Kamis, 06 Juni 2019

Two days seminar before Early Childhood Training in 2020!

A taster for Waldorf Early Childhood Training in 2020

Two days seminar
Registration by WA (working hours 09.00-17.00)
Cice 08172389429
Okta 081513596303







Senin, 14 Januari 2019

Buku Waldorf Pertama Berbahasa Indonesia!


Judul Buku : Pengenalan Pendidikan Waldorf Usia Pra Sekolah 3-7 Tahun
Jenis Buku : Non-Fiksi (pendidikan dan parenting)
Pengarang : Kenny Dewi
Target Pembaca : Guru dan orang tua
Buku Waldorf pertama yang menggunakan Bahasa Indonesia.



Buku ini hadir untuk memperkenalkan konsep pendidikan alternatif bagi anak usia pra sekolah, yaitu Pendidikan Waldorf yang diperkenalkan oleh seorang flsuf Austria hampir 100 tahun yang lalu. Lebih dari 1000 sekolah Waldorf ada di 65 negara dan lebih dari 1000 taman kanak-kanak Waldorf tersebar di seluruh dunia termasuk di Asia. Sekolah ini adalah sekolah para anak-anak petinggi perusahaan teknologi terkemuka, seperti Apple. Google, Yahoo, hingga E-bay. DI Indonesia sendiri, telah tumbuh komunitas-komunitas pendidikan Waldorf seperti di Bandung, Jakarta, Bogor, Solo, Jogja, Bali, dan Balikpapan. Telah berdiri sekolah-sekolah Waldorf di Bandung, Jogja, dan Bali.





                                                                      Pendidikan Waldorf adalah sebuah konsep  yang holistik. Sebuah konsep pendidikan yang memanusiakan manusia. Pendidikan yang tidak hanya mengedepankan aspek intelegensia saja melainkan juga aspek karsa dan rasa. Pendidikan yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan, seni, dan spiritual. Sebuah konsep yang dapat mengembalikan makna pendidikan yang hakiki. Pendidikan yang dapat menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi generasi milenial melalui sebuah perjalanan pendidikan yang penuh makna.


Buku ini menjelaskan betapa pentingnya pendidikan anak usia pra sekolah sebagai fondasi bagi keberlangsungan pendidikan pada jenjang-jenjang berikutnya. Fondasi yang didasarkan pada keunikan dan tahapan perkembangan anak. Berfokus pada karsa sebagai bagian dari tiga aspek mendasar, yaitu karsa (willing), rasa (feeling), dan akal (thinking), melalui pengembangan dua belas indera manusia yang dikemukakan oleh Rudolf Steiner.

Penulis tidak hanya memaparkan teori-teori yang mendasari pendidikan Waldorf tetapi juga memberikan gambaran bagaimana teori ini dapat dipraktikan di dalam sebuah lembaga pendidikan anak usia pra sekolah dan di rumah. Banyak contoh-contoh aplikatif yang dapat dilakukan oleh para guru maupun orang tua.


                                                                          
Buku ini mengajak seluruh guru, orang tua, dan para praktisi pendidikan lainnya khususnya mereka yang terlibat dalam pendidikan anak usia pra sekolah untuk membuka pemikirannya bahwa pendidikan bukanlah alat untuk mencetak anak-anak yang pintar secara akademis saja melainkan bagaimana anak-anak ini nantinya tumbuh menjadi seorang dewasa yang mengetahui tujuan hidupnya dan dapat memberikan makna bagi kehidupannya dan kehidupan orang-orang lain di sekelilingnya.  





                                                                                    Puisi indah di lembaran yang menutup buku ini diambil dari buku kumpulan puisi anak karya Manda Wellang.



Pemesanan buku ini atau juga buku puisinya dapat dilakukan dengan mengisi form :
bit.ly/bukupengenalanwaldorf






Sabtu, 04 Agustus 2018

Parenting - Public Talk - Balikpapan, Jogja, Bandung, Jakarta, Ubud Bali




BALIKPAPAN

Tidak bisa dihindari, bahwa kita hidup di zaman yang serba cepat. Sebagai orang dewasa, kita dituntut untuk mampu berpikir dan bergerak cepat. Kita berharap anak-anak pun demikian. Ketika ada anak yang sedang asik bermain, tiba-tiba kita minta untuk membereskan mainannya karena harus segera tidur, ketika anak sedang tidur, kita membangunkannya untuk segera mandi, ataupun mengajak anak bergegas untuk segera pergi ke sebuah tempat yang belum pernah ia kunjungi. Apakah masa kecil anak-anak layak untuk diburu-buru?

Dunia ini juga penuh dengan stimulasi. Mulai dari banyaknya buku dan mainan yang bertumpuk di kamar anak, berbagai pilihan game di gadget dan program anak-anak yang tiada henti di televisi, variasi aktivitas yang berbeda setiap hari, topik obrolan seputar dunia orang dewasa saat di rumah. Setiap hari anak akan dibombardir dengan banyak sekali stimuli, yang bisa jadi terlalu banyak, bahkan terlalu berat untuk diproses sekaligus oleh indera-inderanya yang masih sangat sensitif. Sampai mana batas cukup yang bisa diterima anak untuk melindungi pertumbuhan jiwanya?

Ritme keluarga yang terlalu cepat serta stimulasi mainan atau aktivitas yang terlalu banyak dapat memicu berbagai tantangan perilaku, seperti anak yang tidak mau tidur sendiri, anak yang hanya menyukai jenis makanan tertentu, anak yang tidak mau main sendiri tanpa ditemani, anak yang rewel ketika pulang sekolah, anak sering tantrum serta gangguan perilaku lainnya yang menyerupai ADHD.

Solusi dari permasalahan tersebut adalah melalui penyederhaan (simplify). Salah satu caranya, melalui ritme. Ritme bukan merupakan jadwal kegiatan yang tersusun dari jam sekian sampai dengan jam sekian. Lalu apa itu ritme? Bagaimana cara membuat hidup lebih sederhana bagi anak-anak?

"Simplicity Parenting: Less is More for Your Child" yang akan disampaikan oleh Edith mengajak kita untuk memahami arti penyederhanaan (simplify) untuk hidup yang lebih tenang sekaligus melindungi masa kecil anak.

Seiring dengan tema seminar Simplicity Parenting, akan ada juga Workshop Puppet Storytelling), dimana cerita disampaikan dengan suara yang mengalun lembut dan disertai permainan boneka sederhana yang akan membebaskan anak untuk berimajinasi.

Sebagai pelengkap, di area Sunday Market tersedia aneka kuliner dan pameran kerajinan serta mainan yang terbuat dari bahan-bahan natural.
Public Talk: Simplicity Parenting (Less is More for your Child) 
Hari/tanggal : Minggu/29 Juli 2018
Jam: 09.30 - 12.30 WITA
Tempat: Rumah Dinas Wakil Walikota Balikpapan 
Htm: early bird selama bulan juni Rp.100.000
Harga di bulan juli Rp. 125.000

Workshop: Puppet Storytelling
Hari/tanggal : Minggu/29 Juli 2018
Tempat: Rumah Dinas Wakil Walikota Balikpapan 
Jam: 14.00 - 16.30 WITA
Htm: early bird selama bulan juni Rp.150.000
Harga di bulan juli Rp. 175.000


Harga paket public talk + workshop : 
- selama bulan juni: Rp. 225.000
- di bulan juli: Rp. 275.000
Tempat terbatas!
Informasi dan pendaftaran: Ayu (08115459122)




JOGJAKARTA

Di taman kanak kanak waldorf setiap harinya akan sering kita temui anak2 sedang asik bermain panjatan, bergelantungan, berayun-ayun di tali atau ada beberapa anak yang terlihat sedang membantu guru mereka memotong kayu, memasak, mencuci, menyapu atau ada juga yang sedang asik menjahit, menyulam, dan merajut. Lalu kapan mereka akan belajar hal2 yang lebih akademik, seperti membaca menulis dan berhitung? Di taman kanak kanak waldorf membaca, menulis Dan berhitung memang tidak diajarkan secara formal, kenapa?

Di public talk kali ini, Edith Van der Meer akan menjelaskan lebih dalam bagaimana anak anak di taman kanak kanak waldorf belajar dasar - dasar Untuk membaca, menulis dan berhitung .

Public talk Akan diadakan di: Kulila Playgroup, Jumat, 3 Agustus 2018 jam 3 sore.
Info pendaftaran : okta (081513596303)
*tempat terbatas




BANDUNG

"Awaaas...awaaas nanti jatuuh! Tuh kan, udah dibilangin, jangan naek-naek mangkanya!"

"Ga maen basah-basahan gitu ah, nanti nenek ga mau temenin lagi loh. Udah, masuk aja kalo maen aer terus!"

"Naahhh...bilangin Ayah loh nanti. Kotor kan itu, banyak kuman!"

Ayah, Ibu, Kakek, Nenek...ingin memberi kesempatan bagi anak untuk bereksplorasi tetapi seringkali khawatir akan keamanan mereka? Apalagi kalau liat anak naik tangga, kursi, meja, lemari. Apalagi kalau liat anak lari-lari. Apalagi kalau liat anak maen kotor-kotoran dan basah-basahan. Dan segala macem apalagi lainnya. Bagaiamana cara kita mengawasi anak tetapi tetap memberikan ruang pada mereka untuk bereksplorasi dan mengembangkan kemampuannya? Apalagi kalau kita tinggal bersama orang tua atau mertua. Apalagi kalau sehari-hari anak ditemani oleh nenek, kakek ataupun pendampingnya.

Yu Ayah, Ibu, Kakek, Nenek, kita cari tahu!
Sabtu 11 Agustus 2018
10.00-12.00
Wisma Joglo
Jl. Raya Resort 19-20 Dago Pakar - Bandung

Discount 50% bagi :
1. Orang tua murid Jagad Alit Waldorf Play & Kinder
2. Peserta kakek atau nenek

Discount 25% bagi :
1. Orang tua Klab Rabu
2. Peserta yang sudah pernah mengikuti public talk Jagad Alit sebanyak minimal tiga kali
3. Peserta umum yang datang bersama dengan suami/istrinya

Discount 15% bagi siapa saja yang bersedia membantu share info ini kepada minimal tiga group whatsapp dan satu social media. 

Discount 100% bagi siapa saja yang dapat mengajak minimal tiga orang menjadi peserta. 

Ket : Tiap orang dengan kriteria dia atas hanya bisa menggunakan kesempatan discountnya untuk satu kriteria saja.




JAKARTA

Membangun ritme keluarga yang kuat, mencari keseimbangan antara kegiatan aktif dan waktu tenang, antara waktu makan dan beristirahat mungkin menjadi hal paling penting dalam pendidikan di rumah. Dari ritme yang sudah sehat kita belajar mengalirkan energi anak ke tempat yang baik, membantu merawat dan memperkuat jiwa raga anak.

Dalam filosofi pendidikan Waldorf, ritme adalah salah satu komponen utama yang memelihara karsa, rasa dan akal anak-anak dengan harapan mereka akan tumbuh menjadi manusia yang seutuhnya. 

Mari, kami undang teman - teman untuk ngobrol tentang bagaimana memelihara ritme bersama Pembicara Edith Van Der Meer, seorang guru Waldorf Kindergarten dari Taikura Rudolf Steiner School New Zealand, Sabtu 18 Agustus nanti di Perpustakaan Nasional RI. 

Ritme adalah hadiah untuk anak dan seluruh keluarga, ritme akan memudahkan kehidupan kita sehari - hari, ritme yang dibangun dengan baik di usia dini akan menjadi bekal yang bisa anak petik manfaatnya kelak ketika ia dewasa nantinya.




UBUD BALI


Edith was a handwork teacher for 14 years and a kindergarten teacher for 7 years at Taikura Rudolf Steiner School in Hastings New Zealand. She is a mother of 4 and grandmother of 7 grandchildren. She is currently coordinating the Steiner Early Childhood Teachers course under the auspices of Steiner Education Aotearoa New Zealand and endorsed by the International Association for Steiner /Waldorf Early Childhood Education (IASWECE). She has been appointed as a mentor for Waldorf Early Childhood in Indonesia by IASWECE and in that capacity visits Indonesia on a yearly basis.

Minggu, 22 Juli 2018

Usia Enam Tahun : Mereka Tampak Berbeda!



“Ga ada yang mau ngajak maen,” sambil terisak duduk menyendiri.

“Tadi itu aku kan yang ngomong...aku yang bikin!” menyuarakan bahwa itu adalah idenya.

“Bukan, namanya bukan itu, tau!.....Iya, tapi kan....” terus berusaha untuk berargumentasi.

Acap kali perkataan-perkataan yang senada seperti itu terdengar dari beberapa anak yang berusia 5,5 tahun hingga menjelang 7 tahun. Disertai pula dengan pola permainan mereka yang tampak tidak tentu arah, cenderung rusuh dan heboh. Balok-balok kayu, ranting, batu-batu, papan kayu, ban bekas, pasir, bunga dan daun kering, yang tadinya seringkali mereka gunakan untuk membuat api unggun, perlengkapan halang rintang, kereta api, mobil, tampak kurang menarik perhatian mereka lagi. Peran sebagai petugas kebersihan, petugas pemadam kebakaran, pegawai bangunan, dan yang lainnya mulai jarang terdengar. Bukannya sama sekali tidak terlihat lagi, tetapi tampak berkurang intensitasnya. Mereka lebih senang berlarian kesana dan kemari, berkejar-kejaran menangkap salah seorang temannya sambil mengeluarkan suara-suara keras. Namun terkadang, anak-anak yang berada pada rentang usia 5,5 tahun hingga menjelang 7 tahun ini tampak duduk termenung memperhatikan teman-temannya bermain. Seringkali  beberapa anak yang berusia 5,5 tahun hingga menjelang 7 tahun ini tampak lebih emosional. Hal kecil dapat menjadi suatu masalah yang membuat mereka gusar, kesal, marah,  tersinggung (dalam Bahasa Sundanya, pundung), ataupun menangis.



Apa yang sedang tejadi dengan anak-anak ini? Jika kita memandangnya sebagai pola perkembangan willing, feeling, dan thinking yang dialami oleh anak-anak usia 0-7 tahun, maka mungkin kita akan menganggapnya sebagai bentuk dari mengalirnya will semata, dimana ada saatnya will ini perlu dimunculkan ke permukaan dan ada kalanya will ini perlu diarahkan ketika mengalir deras bagaikan aliran sungai yang tak terbendung. Namun seperti juga pada anak usia kisaran tiga tahun, pada anak usia kisaran enam tahun ini, sedang terjadi sesuatu yang ISTIMEWA. Mengetahui dan mengerti hal yang istimewa ini akan membantu kita memberikan respon yang mereka butuhkan.

PERKEMBANGAN FISIK, ETHERIC, ASTRAL, DAN EGO (FOUR-FOLD HUMAN BEING)
Proses kehadiran ego/”I” pada cycle tiga tahunan, dibarengi oleh rasa antipati dengan derajat yang berbeda-beda pada setiap individu. Antipati ini membantu seseorang untuk menemukan dunianya dan hadir di bumi ini sebagai seorang individu yang utuh. 

Sedangkan cycle enam tahunan menandakan waktu dimana etheric seseorang berproses memisahkan diri dari orang tuanya. Perasaan berpisah menyelimuti anak maupun orang tua. Kedua cycle ini menunjukkan pada kita bahwa pada usia 6, 12, dan 18 tahun terjadi proses kehadiran ego sekaligus pula keberpisahan etheric, sehingga ada waktu dimana anak merasa tidak ingin berpisah dengan orang tuanya dan ada waktu dimana anak ingin mengekspresikan kemandiriannya.  Pada anak yang berusia 5,5 tahun hingga menjelang 7 tahun, suatu hari mereka tidak mau ditinggalkan orang tuanya ketika datang ke sekolah, namun di hari lain mereka meminta orang tuanya untuk cepat pergi setelah mengantarkannya ke sekolah. Dalam tingkatan yang berbeda pada proses ini, seorang anak berusia dua belas tahun tiba-tiba ingin dipeluk oleh orang tuanya, namun pada saat ia diantarkan ke sekolah, ia tidak mau orang tuanya berada dekat dengannya.  Proses bekerjanya kedua cycle ini pun berdampak pada perkembangan fisik anak. Pada anak yang berada di rentang usia 5,5 tahun hingga menjelang 7 tahun, etheric body anak berusaha untuk melakukan penetrasi ke dalam tubuhnya. Berusaha melepaskan diri dari keterikatan faktor keturunan untuk menjadikan tubuhnya menjadi tubuh miliknya. Anak seolah menggunakan seluruh kekuatannya untuk keperluan pertumbuhan fisiknya. Lengan, tungkai dan kaki menjadi lebih panjang.  Pergelangan tangan, pinggang, dan leher akan makin tampak bentuknya. Pada sebagian anak rentang usia ini, akan sering merasakan lapar dan nyeri pada kaki, sendi-sendi, bahkan perutnya sebagai dampak dari proses pertumbuhan fisik tersebut. Terjadi pula proses pergantian gigi susu oleh gigi tetap. Proses ini merupakan proses yang mendebarkan dan tak jarang menimbulkan rasa tidak nyaman. Sekarang bisa kita bayangkan begitu banyaknya proses yang terjadi pada anak kisaran usia enam tahun ini.  Sesuatu yang istimewa! Maka jangan heran jika hal ini kemudian menyebabkan mereka merasa tidak nyaman baik secara fisik maupun psikologis, moody, ataupun menunjukkan ekspresi emosi lain yang begitu ekspresif. Kadang terlihat pula anak menjadi kikuk ketika bergerak, menyebabkan segelas air yang dibawanya tumpah atau tiba-tiba menyenggol kursi hingga terjatuh ketika berjalan. 


PERKEMBANGAN WILLING, FEELING, THINKING (THREE-FOLD HUMAN BEING)


Sejalan dengan perkembangan fisik, etheric, astral, dan ego-nya, ketika anak berusia sampai dengan 5,5 tahun, mereka bermain dengan menggunakan apa-apa yang ada di sekitarnya. Ide permainan datang dari luar, dari apa yang ada di sekitarnya. Ketika mereka berusia 5,5 tahun, mereka terlihat mulai berusaha untuk memunculkan ide dari dalam diri mereka sendiri. Proses berpikir mereka yang masih imajinatif mencoba menciptakan skenario permainan dan kemudian mencari benda-benda yang dapat digunakan dalam skenario tersebut. Seringkali mereka meluangkan waktu lebih lama untuk merancang permainan ketimbang bermainnya. Proses memunculkan ide dari dalam diri mereka sendiripun terkadang membuat mereka terlihat berdiam diri, merenung, memperhatikan sekelilingnya. Tak jarang pula mereka berkata “bosen ah!” Hal ini juga  yang tampaknya menjadi penyebab mengapa acap kali mereka terlihat berlari-larian tak menentu.  Pada proses perkembangan ini, tentunya tidak terlepas pula mereka mencoba hal-hal yang baru, sekaligus melakukan eksperimen atau mengetes apakah hal tersebut boleh dilakukan atau tidak.




Keberpisahan etheric anak dengan orang tuanya, sekaligus pula perkembangan egonya menyebabkan anak pada rentang usia 5,5 sampai dengan 7 tahun ini merasakan kesendiriannya. Ada anak yang berkata “ga ada yang mau maen sama aku.”  Hal ini didukung pula oleh peralihan fokus perkembangan anak dari willing menuju feeling menjelang anak berusia tujuh tahun. Anak menjadi lebih sensitif, mudah tersinggung, menjadi lebih perasa. Rasa sedih ataupun kecewa yang terjadi hari ini mungkin akan berlanjut keesokan harinya. Seorang anak yang dikata-katai oleh temannya, keesokan harinya datang masih dengan wajah murung dan tidak mau bermain dengan temannya tersebut.

Keinginan anak untuk melakukan berbagai eksperimen dalam permainan, juga muncul dalam bentuk rasa ingin tahu mereka akan banyak hal. “Ini terbuat dari apa? Kalau yang ini dari apa?” Tak jarang proses mencari tahu ini menjadi sebuah proses argumentasi sebagai ekspresi dari seorang individu yang ingin menyatakan keberadaannya. “Bukan gitu caranya!....Iya aku juga tau!”......Itu tadi aku yang buat!” Anak akan segera mengetahui kesalahan yang diucapkan atau dilakukan orang tua, guru, ataupun temannya dan kemudian menyatakan apa yang menurutnya benar. Suatu hari seorang anak berusia enam tahun terlihat sedang memegang dan menggoyang-goyangkan gigi susunya yang hampir tanggal. Lalu seorang temannya yang juga berusia enam tahun berkata, “kata mamaku, gigi yang goyang nanti juga copot sendiri! Kalau giginya dicabut nanti pas tumbuh giginya jelek kaya kakek!” Kemudian anak yang mengoyang-goyangkan gigi itu berkata, “harus dibeginikan, itu mah orang tua kamu aja, aku ga mau punya orang tua kayak orang tua kamu!” Pada rentang usia 5,5 sampai dengan 7 tahun mulai muncul pula pembicaraan mengenai Tuhan. Sesuai dengan kapasitas berpikirnya pada rentang usia tersebut, mereka membicarakan hal mengenai surga dan neraka. Sebuah obrolan bernada argumentatif, suatu hari terdengar. Seorang anak mengucapkan kata Tuhan. Anak yang lain mengucapkan kata Allah. Kemudian seorang anak berusia enam tahun berkata, “Allah dan Tuhan itu sama tau!” Tingkah polah anak yang seperti ini disertai pula oleh willing, feeling, dan thinking mereka untuk menjadi seorang bos, seorang pemimpin. Suatu hari seorang anak berusia enam tahun menggunakan mahkota dan menggunakan kain untuk dijadikan jubah. Ia berkata, “aku yang jadi raja binatangnya,” saat ia sedang bermain dalam sebuah skenario kerajaan binatang. Di sela-sela permainan, ia menyuruh temannya untuk mengambil ini dan itu, melakukan apa yang ia suruh, layaknya seorang bos.

Bagaimana kita meresponnya?

Tanamkan empati dan pengertian yang mendalam pada diri kita. Katakan dalam hati dengan kesadaran penuh, “Saya tahu kamu sedang melalui proses transformasi. Saya menyayangi kamu dan hal-hal baru yang terjadi pada dirimu. Saya akan membantumu!”


Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana kita membantunya? Keberpisahan etheric anak dari orang tuanya yang kemudian berusaha menjadi tubuh miliknya sendiri, menimbulkan rasa tidak nyaman baik secara fisik maupun psikologis untuk melakukan suatu hal. Terjadi pula perkembangan proses kehadiran ego/”I” yang mengubah pandangan anak akan hubungan dirinya dengan apa yang ada di sekitarnya. Menimbulkan perubahan dalam perasaan dan proses berpikirnya. Maka sekali lagi tanamkan dalam benak kita  “Saya tahu kamu sedang melalui proses transformasi. Saya menyayangi kamu dan hal-hal baru yang terjadi pada dirimu. Saya akan membantumu!” Kita membantu anak dengan memberikan saluran untuk mengalirkan perubahan-perubahan ini. Kerjakanlah berbagai pekerjaan yang bermakna yang layak ditiru anak. Pekerjaan-pekerjaan ini akan memberikan gambaran-gambaran  baru bagi anak untuk dapat memunculkan ide dari dalam dirinya sendiri. Imajinasi yang sempat hilang, seolah datang kembali. Ide-ide baru inipun dapat muncul ketika anak terlihat berdiam diri memperhatikan teman-temannya bermain atau memperhatikan alam sekitarnya. Seolah ia sedang menambah pustaka imajinasinya. Proses imitasi pekerjaan-pekerjaan yang bermakna ini juga dapat mengalihkan perasaannya yang sedang tidak menentu. Ketika tangan bekerja, perlahan pikiran dan perasaan terarah kepada pekerjaan yang sedang dilakukan. Mencuci piring atau pakaian, menyapu dan mengepel, menggunting rumput, mengupas atau memotong buah dan sayur, menyetrika atau melipat pakaian-pakaian yang telah disetrika, menyapu halaman atau membuang sampah, bahkan menggergaji atau menghampelas kayu merupakan pekerjaan-pekerjaan sederhana yang dapat dilakukan anak. Namun rasa tidak nyaman baik secara fisik maupun psikologis, dapat membuat anak enggan untuk ikut melakukan apa yang kita kerjakan. Padahal ketika usianya belum beranjak 5 atau 6 tahun, ia sangat gemar ikut melakukan apa saja yang kita kerjakan. Jika hal ini terjadi, maka “manfaatkan” proses perkembangan kehadiran ego/”I. Kita bisa mengatakan “Ibu/Ayah tidak bisa ngerjain ini sendiri. Butuh bantuan. Sepertinya kamu bisa/sepertinya kamu kuat. Tolong bantu ya.” Perkataan seperti ini akan membuat anak merasa dirinya dibutuhkan. Merasa dirinya punya kemampuan lebih untuk melakukan sesuatu. Dan ketika anak sudah selesai membantu, jangan lupa katakan “terimakasih sudah membantu.” Tentunya dengan intonasi dan ekspresi yang benar-benar tulus berterimakasih.



Saluran apa lagi yang bisa kita berikan untuk membantu anak di usia ini? Tanggung jawab yang lebih besar yang sudah kita ukur bahwa mereka bisa melakukannya. Ya, mereka sangat senang saat diberi tanggung jawab yang lebih besar daripada sebelumnya. Membawa mangkuk saji berisi sup dari dapur ke ruang makan, mengangkat benda-benda yang berat (sesuai dengan takaran kemampuan fisiknya) seperti meja kecil saat merapikan ruangan, membantu menjaga adik (setelah kita yakin bahwa lingkungan sekitarnya aman), dan bentuk tanggung jawab lainnya. Di sekolah, kami melakukan hal-hal semacam ini. Anak-anak yang berusia 3-4 tahun biasanya memiliki rentang fokus yang lebih pendek. Termasuk ketika mendengarkan dongeng. Mereka akan menampakkan gerak-gerik yang menunjukkan kegelisahan. Kami berkata kepada anak yang berusia 5-6 tahun, “Tolong jaga temanmu ini ya.” Saat anak yang lebih kecil ini terlihat gelisah, anak yang berusia 5-6 tahun tersebut kemudian meletakkan tangannya di atas pangkuan teman kecilnya itu, seperti yang biasa kami lakukan untuk menenangkan anak tersebut. Dan mereka melakukannya dengan ekspresi wajah yang menampakkan keseriusan, seperti benar-benar sedang mengemban tugas yang sangat penting! Hal ini juga merupakan manfaat dari sebuah mixed-age class.



Seiring dengan perkembangan kehadiran ego/”I”, dan berkaitan dengan pemberian tanggung jawab yang lebih besar tersebut, maka ketika kita mendengar perkataan yang bernada “aku bisa dan kamu tidak bisa,” maka daripada kita mengatakan “ga apa-apa, dia kan masih kecil,” sebaiknya kita berkata, “hhhmmm, kalau gitu, bisakah kamu membantunya?” Perkataan semacam ini akan menghembuskan angin win-win solution. Tidak ada yang merasa “lebih” dan tidak ada yang merasa “kurang.”



Begitulah kira-kira apa yang bisa diceritakan, dimana kesemuanya ini dapat dilakukan jika kita mengerti apa yang sedang dialami anak. Bagaimana kita bisa mengerti? Dengan mempelajari dan memperhatikan tahap demi tahap perkembangan anak. Tidak ada waktu untuk melakukannya? Jika itu yang dirasakan, mungkin anak adalah prioritas kesekian dalam hidup kita.


Semoga berkenan. 

Selasa, 10 Juli 2018

CELEBRATION OF THEIR JOURNEY - HONOURING THE END OF THEIR KINDERGARTEN YEARS

This is our journey, as teachers. parents, and children. We went up and down the hill. There were  times the wind blows gently and so hard at another time. Once the sun was shining brightly, yet so warm. In every moment we felt so grateful. It's precious to celebrate!




























































Kamis, 26 April 2018

Bertumbuhnya karsa, rasa, dan akal




Pohon yang berbunga merah ini mungkin sudah puluhan tahun bertumbuh di halaman kami. Begitu setianya menemani anak-anak bermain. Berjatuhan bunganya, dikumpulkan anak-anak dan mereka menyebutnya “cabe,” saat mereka membuat masakan sup pedas yang dicampur adonan pasir dan air. Mereka menyebutnya “stroberi,” saat anak-anak meminta kami untuk merasakan masakan sup pedas dan melihat kami kepedesan, lalu mereka memberi kami minuman stroberi.

Suatu hari sang cabe dan stroberi bermunculan begitu meriah dan indahnya. Sepanjang perjalanan kami menemani anak-anak, konsep celebration ataupun festival masih terus berproses untuk bisa kami berikan kepada anak-anak. Celebration yg punya makna, bukan sekedar perayaan. Ketika bunga-bunga merah itu bermunculan begitu kentaranya, kami merasakan hadirnya bisikan sang alam.  Begitu merdu, begitu indah. Kami kemudian mengumpulkan bunga-bunga itu dan membuat lingkaran-lingkaran di atas rumput. Sesaat setelah anak-anak datang, terdengar suara mereka, “waahh apa ini?” Suara-suara kecil yang penuh rasa kagum dan takjub. 







Anak-anak kemudian lompat dari satu lingkaran ke lingkaran yang lainnya. Anak-anak kemudian ikut membuat bentuk-bentuk yang mereka inginkan dari bunga-bunga itu. Seorang anak membuat bentuk kucing!





Lalu kamipun ingin lebih menikmati keindahan sang bunga merah. Kami buat menjadi mahkota. Anak-anak semakin tenggelam dalam rasa keindahan yang tersaji.

Lalu salah seorang dari mereka berkata, “Aku mau tanem ini.” Ia menanam bunga itu! Anak-anak lain segera mengikuti, “Aku mau tanem ini.” Beramai-ramailah mereka menanam apa yang ada di sekitar mereka. Biji pinus, biji salak, bahkan rumput liar yg sdh tercabutpun mereka tanam. 



Begitulah mereka menumbuhkan karsa, rasa, dan akal. Willing, feeling, and thinking. Alam adalah harta karun bagi mereka. Kami hanya memberikan sedikit petunjuk dimana harta karun itu berada. Anak-anak menggali dan membuka kotak harta karun tersebut. Merayakannya....