Jumat, 11 Maret 2016

Catatan dari study group - 5 Maret 2016

Acara study group kali ini dihadiri oleh mahasiswa dan mahasiswi S2 dan S3 yang sekaligus jg pendidik dan tentunya menaruh perhatian terhadap perkembangan dan pendidikan anak.

Topik kali ini adalah mengenai bagaimana sebaiknya pihak sekolah menjalin komunikasi dengan orang tua. Sekolah dan orang tua adalah dua pihak yang sama-sama terlibat dalam pendidikan anak. Kerjasama antara keduanya sangatlah penting. Namun tidak jarang kita temukan sekolah-sekolah yang menyadari pentingnya hal ini dan ingin membangun kerjasama yg baik tetapi pada pelaksanaannya menemui tantangan-tantangan. Bahkan ada juga sekolah yang secara sadar ataupun tidak sadar, bersikap defensif ketika orang tua membutuhkan informasi tertentu. Berdasarkan situasi-situasi itulah maka topik ini menjadi sangat menarik utk dibahas.

Diskusi yang sangat berkualitas...hehe...banyak sekali manfaat yang didapat. Setelah breathing-in dalam diskusi, kita breathing-out melalui kegiatan craft. Terimakasih semua!


Tanya :
Ketika ada orang tua yang bertanya mengenai apa dan bagaimana sekolah kita (misal ttg jadwal sekolah, biaya, kegiatan, dll), maka kita bisa menjawab dengan yg seutuhnya dapat diterima oleh orang tua. Tetapi ketika orang tua bertanya kenapa sekolah ini spt itu, apa bedanya dg yang lain, bagaimana kalau anak saya begini, maka bagaimana sebaiknya cara kita menjawab?

Jawab :
Saat ini informasi bisa dibilang sangat mudah didapat dari segala sumber (internet, buku, acara parenting, obrolan dengan sesama orang tua, dll). Informasi yang diterima bisa jadi adalah informasi yang teruji nilai kebenarannya, informasi yang hanya berdasarkan pendapat seseorang saja, ataupun informasi yang hanya sesuai dengan persepsi kita saja. Guru atau pihak sekolah mungkin memiliki informasi lebih banyak, demikian pula sebaliknya, orang tua yang memiliki informasi lebih banyak. Nah berdasarkan kondisi ini maka alangkah baiknya jika pihak sekolah tidak bertindak sebagai pihak yang “maha tahu.” Langkah pertama adalah menyeleraskan persepsi mengenai informasi yang dimiliki masing-masing pihak. Pihak sekolah sebaiknya bertanya terlebih dahulu “what do you think?” 
Misal : “Baiklah Bapak/Ibu, sebelum saya menjawab, dari apa yang mungkin Bapa/Ibu sudah ketahui, bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai dampak televisi terhadap perkembangan anak?” Setelah orang tua menyampaikan pendapatnya, baru kita memberikan jawaban, “Bapak/Ibu, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa dampak televisi ataupun media elektronik lainnya terhadap perkembangan anak ternyata bukan hanya dari kontennya yang tidak sesuai tetapi juga dari “jump cut” atau potongan-potongan adegan yang sifatnya tidak kontinyu..dst..dst...”

Dalam menyampaikan jawaban, nada suara tetaplah wajar sehingga kesannya tdk menggurui. Memberikan sumber jawaban juga penting, misal spt tadi, “dari beberapa penelitian....” atau dari “pengalaman saya....”, atau “dari buku yang saya baca...”, atau jika memang sumber informasi yg kita miliki kurang lengkap, maka katakanlah, “dari artikel yang saya baca dan tentunya perlu penelitian lebih lanjut berkaitan dg hal ini...”

Ada satu hal yang perlu diingat ketika orang tua bertanya apa bedanya sistem pendidikan di sekolah ini dengan di sekolah lain, maka jangan jadikan sistem pendidikan itu sebagai komoditi. Karena jika kita menjadikan sistem pendidikan sebagai suatu komoditi, maka kita cenderung akan menjawab “sistem pendidikan di sekolah ini lebih bagus dari pada di sekolah lain.” Atau malah mungkin jg kita akan menjelek-jelekkan yang lain, padahal pada dasarnya semua tujuan pendidikan itu baik hanya cara atau metodanya yg berbeda. Mana yang paling baik, adalah yang paling sesuai dengan kebutuhan anak. Kebutuhan setiap anak berbeda, maka sekolah yang baik utk seseorang belum tentu baik bagi yang lain. 

 Tanya : 
Bagaimana sebaiknya pihak sekolah memposisikan orang tua? Apakah orang tua dipandang sebagai customer dimana orang tua dan anak membutuhkan jasa pendidikan dan kemudian mereka membayar utk itu. Pihak sekolah berusaha utk memenuhi kebutuhan org tua dan anak dengan menyediakan jasa pendidikan dan sebagai imbalannya adalah uang sekolah yang memang dibutuhkan utk menyediakan jasa tsb, misal utk sarana dan prasarana, biaya operasional, peningkatan keterampilan guru, dll.  Atau sebagai partner dimana orang tua diajak bersama-sama utk membangun apa yg dibutuhkan oleh anak. 

Jawab :
Di bagian ini cukup alot diskusinya.... 
Kita yg hadir bisa dikatakan sepakat bhw org tua adalah partner krn masalah pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah tapi tentu saja jg merupakan tanggung jawab org tua. Dan apa yg diberikan di sekolah tentu tdk ada artinya jika org tua di rmh tdk memberikan hal yg sejalan dg apa yg didpt di sekolah. 

Namun  banyak org tua yg beranggapan bahwa saya sudah membayar mahal utk sekolah dan utk itu saya ingin anak saya jadi pinter, sopan, dll. Berdasarkan hal tsb maka tidaklah salah memandang org tua sbg customer krn dg demikian pihak sekolah akan berusaha memberikan yg terbaik bagi customernya.  Dan berarti jika kemudian customer tidak puas akan layanan yg diberikan, maka org tua berhak utk complaint dan menganggap bahwa itu adalah kesalahan si penyedia jasa tanpa peduli keselarasan antara apa yg diberikan di sekolah dan apa yg diberikan di rmh. Nah looooo...haha...

Oke, skrg kita coba pelajari apa yg dikatakan Steiner (founder Waldorf) mengenai three fold social order. Di satu sisi ada kegiatan ekonomi yg bertujuan menghasilkan uang (konsumen/demand dan produsen/supply). Di sisi lainnya ada pendidikan, seni, dan penelitian. Kedua sisi ini harusnya tdk bertemu, artinya kita memberi pendidikan, kita membuat karya seni, kita melakukan riset, NOT because we are paid for. Kita memberi the best education for people so they can be the best person the society needs. Kalau kita memandang pendidikan sbg kegiatan ekonomi maka kita akan berusaha memberikan apa yg konsumen kita mau. Kalau konsumen tdk suka maka kita akan mengganti segala sesuatunya dg apa yg konsumen sukai.  Itulah bisnis. Kl konsumen kita ga suka dg produk kita dan lebih suka dg produk org lain maka kita akan menyesuaikannya dg permintaan pasar. But thats not education should work nor art should work! Kita tdk menggambar sesuatu krn gambar itu yg paling laku. Lalu apa yg menengahinya? Dlm three fold human being, agar thinking dan willing seimbang, ada feeling. Dlm three fold social order, ada government. Apa yg dihasilkan dari kegiatan ekonomi seharusnya diatur pemerintah spy bisa diperoleh oleh education, art, dan research spy ketiganya itu tdk mendapatkan pressure krn membutuhkan dana. Tapi sayangnya yg terjadi tdklah demikian. We have to work out with what we have. Soooo...

It is wise to see parents as a customer and also a partner. Disinilah pihak sekolah harus bisa memainkan porsinya. Jgn sampai porsi konsumen lebih besar daripada porsi partner. Jika ini terjadi, mungkin sj kebijakan sekolah yg sebenarnya adalah yg terbaik bagi anak-anak, meskipun tdk populer, dicancel krn tdk sesuai dg keinginan sekelompok org tua. Hal ini bisa terjadi kpd sekolah-sekolah yg filosofinya tdk kuat. Naaahhh begitulah...sebuah sekolah seyogyanya memiliki filosofi yg kuat, bukan hanya sekedar memenuhi keinginan pasar. 

Sekian dl yaaaa... sampai ketemu di study group bulan depan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar