proses belajar melalui kepala, melalui indera hearing, word, thought dan ego akan menumbuhkan THINKING. 

Anak  : mencoba/melakukan sesuatu dulu (melalui proses imitasi), kemudian merasakan senang/tdk, kemudian proses berpikir. Misal saat melukis, anak ingin melukis juga saat melihat guru melukis, kemudian terlihat mereka menikmati momen, dan baru kemudian ada anak yang berkata “liat jadi orange!” saat cat berwarna merah dan kuning mengalir di atas kertas. 

Org dewasa : berpikir dulu (bisa/engga, manfaatnya apa, kalau begini bagaimana, kalau begitu bagaimana), mencoba/melakukan, baru kemudian merasakan. Misal saat melukis,  orang dewasa akan berpikir dahulu mau ngelukis apa, lalu mencoba, dan kemudian merasakan apakah melukis itu menyenangkan atau tidak. Atau bisa juga berpikir dulu, merasakan, baru kemudian mencoba. Contoh, ketika datang ke acara ini dan saya bilang dampak negatif screen time. Kita tidak akan langsung melakukan sesuatu untuk meminimalkan screen time tetapi pasti ingin tahu dahulu apa dampaknya? Kenapa? Bagaimana caranya meminimalkan screen time? 

Saya akan fokus pada perkembangan indera usia 0-7 tahun

TOUCH
Indera yang memberi tanda keberadaan diri kita. Coba raba pipi, tangan, kaki. 

Indera yang memberi tanda keberadaan benda-benda lain di luar diri kita. Coba raba karpet, pegang tangan orang di samping kita. 

Kita menjadi tahu batas antara diri kita dan apa yang ada diluar kita. Kalau kita tidak tahu batasnya, maka kita akan membentur sesuatu saat berjalan atau kita akan memukul teman, padahal maksudnya mau menyapa. Kalau kita memejamkan mata, lalu berjalan, apa yg kita lakukan? Kalau kita tidak dapat meraba, kita menjadi waswas, merasa tidak aman dan merasa tidak percaya untuk melangkah atau utk melakukan sesuatu. 

Stimulasi : eksplorasi anggota tubuh kita (bayi memainkan jari-jarinya), eksplorasi segala yang ada di sekeliling, sentuhan, pelukkan


LIFE
Indera yang memberi tanda sehat/tidak, nyaman/tidaknya tubuh kita. 

Stimulasi : ritme yang sehat (breathing in-out). Ada saatnya tidur dan ada saatnya bangun. Ada saatnya melakukan kegiatan yang fokus ke dalam diri dan ada saatnya melakukan kegiatan yang berorientasi keluar diri. Ada saatnya melakukan kegiatan yang santai atau tenang dan ada saatnya melakukan kegiatan yang mengeluarkan energi. Merasakan sakit ketika kondisi tubuh tdk fit atau ketika jatuh

MOVEMENT
Indera yang memberi tanda keberadaan anggota tubuh kita melalui gerakkan otot dan sendi-sendi. Kita tahu dimana harus menempatkan tubuh kita. Kita menjadi terampil dalam melakukan gerakkan. Misal anak naik tangga. Setelah sekian kali trial and error, anak menjadi terampil menempatkan kaki dan tangannya.

Stimulasi : Eksplorasi berbagai  gerak. Imitasi gerakan tubuh, bukan hanya fisik tetapi juga gesture, ekspresi, feeling. 

BALANCE
Indera yang memberi tanda bahwa kita dapat “mengalahkan” gravitasi. Koordinasi antara bagian tubuh yg kiri dengan yg kanan. 

Stimulasi : Eksplorasi gerak. imitasi gerakan tubuh, menikmati momen diam dan tenang



PENGARUH SCREEN TIME (nonton TV, youtube, game, acara edukatif, hp, ipad, komp,dll) TERHADAP INDERA

Semakin intens screen time, semakin besar kecenderungan gangguan terhadap indera :
TOUCH
Waktu untuk mengeksplorasi sekeliling termasuk bermain diluar untuk mendapatkan stimulasi alami dari alam spt rumput, tanah, daun, bunga, embun di pagi hari, air, batu, dll berkurang. 
Waktu untuk berinteraksi dengan orang lain melalui sentuhan, berpegangan tangan, pelukkan, dll berkurang
Jika terjadi hambatan sense of touch, maka kemungkinan akan mengalami :
TACTILE DEFENSIVE  kurang interaksi fisik dengan lingkungan sekitar menyebabkan anak menjadi waswas, khawatir, ragu-ragu, tidak percaya terhadap lingkungan, tidak percaya diri dlalam melakukan sesuatu  akan berdampak pada perkembangan indera ego/I/keberadaan dirinya/eksistensi dirinya/perkembangan jati dirinya saat anak memasuki periode usia 14-21 tahun  SENSE OF EGO

LIFE
Overstimulation. Tampilan yg begitu “kaya” akan stimulasi sensori membuat anak kewalahan
Blue light adalah spektrum warna yang memiliki panjang gelombang terpendek sebelum ultra violet. Makin pendek panjang gelombang, makin tinggi energi yg terkandung di dlmnya, sehingga blue light menjadi lebih mudah berpendar dibanding warna yg lain. Menyebabkan digital eye strain, menghambat produksi hormon melatonin sehingga anak sulit tidur. Ketika kita memberikan screen time pada anak sebelum tidur, maka kadar hormon melatonin akan menurun hingga 23 persen. Anak menjadi sulit tidur.  Apa yg terjadi dg anak yg kurang tidur? Sedangkan pada siang hari, blue light akan membuat anak terlalu waspada karena rendahnya melatonin. Ditambah lagi dengan efek overstimulation. Maka anak akan terlalu terjaga, terlalu waspada, overwhelmed/kewalahan. Ditambah lagi jika anak kurang mendapatkan stimulasi pada indera perabanya, maka anak akan terlalu terjaga, terlalu waspada, overwhelmed/kewalahan, merasa was was, khawatir, merasa tidak aman, tdk percaya pada lingkungan sekitarnya, tidak percaya pada dirinya sendiri  kondisi yg mengindikasikan ADD/ADHD.
WELL BEING TERGANGGU   jika kondisi tubuh kita tidak sehat maka energi (life forces/etheric forces) akan terpusat untuk memperbaiki kondisi tubuh, sehingga kita menjadi sulit untuk berpikir, sulit untuk konsenstrasi. Pernahkan ketika kita sakit, lalu kita diminta untuk memikirkan sesuatu?  akan berdampak pada SENSE OF THOUGHT saat anak memasuki periode usia 14-21 tahun. Lebih jauh lagi adalah jika sense of thought terganggu, maka kitapun sulit untuk menerima pemikiran orang lain.  

MOVEMENT 
Waktu untuk mengeksplorasi sekeliling termasuk bermain diluar untuk mendapatkan stimulasi ataupun melakukan berbagai gerak dan keseimbangan (berjalan, berlari, memanjat, melompat, dll) berkurang.
Imitasi gerak tubuh yg alami sbg manusia, termasuk gesture, ekspresi, feeling tdk dpt diperoleh dari apa yang dilihat di TV. 
ORIENTASI SPASIAL TERGANGGU.  KEMERDEKAAN UNTUK BERGERAK TERGANGGU  kendala dalam berbicara, karena berbicara bukan sekedar mengeluarkan suara tetapi mengeluarkan kata bermakna sekaligus juga mengekspresikannya melalui body language.  akan berdampak pada SENSE OF WORD saat anak memasuki periode usia 14-21 tahun.

Peneliti senior dr Catherine Birken dari Hospital for Sick Children mengatakan paparan gadget bisa membuat bayi telat berbicara. Hal ini terbukti setelah memeriksa data dari 900 bayi. Di mana setiap 30 menit pemakaian gadget bersiko terjadinya hambatan bahasa ekspresif bertambah menjadi 49%.
Anak tdk dpt mengekspresikan kata-kata melalui facial expresion dan body language, maka iapun tdk mengerti non verbal communication yg diberikan oleh orang lain  kendala dalam empati  kendala dlm bersosialisasi. 

BALANCE
Waktu untuk mengeksplorasi sekeliling termasuk bermain diluar untuk mendapatkan stimulasi ataupun melakukan berbagai gerak dan keseimbangan (berjalan, berlari, memanjat, melompat, dll) berkurang.
Imitasi gerak tubuh yg alami sbg manusia, termasuk gesture, ekspresi, feeling tdk dpt diperoleh dari apa yang dilihat di TV. 
Situasi diam, tenang, hening tdk dialami anak saat menonton TV ataupun aktvitas gadget lainnya

FOKUS TERGANGGU karena anak tidak dapat diam dan tenang pada satu posisi pada rentang waktu tertentu  anak terus mencari titik keseimbangannya. Selalu terus mengerahkan energinya utk melawan gravitasi. Jika keseimbangannya terganggu spt ini maka anak tdk dpt mendengar dg baik  akan berdampak pada SENSE OF HEARING saat anak memasuki periode usia 14-21 tahun.
  Anak memiliki kendala dlm mengekspresikan apa yg ada di kepalanya melalui sense of word dan memiliki kendala utk dpt mendengar dan mengerti apa yg disampaikan orang lain  masalah emosional  kondisi yg mengindikasikan ADD/ADHD.


PENGARUH SCREEN TIME (nonton TV, youtube, game, acara edukatif, hp, ipad, komp,dll) TERHADAP WILLING, FEELING, THINKING

WILLING
Kemauan yg berasal dari dalam diri sendiri untuk melakukan sesuatu. Visual dan audio stimulation yang begitu memesona dari screen menyebabkan hal-hal lain yang alami yang ada di sekitar kita dimana visual dan suaranya tidak sehebat screen, akan menjadi sangat tidak menarik dan membosankan. Anak menjadi malas untuk bermain, malas membaca buku, gelisah ketika mendengarkan dongeng. 
Pengaruh terhadap delayed gratification – tinggal touch, geser, tekan. Serba instan. Anak menjadi tidak sabaran. Kalau kemauannya tidak segera terpenuhi akan rewel/tantrum. Tidak dapat menikmati proses.

FEELING
Menimbulkan perasaan sedih dan senang yg berlebihan akibat produksi dopamin yang kurang atau berlebihan. Seperti pengaruh kokain.
Lebih mudah kesal/marah/agresif karena kurang delayed gratification dan tidak dapat fokus (tidak dapat memproses internal dan eksternal environment-nya). 
THINKING
Pengaruh thd fokus – jump cut - There are 10 screen shifts in the first twenty seconds of that clip.  That’s a screen shift every 2 seconds . 
Tdk mampu membangun inner picture. Imagination. Abstract thinking
Jika kita berpikir bahwa kita harus menemani anak setiap waktu ataupun menggunakan media (TV, video game, gadget, dan yang sejenisnya) agar anak tidak bosan, maka mereka tidak mendapat kesempatan untuk belajar bermain sendiri. Mereka tidak akan berada pada momen dalam keadaan tidak tahu apa yang harus dilakukan – mencari gambaran dari dalam diri sendiri – menciptakan sesuatu dari dalam diri dan mengekspresikannya keluar diri.
Membiarkan anak merasa bosan berarti kita membantu dan memberi kesempatan kepada anak untuk menjalani proses “inner creativity.”
Jika kegiatan-kegiatan anak berasal dari luar (TV, video games, gadget, atapun aktivitas yang diarahkan orang tua), maka kemampuan anak untuk menciptakan kreasi-kreasi yang berasal dari dalam dirinya sendiri tidaklah berkembang. Imaginasi dan kreativitas anak akhirnya terhambat.
Apa yg dialami anak akan disimpan di dalam memori dan dibawa tidur. 


ALTERNATIF KEGIATAN PENGGANTI SCREEN TIME
Jangan khawatir anak bosan karena mereka memiliki sesuatu dalam dirinya. Mereka punya imajinasi sebagai cikal bakal kreativitas. Selama kita tidak spoon feeding dan selama kita menyediakan lingkungan yang sehat, imajinasi mereka akan berkembang.

BUATLAH RITME HARIAN (BREATHING IN-BREATHING OUT). Ritme harian dapat diisi dengan :

1. Circle time
2. Finger play
3. House chores. Ikut melakukan pekerjaan rumah tangga sesuai dengan perkembangan usia dan kemampuan anak
4. Permainan tradisional – Paciwit-ciwit lutung, endog-endogan, main karet, main sondah, maen gerobak-gerobakkan, kelereng, spintrong, lompat tali
5. Arts and craft . Banyak sumber yang dapat dijadikan bahan referensi. Googling “nature crafts”
6. Mendongeng. Bisa dilakukan pada waktu tertentu atau sebelum tidur. Dapat dilakukan dengan memijat menggunakan telunjuk dan jari tengah berputar di punggung 

Catatan :
Pada acara parenting ini, peserta diminta untuk berjalan sambil menutup matanya untuk merasakan perasaan waswas, merasa tidak aman dan merasa tidak percaya untuk melangkah atau utk melakukan sesuatu, jika kita tidak mengetahui batas antara diri kita dan apa yang ada di sekitar kita. Hal ini berkaitan dengan sense of touch 
Peserta juga menikmati dongeng indah dari Ibu Manda untuk mengetahui bagaimana stimulasi sensori yang dibutuhkan oleh anak, dibandingkan dengan stimulasi sensori yang berlebihan dari apa yang dilihat di layar
Peserta juga melihat dua buah video youtube yang menggambarkan bagaimana seorang anak terlalu larut dalam kesedihannya ketika menyaksikan adegan sedih sebuah film. Pengaruh dopamin terhadap feeling
Peserta melihat potongan film sponge bob yang menampilkan banyak jump cut/scree shift yang mempengaruhi kemampuan anak untuk dapat fokus terhadap hal-hal tertentu
Peserta diajak untuk membuat apa saja dari bahan-bahan alami dan sederhana (potongan kayu, kulit mahoni, daun, kain) untuk merasakan betapa besar imajinasi dan kreatifitas seorang anak
Peserta diajak untuk melakukan circle time dan finger play
Peserta melihat bagaimana mendongeng dengan menggerakkan jari dan telunjuk di atas punggung anak, dimana daerah punggung/tulang belakang adalah salah satu daerah yang sensitif untuk merasakan sentuhan termasuk ketika kita hendak memberikan ketenangan pada anak. 



Jangan sampai pendidikan yg kita berikan hanyalah mencetak sarjana sebagai sekrup industri sebanyak-banyaknya, yang akan menjalani ritme hidup ‘I don‘t like Monday’ dan ‘Thanks God It‘s Friday’, Pendidikan hendaklah menjadikan kita sebagai manusia yg merdeka yg bisa memberikan makna bagi kehidupannya dan bagi orang-orang dan makhluk lain di sekelilingnya

Ingat lagi bahwa salah satu kemungkinan pola belajar umumnya orang dewasa adalah THINKING – FEELING – WILLING. Saat ini kita sudah tahu bagaimana dampak sreen time. Kemudian apa yang sudah kita ketahui itu kita rasakan dalam hati. Apakah hati kita berkenan menerima pengetahuan tersebut. Baru kemudian setelah yakin, kita melakukannya. Untuk melakukan sesuatu, butuh will power. Untuk melakukan suatu perubahan, butuh will power. Dimulai dari diri  kita sendiri. Jangan sampai kita sibuk menyuruh anak untuk beranjak dari depan TV, sementara kebanyakan waktu kita dihabiskan bersama dengan gadget. 

Disusun oleh Kenny Sidkar
Disajikan pada acara free parenting 10 Maret 2018 yang diadakan oleh :
Asosiasi Waldorf-Steiner Indonesia
Jagad Alit Waldorf Play and Kinder
Arunika Waldorf





Sabtu, 20 Januari 2018

Dunia Ini Baik!



Dalam situasi sekarang ini dimana banyak peristiwa yang tidak mengenakan terjadi di sekeliling kita, merupakan tantangan tersendiri untuk merasakan bahwa dunia ini baik. Konflik, peperangan, bencana alam, kecelakaan, pembunuhan, korupsi, dan banyak peristiwa menyedihkan lain yang kita saksikan sendiri ataupun kita lihat di media elektronik, yang kita alami sendiri ataupun yang dialami orang lain membuat kita mungkin merasa khawatir akan masa depan dunia ini. 

Di suatu pagi saat sinar mentari mencoba menyelinap memberi kehangatan di sela-sela desiran angin dingin, terdengar suara kecil menyapa, “Bu Kenny...Bu Kenny tau ga BEJ ambruk?” Agak terkejut mendengarnya dan saya hanya menjawab seadanya, “oiya...tau.” Kemudian suara kecil itu beralih kepada makhluk-makhluk kecil di smapingnya, “ambruknya begini lo...” ia mempergakan dengan tangannya sambil mengeluarkan suara bagaimana ambruknya gedung tersebut. Iapun berkata, “ambruknya itu karena ada penumpukkan orang!” Saya mencuri-curi dengar dan tergoda untuk bertanya, “tau dari mana?” Iapun menjawab, “dari berita.”

Susan Weber, seorang yang banyak berkiprah dalam dunia pendidikan Waldorf, mengatakan dalam sebuah tulisannya, “For the child just beginning life, there is one single mantra that needs to guide those early steps and years: the world is good. Nothing brings stamina for life and daily well being to our children more directly and strongly than surrounding them and immersing them into an atmosphere of goodness and joy.”

Seorang bayi menikmati kehidupannya dalam rahim sang ibu yang begitu aman, nyaman, dan hangat, dan kemudian mereka hadir di sebuah dunia yang baru yang begitu asing bagi mereka. Apa yang kita rasakan ketika kita harus pindah rumah, pindah tempat kerja, pindah kota, pindah ke lingkungan yang baru? Saya berani mengatakan bahwa pasti sedikit banyaknya akan ada rasa khawatir, atau rasa takut, bertanya-tanya seperti apakah tempat yang baru itu, apakah tempat yang baru itu akan emmberikan keamanan, kenyamanan dan kehangatan? Dan ketika ada tetangga, teman kerja, ataupun keluarga yang menceritakan hal-hal buruk mengenai tempat yang baru tersebut, maka kita akan berpikir kembali untuk memutuskan apakah jadi pindah atau tidak, kita akan menjalani kehidupan di tempat yang baru dengan perasaan was-was, atau malah kita akan memutuskan untuk kembali ke tempat yang lama. 

Anak-anak memiliki organ-organ pengindera yang sangat luar biasa. Mereka mengamati dan menyerap apa yang mereka lihat, dengar, bahkan mereka rasakan. Mereka begitu terbuka. Tetapi mereka belum bisa menginterpretasikan apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan. Mereka baru saja hadir di dunia yang serba asing ini. Tujuh tahun bahkan empat belas tahun kehidupan mereka di dunia ini merupakan waktu yang terlalu singkat bagi mereka untuk dapat mengerti dan menerima hal-hal buruk yang ada di dunia ini. Pesan yang mereka cari dari kita adalah, “saya bahagia hidup di dunia yang baru ini. Dunia yang baru ini begitu menyenangkan dan saya ingin tinggal di dalamnya.” Merekapun membutuhkan sebuah kepercayaan yang akan meyakinkan mereka bahwa dunia ini baik adanya dan oleh karena itu saya ingin memasukinya, saya ingin tahu, saya ingin melihatnya, saya ingin menyentuhnya, saya ingin mengeksplorasi, saya ingin menemukan hal-hal yang baru dan baru lagi. Saya ingin ingin merasakan semua yang ada di dalamnya dengan segala kepercayaan diri saya terhadap dunia yang baik dan indah ini. Jika pesan yang mereka dapatkan adalah ketidakbaikkan dari dunia ini, maka bisa dibayangkan bahwa mereka akan “kembali masuk” ke dalam dirinya sendiri, menutup diri, merasa khawatir, takut, tidak percaya diri, takut mencoba hal-hal baru. Binar-binar di matanya akan meredup. Bagaimana mereka bisa percaya diri, tertarik dan mau mencoba hal-hal baru, jika mereka merasa dunia ini tidak aman?


“We owe to them their birthright: the world is good and I am grateful and happy to be in it. It is a safe place for me to grow in. And later, much later, I will be able to take on its pain and burdens. But give me time, peace, and space in which to discover the goodness in life for myself, in which to grow strong, capable, brave, and enthusiastic for life. Protect me from the challenges of adulthood until I am ready.” Ada waktunya...ada waktunya mereka akan dapat mengerti dan menerima apa yang tidak mengenakkan di dunia ini. Ketika mereka sudah siap, ketika sudah tumbuh kepercayaan dalam diri mereka bahwa dunia ini baik dan indah. 

Jauhkanlah berita-berita buruk dari kehidupan mereka baik dalam obrolan sehari-hari maupun dari media lain yang dapat dijangkau anak-anak. Sebagai orang tua, tumbuhkanlah sense of wonder, sekecil apapun, dalam diri kita dari apa saja yang kita lihat, dengar dan rasakan. Lihatlah sekeliling kita. Rerumputan yang basah oleh air hujan, embun di pagi hari, bunga yang tumbuh bersemi, kupu-kupu yang beterbangan kesana dan kemari. Dengarkanlah desiran angin, suara air hujan, kicau burung di pagi hari. Rasakan hangatnya mentari. Nikmati sinar bulan dan bintang di malam hari. Yang seperti itu akan mengingatkan kita pada “keajaiban” dan betapa menakjubkannya dunia ini. Temukan puisi-puisi yang indah. Senandungkan lagu-lagu yang menenangkan.  And see if, step by tiny step, you can rediscover, in difficult times, that the world truly is good.

Steadfast I stand in the world
With certainty I tread the path of life
Love I cherish in the core of my being
Hope I carry into every deed
Confidence I imprint upon my thinking.
These five lead me to my goal
These five give me my existence.
-Rudolf Steiner-