Rabu, 09 Desember 2015

Konsep Pendidikan Waldorf

Buat teman-teman yang bertanya ttg konsep pendidikan Waldorf, mudah-mudahan tulisan yang agak panjang ini bisa memberikan gambaran.

Pendidikan Waldorf
Rudolf Steiner (1861-1925)


TUJUAN 
Menghasilkan individu yang mampu, dalam diri dan dari diri mereka sendiri, memberi makna bagi kehidupan mereka.

Ini artinya sangat dalam. Coba tanya pada diri sendiri apakah sepanjang usia kita ini kita sudah mengetahui apa makna kehidupan kita? Dalam menjalankan peran kita sebagai orang tua, guru, ataupun peran yang berkaitan dengan profesi kita, nilai dan manfaat apa yang sudah kita berikan bagi diri kita sendiri dan orang lain? Ketika kita kuliah, apakah tujuan kita hanya sekedar mendapatkan nilai baik untuk bisa diterima bekerja di suatu perusahaan? Ketika sudah bekerja apakah tujuan kita hanya uang dan karir? Atau bekerja dengan label demi kepentingan anak ataupun keluarga tetapi kemudian ternyata kita hanya menyuplai kebutuhan material mereka dan lupa bahwa anak dan keluargapun butuh waktu, perhatian, kasih sayang, dan pengasuhan serta pendidikan yang tepat?

Coba tanya pada diri sendiri berapa jam dalam sehari kita punya waktu yang benar-benar didedikasikan pada anak kita? Benar-benar fokus mengobrol santai, bermain bersama anak, memasak untuk keluarga, dan kegiatan lainnya yang berfokus pada keluarga.

Seringkali terjadi, “doktrin” yang kita berikan kepada anak adalah : “Sekolah yang rajin ya, supaya nilainya bagus.” Karena tujuannya adalah supaya nilainya bagus, segala cara akan ditempuh anak asalkan nilainya bagus. Termasuk misalnya copy paste tugas dari temen, browsing bahan tugas tanpa memperhatikan sumbernya bisa dipercaya atau tidak. Yang penting adalah nilai bagus, ilmunya dikuasai atau tidak, itu masalah nanti....

Tujuan dari pendidikan Waldorf, 
Menghasilkan individu yang mampu, dalam diri dan dari diri mereka sendiri, memberi makna bagi kehidupan mereka dapat dicapai dengan memberikan pendidikan secara menyeluruh, bukan hanya fokus pada intelegensia ataupun kognitif anak saja tetapi melalui TANGAN, HATI, dan KEPALA. 
Apa yang dikerjakan oleh tangan, akan membangun keinginan yang kuat yang berasal dari dalam dirinya sendiri, (bukan karena orang lain) untuk mengerjakan sesuatu (WILLING). 
Apa yang meresap masuk ke dalam hati, akan dirasakan oleh anak sebagai sesuatu hal yang menyenangkan (FEELING). 
Apa yang masuk ke dalam kepala, akan menstimulasi proses berpikir anak (THINKING).

Integrasi (bukan hal yang terpisah-pisah) dari willing, feeling, thinking melalui tangan, hati, dan kepala merupakan ciri khas dari pendidikan Waldorf dalam memberikan pendidikan yang utuh bagi anak sehingga nantinya mereka akan mampu menemukan makna dalam kehidupan mereka.
Coba tanya pada diri sendiri, berapa banyak orang dengan profesi/perkerjaan tertentu yang “terpaksa” menjalankan profesinya karena tuntutan kebutuhan? Bagaimana hasil pekerjaan mereka?

Melalui pendidikan yang terintegrasi ini, anak diharapkan akan mampu menghasilkan sendiri sebuah solusi, bukan meniru solusi yang sudah ada; mampu berpikir, bukan menghafal; melakukan inisiatif (self motivation) bukan menunggu perintah.

Pendidikan yang menyeluruh ataupun terintegrasi ini diberikan dengan memperhatikan perkembangan alamiah anak. Berdasarkan perkembangan fisik dan psikologis anak, secara umum, Rudolf Steiner membagi tahapan perkembangan anak menjadi 3 kelompok usia, yaitu 0-7th, 7-14th, dan 14-21th.
Hal ini dikaitkan dengan tahapan perkembangan indera anak. Steiner mengemukakan 12 indera yang fokus pengembangannya berdasarkan ketiga kelompok usia tersebut. 

Pada kelompok usia 0-7th, fokus pengembangan pada indera tingkatan pertama (LOWER SENSES), yaitu indera peraba (SENSE OF TOUCH), indera yang berkaitan dengan kesehatan baik secara fisik ataupun psiklogis (SENSE OF LIFE), indera gerak (SENSE OF MOVEMENT), indera keseimbangan (SENSE OF BALANCE).

Pada kelompok usia 7-14th, fokus pengembangan indera tingkatan kedua (MIDDLE SENSES), yaitu indera penglihatan (SENSE OF SIGHT), indera penciuman (SENSE OF SMELL), indera perasa (SENSE OF TASTE), indera yang berkaitan dengan temperatur baik secara fisik maupun psikologis (SENSE OF WARMTH).

Pada kelompok usia 14-21th, fokus pengembangan pada indera tingkatan ketiga (HIGHER SENSES), yaitu (SENSE OF HEARING), indera bicara (SENSE WORD/SPEECH), indera pemikiran (SENSE OF THOUGHT), indera individualitas (SENSE OF EGO).
Perkembangan lower senses akan mempengaruhi perkembangan higher senses, dimana higher senses ini bukan hanya berfokus pada diri sendiri tetapi juga pada kehadiran orang lain. Kemampuan mendengarkan orang lain, memahami perkataan orang lain, empati terhadap orang lain.

Pada pendidikan Waldorf, proses pembelajaran sangat memperhatikan kemampuan anak berdasarkan usianya. Anak usia 0-7th belajar melalui proses imitasi dari apa yang ia lihat (IMITATION). Anak usia ini akan melihat dan menyerap segala sesuatunya sebagai suatu hal yang baik yang ada di dunia ini. Mereka akan meniru apa yang mereka lihat karena mereka menganggap semua yang dilihat adalah hal yang baik untuk ditiru (ketika kita melakukan hal yang buruk, maka anak tetap akan menirunya).  Anak usia 7-14th belajar melalui proses imajinasi (IMAGINATION). 
Usia 14-21th belajar melalui proses pemberian nilai (JUDMENT) .

Agar tujuan pendidikan tercapai melalu proses pembelajaran yang berpihak kepada anak, maka semua yang telah diuraikan di atas tadi dilaksanakan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang mengikuti/selaras dengan ritme kehidupan (RHYTHM), kegiatan-kegiatan yang diulang-ulang selama rentang waktu tertentu sehingga menjadi sesuatu yang melekat (REPETITION), dan dilaksanakan dengan cara yang sangat menghormati/menghargai anak sebagai makhluk spiritual (REVERENCE).

Gambaran keseharian anak di Playgroup/TK Waldorf yang mencerminkan hal-hal yang diuraikan di atas tadi :Ritme harian disusun selaras dengan ritme kehidupan siang dan malam, ritme tubuh menghirup udara (BREATHING IN) dan menghembuskan udara (BREATHING OUT)

Anak datang dan disambut oleh guru. Guru menatap anak dengan hangat, tersenyum dan menyalami anak satu persatu (reverence). Pada saat menyalami anak, guru dapat merasakan mood anak melalui genggaman tangan dan ekspresi muka anak. Setelah anak menyimpan perlengkapannya, anak bermain bebas (FREE PLAY) di luar atau di dalam ruangan. Free play adalah bermain bebas tanpa arahan atau instruksi dari guru. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan WILLING. Sementara anak bermain bebas, guru tidak “ikut campur,” guru mengerjakan pekerjaan lain yang “bermakna,” misal menyirami tanaman,menyapu, merapikan sesuatu, dll. Ingat, anak akan meniru. Dan tentunya kita mengharapkan anak meniru hal-hal baik. Free play merupakan kegiatan BREATHING OUT, menyalurkan energi anak. Free play ini sangat penting untuk menstimulasi SENSE OF TOUCH, SENSE OF LIFE, SENSE OF MOVEMENT, SENSE OF BALANCE. Tanpa kita sadari, anak belajar banyak ketika melakukan free play.

Setelah itu biasanya, kita melakukan circle time. Anak berkumpul dalam lingkaran untuk melakukan gerakan olah tubuh ataupun finger play yang disertai dengan nyanyian ataupun kata berima atau bahkan disertai dengan bercerita sambil melakukan beberapa gerakan yang sesuai dengan jalan ceritanya. Circle time merupakan kegiatan BREATHING IN, dimana kegiatan ini membutuhkan fokus dan konsentrasi anak.

Demikian seterusnya semua kegiatan disusun berdasarkan ritme breathing in dan out atau sebaliknya secara berselang seling, sehingga anak tidak akan merasa kehabisan energi ataupun merasa bosan dan letih.

Kegiatan selanjutnya adalah snack time. Snack disiapkan oleh guru dan anak. Anak ikut memotong buah atau sayuran, membuat adonan roti, menyiapkan piring, dll. Di sekolah Waldorf, aktivitas “rumah tangga” adalah hal yang penting diperkenalkan kepada anak. Setelah anak selesai menikmati snack sehat, aktivitas selanjutnya adalah free play. Sekali lagi, free play menjadi bagian yang sangat penting. Mainan yang digunakan adalah mainan sederhana dari bahan-bahan natural, misal mainan kayu, boneka dengan bahan natural, ranting, kerang, potongan kayu, kain-kain dari bahan natural, dll. Open ended toys seperti ini akan dapat mengembangkan imajinasi anak, karena potongan kayu misalnya dapat menjadi sebuah perahu, jembatan, kursi, dan yang lainnya tergantung imajinasi. 
Kali ini, guru biasanya mengerjakan hal baik berupa kegiatan seni dan kerajinan. Misal melukis (di TK Waldorf, melukis dengan teknik wet on wet dan bukan menggambar bentuk), merajut dengan jari, atau beeswax modelling (seperti membuat bentuk dengan playdough). Biasanya anak akan menghampiri guru dan kemudian mereka ingin melakukannya. Sekali lagi, ini akan membangun WILL anak. Melakukan sesuatu dari dalam diri mereka sendiri, tanpa disuruh.

Sebelum pulang, anak mendengarkan cerita (storytelling bukan storyreading). Cara bercerita di Waldorf berbeda dengan yang biasanya kita lihat. Tujuan bercerita di sekolah Waldorf adalah terutama untuk mengembangkan IMAJINASI dan menumbuhkan kecintaan terhadap bahasa, sehingga nantinya anak akan merasakan keindahan bahasa dalam sebuah cerita yang akan menjadikan mereka sebagai anak yang cinta membaca. Tujuan bercerita di sekolah Waldorf bukan untuk entertaining, sehingga cerita disampaikan dengan suara dan intonasi yang tenang dan ekspresi wajah guru adalah ekspresi yang natural. Bercerita biasanya juga dilakukan dengan menggunakan boneka ataupun properti sederhana lainnya seperti batu-batuan, ranting, daun, dll. Boneka yang digunakan juga sederhana, tanpa mata, hidung, telinga, mulut. Ini dilakukan agar anak bisa berimajinasi sendiri. Boneka bisa menggambarkan karakter yang sedang senang ataupun sedih sesuai dengan jalan ceritanya.

Perpindahan dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya dilakukan secara “lembut,” biasanya menggunakan nyanyian yang mengajak anak dan juga melalui contoh tindakan, bukan dengan seruan atau perintah. Misal ketika selesai bermain, guru membereskan mainan sambil bernyanyi dan biasanya anak-anak sudah tahu bahwa itu tandanya waktu bermain sudah selesai. Karena hal yang seperti ini dilakukan berulang-ulang setiap harinya REPETITION, maka tanpa disuruh, anak akan mengikuti guru membereskan mainan. Anakpun akan menangkap kesan bahwa aktivitas membereskan mainan adalah sesuatu hal yang menyenangkan karena guru melakukannya dengan bernyanyi, ekspresi wajah yang menyenangkan dan membereskan mainan tidak dilakukan dengan terburu-buru.

Kira-kira demikian gambarannya....

1 komentar: