Tampilkan postingan dengan label memilih sekolah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label memilih sekolah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 24 Maret 2016

Saturday Open Day

Sangatlah bijaksana untuk mempertimbangkan kesesuaian visi dan konsep pendidikan dalam memilih sekolah bagi anak kita. Oleh karena itu kami mengundang para orang tua bersama dengan anak untuk mengenal terlebih dahulu visi dan konsep pendidikan kami.


Jumat, 11 Maret 2016

Catatan dari study group - 5 Maret 2016

Acara study group kali ini dihadiri oleh mahasiswa dan mahasiswi S2 dan S3 yang sekaligus jg pendidik dan tentunya menaruh perhatian terhadap perkembangan dan pendidikan anak.

Topik kali ini adalah mengenai bagaimana sebaiknya pihak sekolah menjalin komunikasi dengan orang tua. Sekolah dan orang tua adalah dua pihak yang sama-sama terlibat dalam pendidikan anak. Kerjasama antara keduanya sangatlah penting. Namun tidak jarang kita temukan sekolah-sekolah yang menyadari pentingnya hal ini dan ingin membangun kerjasama yg baik tetapi pada pelaksanaannya menemui tantangan-tantangan. Bahkan ada juga sekolah yang secara sadar ataupun tidak sadar, bersikap defensif ketika orang tua membutuhkan informasi tertentu. Berdasarkan situasi-situasi itulah maka topik ini menjadi sangat menarik utk dibahas.

Diskusi yang sangat berkualitas...hehe...banyak sekali manfaat yang didapat. Setelah breathing-in dalam diskusi, kita breathing-out melalui kegiatan craft. Terimakasih semua!


Tanya :
Ketika ada orang tua yang bertanya mengenai apa dan bagaimana sekolah kita (misal ttg jadwal sekolah, biaya, kegiatan, dll), maka kita bisa menjawab dengan yg seutuhnya dapat diterima oleh orang tua. Tetapi ketika orang tua bertanya kenapa sekolah ini spt itu, apa bedanya dg yang lain, bagaimana kalau anak saya begini, maka bagaimana sebaiknya cara kita menjawab?

Jawab :
Saat ini informasi bisa dibilang sangat mudah didapat dari segala sumber (internet, buku, acara parenting, obrolan dengan sesama orang tua, dll). Informasi yang diterima bisa jadi adalah informasi yang teruji nilai kebenarannya, informasi yang hanya berdasarkan pendapat seseorang saja, ataupun informasi yang hanya sesuai dengan persepsi kita saja. Guru atau pihak sekolah mungkin memiliki informasi lebih banyak, demikian pula sebaliknya, orang tua yang memiliki informasi lebih banyak. Nah berdasarkan kondisi ini maka alangkah baiknya jika pihak sekolah tidak bertindak sebagai pihak yang “maha tahu.” Langkah pertama adalah menyeleraskan persepsi mengenai informasi yang dimiliki masing-masing pihak. Pihak sekolah sebaiknya bertanya terlebih dahulu “what do you think?” 
Misal : “Baiklah Bapak/Ibu, sebelum saya menjawab, dari apa yang mungkin Bapa/Ibu sudah ketahui, bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai dampak televisi terhadap perkembangan anak?” Setelah orang tua menyampaikan pendapatnya, baru kita memberikan jawaban, “Bapak/Ibu, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa dampak televisi ataupun media elektronik lainnya terhadap perkembangan anak ternyata bukan hanya dari kontennya yang tidak sesuai tetapi juga dari “jump cut” atau potongan-potongan adegan yang sifatnya tidak kontinyu..dst..dst...”

Dalam menyampaikan jawaban, nada suara tetaplah wajar sehingga kesannya tdk menggurui. Memberikan sumber jawaban juga penting, misal spt tadi, “dari beberapa penelitian....” atau dari “pengalaman saya....”, atau “dari buku yang saya baca...”, atau jika memang sumber informasi yg kita miliki kurang lengkap, maka katakanlah, “dari artikel yang saya baca dan tentunya perlu penelitian lebih lanjut berkaitan dg hal ini...”

Ada satu hal yang perlu diingat ketika orang tua bertanya apa bedanya sistem pendidikan di sekolah ini dengan di sekolah lain, maka jangan jadikan sistem pendidikan itu sebagai komoditi. Karena jika kita menjadikan sistem pendidikan sebagai suatu komoditi, maka kita cenderung akan menjawab “sistem pendidikan di sekolah ini lebih bagus dari pada di sekolah lain.” Atau malah mungkin jg kita akan menjelek-jelekkan yang lain, padahal pada dasarnya semua tujuan pendidikan itu baik hanya cara atau metodanya yg berbeda. Mana yang paling baik, adalah yang paling sesuai dengan kebutuhan anak. Kebutuhan setiap anak berbeda, maka sekolah yang baik utk seseorang belum tentu baik bagi yang lain. 

 Tanya : 
Bagaimana sebaiknya pihak sekolah memposisikan orang tua? Apakah orang tua dipandang sebagai customer dimana orang tua dan anak membutuhkan jasa pendidikan dan kemudian mereka membayar utk itu. Pihak sekolah berusaha utk memenuhi kebutuhan org tua dan anak dengan menyediakan jasa pendidikan dan sebagai imbalannya adalah uang sekolah yang memang dibutuhkan utk menyediakan jasa tsb, misal utk sarana dan prasarana, biaya operasional, peningkatan keterampilan guru, dll.  Atau sebagai partner dimana orang tua diajak bersama-sama utk membangun apa yg dibutuhkan oleh anak. 

Jawab :
Di bagian ini cukup alot diskusinya.... 
Kita yg hadir bisa dikatakan sepakat bhw org tua adalah partner krn masalah pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah tapi tentu saja jg merupakan tanggung jawab org tua. Dan apa yg diberikan di sekolah tentu tdk ada artinya jika org tua di rmh tdk memberikan hal yg sejalan dg apa yg didpt di sekolah. 

Namun  banyak org tua yg beranggapan bahwa saya sudah membayar mahal utk sekolah dan utk itu saya ingin anak saya jadi pinter, sopan, dll. Berdasarkan hal tsb maka tidaklah salah memandang org tua sbg customer krn dg demikian pihak sekolah akan berusaha memberikan yg terbaik bagi customernya.  Dan berarti jika kemudian customer tidak puas akan layanan yg diberikan, maka org tua berhak utk complaint dan menganggap bahwa itu adalah kesalahan si penyedia jasa tanpa peduli keselarasan antara apa yg diberikan di sekolah dan apa yg diberikan di rmh. Nah looooo...haha...

Oke, skrg kita coba pelajari apa yg dikatakan Steiner (founder Waldorf) mengenai three fold social order. Di satu sisi ada kegiatan ekonomi yg bertujuan menghasilkan uang (konsumen/demand dan produsen/supply). Di sisi lainnya ada pendidikan, seni, dan penelitian. Kedua sisi ini harusnya tdk bertemu, artinya kita memberi pendidikan, kita membuat karya seni, kita melakukan riset, NOT because we are paid for. Kita memberi the best education for people so they can be the best person the society needs. Kalau kita memandang pendidikan sbg kegiatan ekonomi maka kita akan berusaha memberikan apa yg konsumen kita mau. Kalau konsumen tdk suka maka kita akan mengganti segala sesuatunya dg apa yg konsumen sukai.  Itulah bisnis. Kl konsumen kita ga suka dg produk kita dan lebih suka dg produk org lain maka kita akan menyesuaikannya dg permintaan pasar. But thats not education should work nor art should work! Kita tdk menggambar sesuatu krn gambar itu yg paling laku. Lalu apa yg menengahinya? Dlm three fold human being, agar thinking dan willing seimbang, ada feeling. Dlm three fold social order, ada government. Apa yg dihasilkan dari kegiatan ekonomi seharusnya diatur pemerintah spy bisa diperoleh oleh education, art, dan research spy ketiganya itu tdk mendapatkan pressure krn membutuhkan dana. Tapi sayangnya yg terjadi tdklah demikian. We have to work out with what we have. Soooo...

It is wise to see parents as a customer and also a partner. Disinilah pihak sekolah harus bisa memainkan porsinya. Jgn sampai porsi konsumen lebih besar daripada porsi partner. Jika ini terjadi, mungkin sj kebijakan sekolah yg sebenarnya adalah yg terbaik bagi anak-anak, meskipun tdk populer, dicancel krn tdk sesuai dg keinginan sekelompok org tua. Hal ini bisa terjadi kpd sekolah-sekolah yg filosofinya tdk kuat. Naaahhh begitulah...sebuah sekolah seyogyanya memiliki filosofi yg kuat, bukan hanya sekedar memenuhi keinginan pasar. 

Sekian dl yaaaa... sampai ketemu di study group bulan depan.


Sabtu, 27 Februari 2016

Kunjungan

Sebelum memilih dan mendaftarkan anak ke suatu sekolah, alangkah baiknya kita mengenal terlebih dahulu konsep sekolah tersebut, karena pada dasarnya setiap pendidikan mengajarkan kebaikan, setiap sekolah berusaha memberikan yang terbaik. Hanya saja apakah konsep dan cara sekolah tersebut sesuai dengan kebutuhan anak kita? Sekolah yang baik menurut orang lain belum tentu baik menuruk kita karena kebutuhan anak berbeda-beda.



Oleh karena itu Jagad Alit mengharuskan setiap orang tua untuk melihat dan mengenal terlebih dahulu konsep pendidikan Waldorf dan bagaimana kami mengantarkan konsep tersebut. 




“Receive children in reverence, educate them in love, and let them go forth in freedom.” Rudolf Steiner.




Periode kunjungan 22 Feb - 30 Maret 2016 setiap hari Senin jam 13.00 dan Rabu jam 10.00 serta hari Sabtu 26 Maret jam 10.00

Rabu, 09 Desember 2015

Konsep Pendidikan Waldorf

Buat teman-teman yang bertanya ttg konsep pendidikan Waldorf, mudah-mudahan tulisan yang agak panjang ini bisa memberikan gambaran.

Pendidikan Waldorf
Rudolf Steiner (1861-1925)


TUJUAN 
Menghasilkan individu yang mampu, dalam diri dan dari diri mereka sendiri, memberi makna bagi kehidupan mereka.

Ini artinya sangat dalam. Coba tanya pada diri sendiri apakah sepanjang usia kita ini kita sudah mengetahui apa makna kehidupan kita? Dalam menjalankan peran kita sebagai orang tua, guru, ataupun peran yang berkaitan dengan profesi kita, nilai dan manfaat apa yang sudah kita berikan bagi diri kita sendiri dan orang lain? Ketika kita kuliah, apakah tujuan kita hanya sekedar mendapatkan nilai baik untuk bisa diterima bekerja di suatu perusahaan? Ketika sudah bekerja apakah tujuan kita hanya uang dan karir? Atau bekerja dengan label demi kepentingan anak ataupun keluarga tetapi kemudian ternyata kita hanya menyuplai kebutuhan material mereka dan lupa bahwa anak dan keluargapun butuh waktu, perhatian, kasih sayang, dan pengasuhan serta pendidikan yang tepat?

Coba tanya pada diri sendiri berapa jam dalam sehari kita punya waktu yang benar-benar didedikasikan pada anak kita? Benar-benar fokus mengobrol santai, bermain bersama anak, memasak untuk keluarga, dan kegiatan lainnya yang berfokus pada keluarga.

Seringkali terjadi, “doktrin” yang kita berikan kepada anak adalah : “Sekolah yang rajin ya, supaya nilainya bagus.” Karena tujuannya adalah supaya nilainya bagus, segala cara akan ditempuh anak asalkan nilainya bagus. Termasuk misalnya copy paste tugas dari temen, browsing bahan tugas tanpa memperhatikan sumbernya bisa dipercaya atau tidak. Yang penting adalah nilai bagus, ilmunya dikuasai atau tidak, itu masalah nanti....

Tujuan dari pendidikan Waldorf, 
Menghasilkan individu yang mampu, dalam diri dan dari diri mereka sendiri, memberi makna bagi kehidupan mereka dapat dicapai dengan memberikan pendidikan secara menyeluruh, bukan hanya fokus pada intelegensia ataupun kognitif anak saja tetapi melalui TANGAN, HATI, dan KEPALA. 
Apa yang dikerjakan oleh tangan, akan membangun keinginan yang kuat yang berasal dari dalam dirinya sendiri, (bukan karena orang lain) untuk mengerjakan sesuatu (WILLING). 
Apa yang meresap masuk ke dalam hati, akan dirasakan oleh anak sebagai sesuatu hal yang menyenangkan (FEELING). 
Apa yang masuk ke dalam kepala, akan menstimulasi proses berpikir anak (THINKING).

Integrasi (bukan hal yang terpisah-pisah) dari willing, feeling, thinking melalui tangan, hati, dan kepala merupakan ciri khas dari pendidikan Waldorf dalam memberikan pendidikan yang utuh bagi anak sehingga nantinya mereka akan mampu menemukan makna dalam kehidupan mereka.
Coba tanya pada diri sendiri, berapa banyak orang dengan profesi/perkerjaan tertentu yang “terpaksa” menjalankan profesinya karena tuntutan kebutuhan? Bagaimana hasil pekerjaan mereka?

Melalui pendidikan yang terintegrasi ini, anak diharapkan akan mampu menghasilkan sendiri sebuah solusi, bukan meniru solusi yang sudah ada; mampu berpikir, bukan menghafal; melakukan inisiatif (self motivation) bukan menunggu perintah.

Pendidikan yang menyeluruh ataupun terintegrasi ini diberikan dengan memperhatikan perkembangan alamiah anak. Berdasarkan perkembangan fisik dan psikologis anak, secara umum, Rudolf Steiner membagi tahapan perkembangan anak menjadi 3 kelompok usia, yaitu 0-7th, 7-14th, dan 14-21th.
Hal ini dikaitkan dengan tahapan perkembangan indera anak. Steiner mengemukakan 12 indera yang fokus pengembangannya berdasarkan ketiga kelompok usia tersebut. 

Pada kelompok usia 0-7th, fokus pengembangan pada indera tingkatan pertama (LOWER SENSES), yaitu indera peraba (SENSE OF TOUCH), indera yang berkaitan dengan kesehatan baik secara fisik ataupun psiklogis (SENSE OF LIFE), indera gerak (SENSE OF MOVEMENT), indera keseimbangan (SENSE OF BALANCE).

Pada kelompok usia 7-14th, fokus pengembangan indera tingkatan kedua (MIDDLE SENSES), yaitu indera penglihatan (SENSE OF SIGHT), indera penciuman (SENSE OF SMELL), indera perasa (SENSE OF TASTE), indera yang berkaitan dengan temperatur baik secara fisik maupun psikologis (SENSE OF WARMTH).

Pada kelompok usia 14-21th, fokus pengembangan pada indera tingkatan ketiga (HIGHER SENSES), yaitu (SENSE OF HEARING), indera bicara (SENSE WORD/SPEECH), indera pemikiran (SENSE OF THOUGHT), indera individualitas (SENSE OF EGO).
Perkembangan lower senses akan mempengaruhi perkembangan higher senses, dimana higher senses ini bukan hanya berfokus pada diri sendiri tetapi juga pada kehadiran orang lain. Kemampuan mendengarkan orang lain, memahami perkataan orang lain, empati terhadap orang lain.

Pada pendidikan Waldorf, proses pembelajaran sangat memperhatikan kemampuan anak berdasarkan usianya. Anak usia 0-7th belajar melalui proses imitasi dari apa yang ia lihat (IMITATION). Anak usia ini akan melihat dan menyerap segala sesuatunya sebagai suatu hal yang baik yang ada di dunia ini. Mereka akan meniru apa yang mereka lihat karena mereka menganggap semua yang dilihat adalah hal yang baik untuk ditiru (ketika kita melakukan hal yang buruk, maka anak tetap akan menirunya).  Anak usia 7-14th belajar melalui proses imajinasi (IMAGINATION). 
Usia 14-21th belajar melalui proses pemberian nilai (JUDMENT) .

Agar tujuan pendidikan tercapai melalu proses pembelajaran yang berpihak kepada anak, maka semua yang telah diuraikan di atas tadi dilaksanakan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang mengikuti/selaras dengan ritme kehidupan (RHYTHM), kegiatan-kegiatan yang diulang-ulang selama rentang waktu tertentu sehingga menjadi sesuatu yang melekat (REPETITION), dan dilaksanakan dengan cara yang sangat menghormati/menghargai anak sebagai makhluk spiritual (REVERENCE).

Gambaran keseharian anak di Playgroup/TK Waldorf yang mencerminkan hal-hal yang diuraikan di atas tadi :Ritme harian disusun selaras dengan ritme kehidupan siang dan malam, ritme tubuh menghirup udara (BREATHING IN) dan menghembuskan udara (BREATHING OUT)

Anak datang dan disambut oleh guru. Guru menatap anak dengan hangat, tersenyum dan menyalami anak satu persatu (reverence). Pada saat menyalami anak, guru dapat merasakan mood anak melalui genggaman tangan dan ekspresi muka anak. Setelah anak menyimpan perlengkapannya, anak bermain bebas (FREE PLAY) di luar atau di dalam ruangan. Free play adalah bermain bebas tanpa arahan atau instruksi dari guru. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan WILLING. Sementara anak bermain bebas, guru tidak “ikut campur,” guru mengerjakan pekerjaan lain yang “bermakna,” misal menyirami tanaman,menyapu, merapikan sesuatu, dll. Ingat, anak akan meniru. Dan tentunya kita mengharapkan anak meniru hal-hal baik. Free play merupakan kegiatan BREATHING OUT, menyalurkan energi anak. Free play ini sangat penting untuk menstimulasi SENSE OF TOUCH, SENSE OF LIFE, SENSE OF MOVEMENT, SENSE OF BALANCE. Tanpa kita sadari, anak belajar banyak ketika melakukan free play.

Setelah itu biasanya, kita melakukan circle time. Anak berkumpul dalam lingkaran untuk melakukan gerakan olah tubuh ataupun finger play yang disertai dengan nyanyian ataupun kata berima atau bahkan disertai dengan bercerita sambil melakukan beberapa gerakan yang sesuai dengan jalan ceritanya. Circle time merupakan kegiatan BREATHING IN, dimana kegiatan ini membutuhkan fokus dan konsentrasi anak.

Demikian seterusnya semua kegiatan disusun berdasarkan ritme breathing in dan out atau sebaliknya secara berselang seling, sehingga anak tidak akan merasa kehabisan energi ataupun merasa bosan dan letih.

Kegiatan selanjutnya adalah snack time. Snack disiapkan oleh guru dan anak. Anak ikut memotong buah atau sayuran, membuat adonan roti, menyiapkan piring, dll. Di sekolah Waldorf, aktivitas “rumah tangga” adalah hal yang penting diperkenalkan kepada anak. Setelah anak selesai menikmati snack sehat, aktivitas selanjutnya adalah free play. Sekali lagi, free play menjadi bagian yang sangat penting. Mainan yang digunakan adalah mainan sederhana dari bahan-bahan natural, misal mainan kayu, boneka dengan bahan natural, ranting, kerang, potongan kayu, kain-kain dari bahan natural, dll. Open ended toys seperti ini akan dapat mengembangkan imajinasi anak, karena potongan kayu misalnya dapat menjadi sebuah perahu, jembatan, kursi, dan yang lainnya tergantung imajinasi. 
Kali ini, guru biasanya mengerjakan hal baik berupa kegiatan seni dan kerajinan. Misal melukis (di TK Waldorf, melukis dengan teknik wet on wet dan bukan menggambar bentuk), merajut dengan jari, atau beeswax modelling (seperti membuat bentuk dengan playdough). Biasanya anak akan menghampiri guru dan kemudian mereka ingin melakukannya. Sekali lagi, ini akan membangun WILL anak. Melakukan sesuatu dari dalam diri mereka sendiri, tanpa disuruh.

Sebelum pulang, anak mendengarkan cerita (storytelling bukan storyreading). Cara bercerita di Waldorf berbeda dengan yang biasanya kita lihat. Tujuan bercerita di sekolah Waldorf adalah terutama untuk mengembangkan IMAJINASI dan menumbuhkan kecintaan terhadap bahasa, sehingga nantinya anak akan merasakan keindahan bahasa dalam sebuah cerita yang akan menjadikan mereka sebagai anak yang cinta membaca. Tujuan bercerita di sekolah Waldorf bukan untuk entertaining, sehingga cerita disampaikan dengan suara dan intonasi yang tenang dan ekspresi wajah guru adalah ekspresi yang natural. Bercerita biasanya juga dilakukan dengan menggunakan boneka ataupun properti sederhana lainnya seperti batu-batuan, ranting, daun, dll. Boneka yang digunakan juga sederhana, tanpa mata, hidung, telinga, mulut. Ini dilakukan agar anak bisa berimajinasi sendiri. Boneka bisa menggambarkan karakter yang sedang senang ataupun sedih sesuai dengan jalan ceritanya.

Perpindahan dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya dilakukan secara “lembut,” biasanya menggunakan nyanyian yang mengajak anak dan juga melalui contoh tindakan, bukan dengan seruan atau perintah. Misal ketika selesai bermain, guru membereskan mainan sambil bernyanyi dan biasanya anak-anak sudah tahu bahwa itu tandanya waktu bermain sudah selesai. Karena hal yang seperti ini dilakukan berulang-ulang setiap harinya REPETITION, maka tanpa disuruh, anak akan mengikuti guru membereskan mainan. Anakpun akan menangkap kesan bahwa aktivitas membereskan mainan adalah sesuatu hal yang menyenangkan karena guru melakukannya dengan bernyanyi, ekspresi wajah yang menyenangkan dan membereskan mainan tidak dilakukan dengan terburu-buru.

Kira-kira demikian gambarannya....

Rabu, 28 Oktober 2015

Free Parenting Session

Bagi para orang tua yang memiliki anak usia 3-6th, sekarang ini banyak sekali sekolah yang menjadi alternatif. Mulai dari playgroup dan TK yang berkonsep umum atau yang mengusung konsep khusus seperti leadership based, entrepreneurship based, religion based, sekolah alam, Montessori, Waldorf, atau mungkin Reggio Emilia. Orang tua yang memilih homeschooling-pun biasanya menggunakan konsep tertentu untuk mendampingi anaknya. Pada dasarnya semua konsep memiliki tujuan yang sama yaitu memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak kita. Hanya saja pendekatannya yang berbeda-beda.

Pendidikan seperti apakah yang paling sesuai untuk anak kita?
Sharing yu! Supaya kita mendapatkan masukan-masukan untuk memilih konsep pendidikan yang terbaik bagi anak kita, baik bagi orang tua yang bermaksud untuk menyekolahkan anaknya ataupun orang tua yang memilih untuk homeschooling.

Free parenting session
Ditujukan terutama bagi para orang tua 
yang memiliki anak usia 3-6th
Sabtu 31 Oktober 2015
Jam 10.00-12.00
di Jagad Alit - Waldorf
Jl. Babakan Jeruk IIIB no 18 Bandung

Mohon konfirmasi kehadiran by email jagadalit.waldorfschool@gmail.com atau whatsapp ke 087823152314